Wartawan dan Sumber Berita (1)

Posted by Jammes 3/31/2008 0 comments
SAYA tak pernah membayangkan bakal jadi wartawan. Pertama kali menulis ke koran, bayangannya adalah dapat honor dan menunjukkan kepada teman bahwa saya juga bisa menulis opini dan dimuat di koran. Teman saya itu bilang,'' Socrates, kamu kan banyak ide. Kasih tahu saya, bisa saya tulis dan muat di koran,'' katanya, sambil cengengesan. Saya panas hati. Belakangan, teman saya itu jadi wartawan di Media Indonesia.

Namun, jadi wartawan menjadi cita-cita saya yang keempat. Saya pernah menjumpai dosen pembimbing saya dan menceritakan cita-cita saya. Pertama, saya mau jadi konsultan. Kedua, menjadi peneliti. Ketiga, menjadi dosen dan keempat menjadi wartawan. Apalagi, saya bingung ternyata belajar sosiologi seperti gado-gado. Serba sedikit dan tidak menjadi ahli.

Begitu saya tamat kuliah (lama sekali, tujuh tahun!) saya mengirimkan lamaran menjadi wartawan. Ternyata, saya diterima. Sebelumnya, saya tidak pernah menulis berita. Celakanya, saat saya masuk, ada dua orang setter (tukang ketik berita yang dikirim melalui faks) masuk bersamaan. Jangankan bikin berita, mengetik di komputer pun saya tidak tahu caranya.

Meski saya mulai menjadi penulis tahun 1989, nulisnya ya pakai mesin ketik tua pemberian bibi saya yang bekerja di kantor polisi. Engkolnya patah. Tapi mesin ketik yang saya lupa mereknya itu, tahan banting. Pemutar kertasnya saya las. Kalau ditarik, bunyinya brttt..., tek! gitu. Mengetik sebelas jari alias dua jari, memikirkan apa yang mau ditulis dengan sebatang rokok dan segelas kopi, wah nikmat sekali. Kadang-kadang, salah. Cabut kertasnya, buang ke tong sampah dan mulai lagi mengetik.

Satu-satunya pengalaman mengetik komputer saat menulis skripsi. Saya menumpang di rental teman saya depan kos-kosan. Dia minta saya ajarkan menulis artikel, dibarter dengan pelajaran mengetik komputer di rentalnya. Saat orang ramai menyewa komputer, saya sampai keringat dingin karena tidak tahu cara menyimpan data. Saya mengetik pakai program paling gampang. Namanya, chi writer. Ketik, simpan, ketik simpan dan seterusnya.

Ketika saya baru jadi wartawan, programnya WS 4 dan WS 7 yang saya tidak mengerti caranya. Diam-diam, saya amati cara orang mengetik, membuka data, lalu saya tulis di telapak tangan. Lama-lama, bisa juga. Malah, ada seorang wartawati menyangka saya juga setter. Dia menyuruh saya mengetik berita dan tulisannya, yang diambil dari majalah lain. Saya pikir, orang ini plagiat.

Saat saya sudah bisa membuat berita sendiri, tanpa sebab yang jelas, wartawati berbadan gempal itu marah-marah. Dia bilang, awaktu (kamu) kalau bikin berita harus konfirmasi! sambil menuding muka saya. Wah, ada apa ini? Jangan-jangan dia marah karena saya tak bisa lagi dia suruh-suruh.

Saya nyaris belajar sendiri. Sulit sekali mencari tempat bertanya, karena semua orang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Saya pergi ke toko buku dan belajar apa itu berita dan sumber berita. Oh, ternyata orang yang kita wawancarai namanya sumber berita.

Suatu hari saya pergi ke rumah sakit. Saya dapat informasi, banyak keluarga pasien yang kehilangan dompet saat tertidur di emperan rumah sakit lantaran dicopet. Nah, berita itu saya konfirmasikan kepada seorang wanita humas rumah sakit. Saat saya tanya soal itu, dia bilang,'' saya mau berkomentar dan menjawab pertanyaan Anda,''tukasnya. Entah dapat ide dari mana, saya berkata,'' bagi saya, ibu menjawab atau tidak, itu sudah jawaban. Mendadak, ia berubah. Eh, jangan begitulah. Saya mau bicara, tapi jangan kamu tulis nama saya,'' katanya. Akhirnya, saya dapat konfirmasi.

Hanya beberapa bulan saya ditugaskan di pekanbaru, saya dipindahkan ke Perawang, sebuah desa yang jaraknya 60 kilometer dari Pekanbaru. Saya mewawancarai seorang pimpinan bank yang dikabarkan selalu menerima upeti saat kredit cair. Melalui telepon, dia menjawab,'' Ah, tak ada itu pak. Tapi, kalau ada yang memberi saya uang sebagai tanda terima kasih, ya saya terima,'' katanya. Ucapannya itu, saya muat sebagai konfirmasi.

Tak sampai seminggu, pimpinan bank itu dipindahkan ke tempat lain. Ia marah-marah menelepon saya dan mengatakan saya menghancurkan karirnya. Tapi yang jelas, warga setempat yang pernah berurusan dengannya soal kredit bank, senang dia dipindahkan.

Saat di bertugas di Bukittinggi, saya juga menghadapi masalah dengan sumber berita. Dia marah karena saya menulis tentang seorang wanita yang masih sangat muda, merangkap jadi pelayan dan pemuas lelaki hidung belang di cafe remang-remang itu. Saya sempat dicari-cari tentara, yang dibayar pemilik cafe itu, untuk menghajar wartawannya.

Masalahnya, saat tulisan itu dikirim, kodenya salah dan redaktur di Pekanbaru memasang kode wartawan di Payakumbuh. Akibatnya, wartawan tersebut dijemput paksa oleh segerombolan tentara ke rumahnya pukul 03.00 dinihari. Meski wartawan itu (sampai saat ini saya merasa berhutang budi) tetap merahasiakan siapa penulis sebenarnya, akhirnya pemilik kafe itu tahu, sayalah yang menulis kasus itu.

Saya dicari-cari. Saya takut. Sampai saya berpikir, kalau bertemu, silakan saja saya dipukuli. lalu selesai masalahnya. Akhirnya saya kabur ke kota lain. Itulah pengalaman pertama diteror oleh sumber berita atau orang yang merasa dirugikan oleh berita saya. Sejak itu, saya lebih hati-hati menulis. Apalagi setelah bos saya menasehati, kan tidak akan berubah juga keadaan setelah ditulis kasus itu,'' katanya. Di Batam, beberapa kali saya berhadapan dan bermasalah dengan sumber berita. Mulai dari sekedar mengancam dan meneror, sampai menyekap saya di bandara selama dua jam. Kisah ini, bukan apa-apa. Hanya sekedar berbagi dengan wartawan pemula. Kisahnya berikutnya, tentang sumber berita di Batam. ***

Sewindu Pernikahanku

Posted by Jammes 0 comments
Hari Rabu, 26 Maret 2008 tepat sewindu atau delapan tahun saya menikahi gadis Palembang bernama Yenni Astuti, yang kini telah memberi saya sepasang putra-putri yang ganteng dan cantik. Kami merayakannya dengan sangat sederhana, berdua saja.
Saat malam tiba, menunggu si kecil tidur, saya pergi berdua menuju kawasan Jodoh. Di Jodoh saya bertemu jodoh, delapan tahun lalu. Ini seperti berkah, karena saat itu saya sudah 33 tahun dan mulai gelisah dan sering ditanya ibu saya, kapan saya menikah. Begini kisahnya.

Malam itu, selesai kerja saya mau pergi ke rumah kos adik saya, di perumahan Jodoh Permai. Saya mengajak Yos, naik motor ke sana. Rencananya, kami mau makan. Adik saya ini, terkenal pintar masak. Di rumah itu, kami ''menemukan'' dua wanita cantik. Satu namanya Fitri, dan satunya Yenni.
Karena sama-sama jomblo, saya dan Yos langsung tertarik pada kedua wanita yang bekerja sebagai beauty promotor kosmetik Mirabella itu. Singkat cerita, jadilah kami dua pasangan. Yos dengan Fitri, saya dengan Yenni. Namun entah mengapa, Yos dan Fitri hanya bertahan tiga bulan.
Agar bisa pacaran, saya menyuruh wartawan cepat-cepat bikin berita. Maklum, saat itu saya koordinator liputan. Jadi, kalau kerja cepat selesai, bisa cepat-cepat menemui pujaan hati saya. Kami pacaran naik motor butut saya, GL Pro keluaran tahun 90-an. Suara knalpotnya brmm..brmm.
Kalau ada duit lebih, saya mengajak Yeni makan malam di restoran Batam Kuring, di jalan Borobudur yang menanjak menuju ke Bukit Senyum. Masakannya Sunda, dan restoran itu dipenuhi bunga-bunga dan taman.
Seminggu pacaran, saya mengajaknya menikah. Saya kaget melihat Yenni menangis berurai air mata. Setelah kami menikah, ia mengaku terharu...
Saat melamar Yeni, saya langsung mengajak ibu saya ikut serta. Ibu saya ''sembunyikan'' di hotel, lalu saya datang sendiri ke rumah Yenni di Lorong Putra, Palembang. Saat ditanya, mana keluarganya, saya terpaksa berbohong kepada calon mertua. Saya bilang, nanti saya jemput ke Batam, padahal ibu saya sudah di Palembang. Keesokan harinya, saya bawa ibu saya ketemu calon besannya. Perundingan berjalan lancar. Hari dan tanggal pernikahan pun ditetapkan.
Kami menikah di Palembang. Acaranya cukup meriah. Hanya saja, selain beberapa keluarga yang saya boyong ke Palembang, tak satupun tamu saya kenal. Dua hari kemudian, kami berbulan madu ke Thailand. Ini kado dari seorang sahabat saya, Ny Maria Muna Englo, seorang pengusaha Tionghoa yang suda menganggap saya seperti adiknya.
Begitulah. Merayakan ulang tahun perkawinan, saya mengajak istri saya makan di restoran Batam Kuring dan ngobrol mengingat masa lalu. Setelah itu, kami datang ke rumah kosnya dulu. Bertemu dengan pemilik rumah yang kini sudah ditinggal suaminya yang warga Singapura itu. Anak semata wayangnya, sama persis hari kelahirannya dengan anak tertua saya.
Saya tidak hanya ingin bercerita soal perkawinan dan kebahagiaan kami. Betapa sulitnya mencari jodoh yang tepat di Batam. Sebab, selain sama-sama pendatang, lelaki sulit percaya, apakah wanita di dekatnya orang baik-baik dan berasal dari keturunan baik-baik pula. Apalagi perempuan, juga sulit percaya apakah lelaki yang mendekatinya, bukan suami orang, punya pekerjaan tetap dan dari keluarga baik-baik.
Kalau sudah berpacaran pun, melangkah ke jenjang pernikahan, juga bukan perkara mudah. Kalau mereka sama-sama berasal dari daerah yang sama, mungkin tidak terlalu sulit. Tapi, kalau yang satu dari Sumatera sedangkan yang lain dari Kalimantan? Wah, repot juga mencari waktu dan memikirkan biayanya untuk saling berkenalan dengan calon mertua.
Lalu, bagaimana? Saya punya tips bagi Anda untuk mengenal lebih jauh pasangan Anda.
Pertama, kenali sifatnya. Ada orang yang pendiam, periang, tertutup atau terbuka. Orang cantik dan ganteng juga sifat. Namanya sifat genetik. Nah, Anda pasti tahu, lebih suka yang sifatnya seperti apa.
Kedua, latar belakang keluarga. Nah, ini yang agak sulit, apalagi kalau keluarganya nun jauh di kampung sana. Bagaimana orang dibesarkan dalam sebuah keluarga, akan sangat berpengaruh pada karakternya. Misalnya, anak seorang guru, tentu berbeda dengan anak seorang tentara yang sering membawa disiplin militer ke rumahnya. Contoh lain, anak kecil yang diajak bertamu ke rumah orang lain, saat mengambil kue dengan tangan kiri, ibunya bilang,'' eh, ambil dengan tangan bagus!'' Sehingga, sampai mati sang anak menganggap tangan kanan itu tangan bagus.
Ketiga, teman sepermainan. Dalam istilah sosiologi, ini namanya peer group atau kelompok pengaruh. Seseorang yang berteman dengan penjual parfum, ia akan kecipratan wanginya. Sebaliknya, seseorang yang berteman dengan pencuri, minimal ia akan terseret sebagai saksi di pengadilan.
Keempat, latar belakang pendidikan. Memang, soal wawasan, pengetahuan akan ditentukan oleh latar belakang pendidikan sesorang. Tentu, berbeda wawasan dan cara berpikir seorang sarjana dengan orang yang tamat SD misalnya. Namun, tidak jarang, seseorang yang hanya tamat SMA tapi cara berpikir dan kecerdasannya melebihi seorang sarjana.
Dan yang kelima, usianya. Makin tua usianya, mestinya sesorang makin matang dan dewasa. Tapi, dalam beberapa kasus, ada juga orang yang usianya sudah tua, tapi masih kekanak-kanakan. Nah, setidaknya, lima faktor inilah yang harus menjadi perhatian agar kita bisa mengenal seseorang lebih dekat dan lebih akurat.
Celakanya, di Batam memang banyak kasus perceraian dan perselingkuhan serta kekerasan rumah tangga yang membuat orang berpikir dua kali untuk menikah. Saat saya masih lajang, saya mengalami ''tekanan'' untuk segera menikah. Apalagi, dari empat saudara, hanya saya yang belum berkeluarga. Saya tak bisa bayangkan, tekanan yang dihadapi para wanita, ketika usia sudah hampir kepala tiga, belum juga menikah.
Kalau cowok sih, masih mendingan. Sebab, ia bisa mengejar wanita idamannya, seperti yang dimauinya. Nah, kalau wanita menyukai seorang pria? Tentu ia tidak mau dianggap murahan dan mentel sehingga mengejar-ngejar pria. Artinya, wanita ''dipaksa'' menunggu'' sang pangeran datang ke haribaannya.
Saya ingin mengatakan, ternyata tidak hanya wanita yang menghadapi ''tekanan'' terlambat menikah. Bisa berupa tekanan psikis (kok aku belum laku-laku ya?) tekanan biologis (awas, melahirkan di atas usia 30-an bahaya lho, padahal peralatan medis makin canggih) atau tekanan sosiologis dari sanak keluarga (apa lagi yang ditunggu, kapan mau menikah? dsb).
Sejak lama, saya merasa, membuka biro konsultasi keluarga atau membuka biro jodoh bisa jadi bisnis menggiurkan di Batam. Bayangkan, dalam setahun lebih 500 orang yang bercerai. Entah karena pengaruh sinetron dan ulah para artis, atau bisa jadi karena wanita makin berani menggugat hak-haknya. Apalagi, di sekitar kita, masih banyak yang melajang. Mungkin mereka perlu bantuan. ***

Shakespeare, Namaku Socrates...

Posted by Jammes 3/25/2008 1 comments

APALAH arti sebuah nama, kata Shakepeare, pujangga Inggris. Tapi, kini nama tidak hanya sebuah identitas, juga merek alias brand yang sangat mahal. Pantaslah ada orang meniru nama atau merek tertentu.
Saya tidak punya kuasa menentukan nama sendiri. Sejak lahir, nama saya Socrates.Saat saya mulai menyadari nama itu, saya protes, kenapa saya diberi aneh seperti itu. Sampai saya berusia 15 tahun, saya tidak akrab dengan nama saya sendiri.

Saat di SMP, Ibu Upik, seorang guru yang jengkel dengan kebandelan saya, mengusulkan di depan kelas agar nama saya diganti. Namamu ganti Muslim saja,'' katanya. Saya malu dan mulai berpikir mengganti nama saja.
Sejak itu, pernah berhari-hari saya memikirkan, bagaimana caranya ganti nama. Apa perlu pergi ke pengadilan. Tapi, siapa yang akan saya mintai tolong untuk proses ganti nama? Mau mengadu ke orang tua, saya tak berani.
Tanpa diminta, ibu saya menjelaskan, nama saya pemberian kakek, seorang pejuang yang pernah dibuang Belanda ke Boven Digul. Apalagi, dari empat saudara, hanya nama saya yang aneh dan antik. Abang saya Dideng dari asal kata Daeng, kakak perempuan saya Corry Herlinda dan adik saya Selvia Havira.
Namun, saya menduga, ibu saya memberi nama ini setelah ia membaca buku Bagaimana Mencari Kawan dan Mempengaruhi Orang Lain karangan Dale Carnegie. Salah satu babnya berjudul: Rahasia Socrates, filsuf Yunani Kuno itu.
Masalah nama muncul ketika saya mulai kuliah. Dosen Bahasa Inggris, menertawakan nama saya di depan kelas. Saya marah. Saya bilang, nama Anda juga bukan nama Indonesia asli. Namanya Yosefino. Akibatnya, nilai saya jeblok. Saya menduga, dosen itu marah karena saya mengkritik dia setelah dia mengejek saya.
Suatu hari, saya pergi ke pustaka. Karena sudah biasa ke sana, saya langsung ke rak buku. Seorang bapak memanggil saya dan berkata,'' Hei, isi buku tamu dulu.'' Ops, saya lupa. Lalu menulis nama di buku tamu. Ia tampak heran. Lalu meminta saya memperlihatkan Kartu Tanda Penduduk.
Setelah diamatinya, bapak itu berkata,'' Saya kira kamu tadi main-main.'' Setelah itu, ia jadi ramah dan menawarkan mencarikan buku yang saya perlukan. Sejak awal dia minta KTP saya, saya sudah menduga, pasti ada masalah dengan nama saya.
Begitulah. Saya jadi terbiasa jadi bahan gunjingan soal nama. Mereka tertawa-tawa dengan nada mencemooh. Saya jadi agak senang ketika di televisi nama Socrates yang pemain sepakbola Brazil dan juga dokter gigi itu, dikenal dimana-mana. Tapi, tidak ada yang mengait-ngaitkan nama saya dengan dia. Berarti, ada tiga orang yang senama dengan saya di dunia, pikir saya.
Jujur saja, kadang saya merasa minder bernama Socrates. Apalagi, filsuf Yunani itu mati minum racun. Sejak tahun 1989 saya menulis opini di koran, banyak yang menyangka saya memakai nama samaran. Ada juga yang kaget, ternyata saya memakai nama asli.
Tapi, nama ini teryata juga membawa berkah. Orang sering ingat nama saya, karena aneh, unik dan gampang diucapkan. Pendek kata, nama saya jadi terkenal, he..he..Kadang orang mengejek nama saya dengan menyebut Plato atau Aristoteles.
Celakanya, saya yang sering lupa nama seseorang. Sambil ngobrol dengan orang itu, saya berusaha keras mengingat-ingat siapa namanya. Kalau kebetulan ada teman lain lewat, saya sengaja perkenalkan agar saya tahu nama lawan bicara saya.
Jadi wartawan membuat saya banyak teman. Biarlah orang mengejek saya, karena lama-lama saya jadi kebal dengan pertanyaan kenapa nama saya Socrates. Seorang wartawan televisi Jepang yang saya dampingi meliput di Batam juga bertanya,'' Why do you name Socrates?
Saat mau menikah di Palembang, istri saya cekikikan lantaran Ketua RT yang mengurus surat pernikahan kami salah menyebut nama saya. Ia memanggil saya Skuter! ''Itulah, namanya susah sekali disebut wong Palembang,'' kata istri saya tertawa-tawa.
Pernah saya dan istri diskusi main-main soal nama saya. Saya mau menambah nama belakang saya dengan marga Batak. Kata istri saya, mungkin yang cocok Socrates Purba, karena nama saya jadul alias jaman dulu. Kalau pakai gelar Minang, juga kurang pas. Misalnya, Datuk Paduko Socrates.
Sampai saat ini, nama saya tetap jadi bahan gurauan dan olok-olok. Di kantor, beberapa karyawan diam-diam mengganti nama saya Syukro. Ada juga teman di Surabaya kalau menelepon memanggil saya Haji Muhammad Socrates.
Tapi, akhirnya saya pasrah saja dengan nama ini. Sebab, banyak juga yang menduga, saya ini pintar karena nama itu. Yang saya sadari, nama saya memang tidak Islami. Saya juga beruntung, orang tidak menambah-nambahi embel-embel di belakang nama saya. Seperti yang sering terjadi dengan nama Edy, Dewi, Andi dan nama-nama pasaran lainnya. Ternyata, nama sangat berarti. Paling tidak buat saya. ***