Showing posts with label wartawan. Show all posts
Showing posts with label wartawan. Show all posts

Wartawan dan Buku

Posted by Jammes 4/15/2008 0 comments
Amarzan Loebis, wartawan kawakan di mingguan Tempo, pernah berucap,"Jangan menyebut diri sebagai wartawan senior kalau belum pernah menulis buku. Kalau belum menulis buku, istilah yang lebih tepat adalah 'wartawan tua'."

Menulis buku adalah mahkota buat wartawan, begitu Pemimpin Umum Kompas Jakob Oetama pernah mengatakan untuk menyemangati para jurnalis muda. Wartawan senior Kompas JB Kristanto pernah mengatakan lain lagi, "Karier wartawan itu bukan meninggi, tapi meluas dan mendalam."
Mengacu pada ungkapan ini, maka pencapaian seorang jurnalis bukan untuk mengejar posisi sebagai redaktur pelaksana atau pemimpin redaksi, tetapi dari pencapaian jurnalistik untuk suatu bidang tertentu yang dikuasai oleh si wartawan tersebut.
Pernyataan-pernyataan ini patutlah dicamkan dalam-dalam karena dunia jurnalistik sebagai suatu profesi juga harus menunjukkan bahwa memang ada pencapaian tertentu yang bisa menjadi bukti bagaimana para profesionalnya menunjukkan keunggulannya. Kita bisa melihat ada banyak wartawan yang telah puluhan tahun menekuni dunia jurnalistik ini, tetapi sayang, ketika mereka pensiun, tak banyak jejak pengalaman yang
ditinggalkan dalam rupa buku.
Untuk menunjukkan "meluas dan mendalam" wawasan seorang wartawan, maka buku adalah ujud yang paling sah. Wartawan kawakan di Amerika berkaliber pemenang Pulitzer seperti Bob Woodward ataupun David Halberstam tak perlu menjadi seorang pemimpin redaksi atau redaktur pelaksana koran mana pun untuk membuktikan karier jurnalistiknya.Buku-buku yang dihasilkan dua jurnalis ini telah menunjukkan luas dan
dalamnya pengetahuan mereka. Woodward hingga tahun 2004 tercatat telah menulis 12 buku, sementara Halberstam telah menulis 18 buku!
Para jurnalis di Indonesia jangan berkecil hati karena wartawan dari generasi sebelumnya, seperti Adinegoro atau Abdul Rivai, juga telah menorehkan pengetahuan dan pengalamannya dalam rupa buku yang mereka tulis. Adinegoro, misalnya, menulis dua jilid buku Melawat ke Barat (Balai Pustaka, 1931, 1950) yang mungkin menjadi salah satu buku tulisan generasi awal pers Indonesia, atau juga tulisan dari Abdul
Rivai, yang menulis tentang para mahasiswa Indonesia di Belanda.
Para wartawan Indonesia generasi awal umumnya banyak menulis buku, dan utamanya adalah buku-buku pengantar tentang dunia jurnalistik, kewartawanan, ataupun publisistik. Generasi wartawan seperti Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, BM Diah, Wonohito, Djawoto telah menghasilkan karya-karya yang menandai awal mula perkembangan dunia jurnalistik di Indonesia yang mereka pelajari secara otodidak—kecuali Adinegoro yang mungkin menjadi orang Indonesia pertama yang mendapatkan pendidikan
jurnalistik di luar negeri, Jerman.
Sekolah jurnalistik di Indonesia baru muncul tahun 1953, dan wartawan generasi berikut barulah "orang-orang sekolahan", yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Baru pada pertengahan tahun 1980-an perusahaan media mencantumkan syarat "lulus sarjana" kepada para calon reporter baru.
Dalam deretan wartawan masa kini yang menulis buku, kita bisa menyebut di antaranya adalah Bondan Winarno, PK Ojong, Trias Kuncahyono, dan JB Kristanto. Trias Kuncahyono, Redaktur Pelaksana Harian Kompas, misalnya, pada bulan Agustus ini telah mengeluarkan buku ketiganya yang merupakan bagian dari liputannya atas negara-negara di Timur Tengah.
Sementara itu, JB Kristanto menulis sebuah buku sumber berjudul Katalog Film Indonesia 1926-2005 (Nalar, 2005) yang juga menandai suatu pencapaian dari seorang wartawan terhadap bidang liputan yang ia tekuni selama puluhan tahun. Buku ini pertama kali terbit sepuluh tahun lalu, dan kini edisi kedua buku tersebut memperluas serta mengaktualkan data tentang film Indonesia yang terus berkembang.
Secara khusus ada juga daftar para wartawan yang menuliskan perjalanannya ke wilayah-wilayah konflik. Daftar yang pendek itu mencakup karya Kustigar Nadeak & Atmadji (Revolusi Damai, Rekaman Kemelut di Filipina, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta: 1986), Farid Gaban dan Zaim Uchrowi, (Dor! Sarajevo, Sebuah Rekaman Jurnalistik
Nestapa Muslim Bosnia, Mizan, 1993), Satrio Arismunandar (Di Bawah Langit Jerusalem, Yayasan Abu Dzarr Al-Giffari, 1995; Catatan Harian dari Baghdad, Gramedia Pustaka Utama, 1991), Hendro Subroto (Saksi Mata Perjuangan Integrasi Timor-Timur, Sinar Harapan, 1997), Nasir Tamara (Revolusi Iran, Pustaka Sinar Harapan, 1980), Nasir Tamara dan Agnes Samsuri (Perang Iran Perang Irak, 1981), juga Mustafa Abd Rahman, koresponden Kompas yang banyak meliput di wilayah Timur Tengah, dan telah menulis di antaranya, Afganistan di Tengah Arus Perubahan, Laporan Dari Lapangan, 2002.
Sayangnya, wartawati perang Indonesia, Yuli Ismartono, walaupun telah banyak meliput wilayah perang pada dekade 1980-an, tetapi belum menuliskan bukunya sendiri meski ia telah kerap diwawancarai tentang pengalaman perangnya, mulai dari Jurnal Perempuan, majalah Harper's Bazaar, dan juga stasiun televisi CNN. Bagaimanapun, wartawan yang meliput wilayah konflik memiliki banyak cerita yang menarik tentang
negara dan bangsa lain, yang memiliki permasalahan unik di daerah
tersebut.
Bagaimanapun, menulis dalam bentuk buku lebih awet daripada menulis laporan dalam bentuk harian atau mingguan. Buku lebih memberi ruang untuk detail tentang peristiwa yang dilihat dan dialami wartawan, unsur perasaan si wartawan juga kerap muncul dalam tulisan di buku. Semakin banyak wartawan menulis buku, semakin tinggilah prestasi para jurnalis tersebut, dan semakin tinggi pula kredibilitas medianya.

Oleh Ignatius Haryanto Peneliti di LSPP




Tuhan, Malaikat dan Wartawan

Posted by Jammes 4/13/2008 0 comments
SEMUA orang mempunyai pengetahuan tentang hidup.Tapi yang paling tahu hanya tiga, yakni Tuhan, malaikat dan wartawan. Tuhan dan malaikat, mau apa saja biarkan.Tapi
para wartawan, sesekali bolehlah kita perbincangkan. Supaya imbang. Jangan mereka
saja yang tiap hari mempergunjingkan dan menggosipkan orang.


Tetapi perbincangan kita tentang wartawan akan saya bikin sedemikian rupa sehingga timbul kesan bahwa wartawan itu baik, jujur dan pekerja keras. Soalnya Saya sendiri seorang wartawan. Kalau ditengah perbincangan nanti ada perkembangan yang bisa merugikan wartawan, tentu akan saya coba belokkan, atau bahkan saya stop sama sekali. Hanya orang tolol yang memamerkan boroknya sendiri. Hanya manusia dungu yang membuka-buka auratnya di depan orang lain.
Tuhan mengetahui apa saja, malaikat mencatat segala peristiwa, dan wartawan bukan
hanya sekedar tahu ada peristiwa pengguntingan pita. Wartawan bukan hanya sekedar mengerti teknik wawancara yang terencana. Lebih dari itu, wartawan tahu persis jumlah korupsi seorang pejabat.Wartawan tahu tanah yang dikosongkan penduduk itu akan dikapling untuk proyek apa.Wartawan tahu berapa korban yang sebenarnya dalam sebuah letusan peristiwa.Wartawan tahu skneario-skenario apa saja yang disembunyikan dari mata masyarakat.Wartawan tahu berapa lama lagi akan terjadi devaluasi atau kapan persisnya seorang raja akan turun takhta.Dan yang terpenting dari semua itu, wartawan tahu secara mendetail setiap pori tubuh bintang-bintang film tertentu-saya ulangi, bintang-bintang film tertentu-dalam keadaan sangat jujur dan penuh keterbukaan. Foto-foto tubuh yang inocent, tanpa tedeng aling-aling. Baik yang diambil di lokasi alam, di ranjang kamar, diatas wastafel, atau sedang bercengkerama dengan kuda.
Saya buka rahasia yang sebenarnya bukan rahasia ini dengan maksud agar para bintang film lain yang serius berpikir untuk membersihkan citra korps bintang film dari ideologi buka aurat yang makin merajalela. Kalau kelak tak ada lagi wanita yang bersedia difoto dengan pose penuh kejujuran tubuh, terus terang mata pencarian
saya akan jauh berkurang.Tidak apa-apa.Demi masyarakat kita yang beradab, saya rela berkorban. Jer basuki mawabea.Toh saya sudah punya banyak koleksi foto-foto jujur.
Dan lagi aslinya saya bukanlah wartawan porno.
Saya ini wartawan politik. Dulunya, waktu belajar, saya ini wartawan kesenian.Itu paling gampang.Kemudian saya beralih menjadi wartawan bidang kriminal dan hukum.Ada tahun-tahun saya mengkhususkan diri sebagai wartawan KB dan kelompencapir,
namun kemudian saya memilih jadi wartawan politik saja.
Kenapa? Karena dunia politik selalu amat penuh kesopanan dan tata krama. Sangat menyenangkan. Sopa, artinya politik selalu berpakaian rapih, pakai parfum, dan
segala macam kosmetik. Kalau mulut bau karena jarang sikatan bisa pakai alat tertentu sehingga mulut jadi harum. Kalau tubuh berpanu atau berkadas, bisa dilulur sedemikian rupa sehingga kulit menjadi semulus kulit Meryl Streep atau Ida
Iasha. Pokoknya segala cacat bisa ditutupi. Bau mulut politik, bibir politik, telah ditampilkan dengan berbagai macam parfum dan kosmetika politik sehingga lebih indah dari warna aslinya.
Kalau pada suatu hari ada bisul yang meletus, wartawan akan diberi tugas-lewat telepon-untuk menutupi bisul itu dengan block tinta hitam.Kalau tidak, saya akan
kehilangan eksistensi sebagai wartawan, dan sekian ribu karyawan perusahaan kami juga kehilangan kekaryawanannya. Dan anehnya, kalau kita kehilangan pekerjaan, asap dapu kita jadi terancam.Mbok ya ya kalau tidak kerja itu tetap punya duit gitu loch.Ternyata saya ini pada hakikatnya memang kurang sanggup menghargai kesopanan.Oleh semua itu saya tidak kerasan. Saya ingin menjelalajahi dunia yang penuh dengan kejujuran, keterbukaan tanpa tabir, tanpa tedeng aling-aling. Dan itu saya jumpai dalam dunia glamor sebagai artis-artis. Sebagian lho...sebagaian. Dunia dimana kain menjadi sangat mahal, sehingga ada bintang yang hanya mampu membeli celana dalam
dan bra atau bahkan ada yang tidak bisa membeli apa-apa sama sekali.
Memang di negeri yang ber-KeTuhanan Yang Maha Esa ini kita tak mungkin menerbitkan majalah macam Penthouse atau Playboy. Tapi dalang tak pernah kekurangan lakon. Kita tahu bagaimana mem-playboy- kan media massa dengan cara yang lebih canggih. Cover tak usah telanjang betul, asal merangsang, langsung kita bikin judul yang mlayboy: Bukan panjang pendeknya tapi teknik mainnya. " Ternyata, masyarakat umum juga amat mendambakan keterbukaan. Masyarakat benci kemunafikan. Maka media massa yang penuh rahasia-rahasia, laku keras. Ditambah dengan maki bodohnya masyarakat modern, buku dan majalah pun harus mengajari mereka bagaimana cara bersenggama yang baik, bagaimana caranya supaya tidak kecelakaan, bagaimana
melakukan penyelewengan secara canggih dan terjaga efek-efeknya, atau memberi keyakinan kepada pemuda-pemudi bahwa keperawanan bukanlah sesuatu yang mutlak.Dalam
hal ini saya telah mewawancarai sejumlah dokter, psikiater, pedagog, pastor dan Kiai.Orang bahkan penasaran terhadap suatu teori yang menyarankan agar lelaki jangan tergantun pada orgasme. Seorang pakar memberi contoh ada seorang nabi yang sanggup melakukan dua belas kali persenggamaan secara runtut tanpa mengalami orgasme.
Teori ini mengatakan bahwa lelaki harus menang melawan kebutuhan orgasme.lelaki bisa lebih besar dibandingkan dengan orgasme.
Akan tetapi di hari-hari terakhir ini saya di bikin pusing oleh sesuatu hal. liputan-liputan gaya play boy melayu sudah hampir mencapai titik jenuh pasar.Maka pemimpin redaksi saya memberi instruksi agar saya melakukan wawancara langsung dengan mahluk yang bernama seks.Ya, seks itu sendiri.Bukan seorang lelaki bukan seorang wanita.
Kalau mewawancarai presiden atau gubernur, jelas birokrasinya. tapi mewawancarai
seks? Dimana gerangan seks berada? Sudah tiga bulan terus menerus saya melacaknya. Saya sudah capek, sehingga tinggal sisa tenaga sedikit saja untuk melaporkan kepada Anda. Seks itu mahluk ciptaan Tuhan. Sudah pasti.tapi apakah untuk mengetahui seks, saya mesti mempelajari filsafat seks atau seks filosofi? Saya tidak mau dibikin puyeng oleh agama seks atau seks yang religius.Tapi kata para wali dulu, seks
itu memang religius, karena merupakan sendi utama regenerasi sejarah, merupakan
manifestasi dari kerinduan Tuhan itu sendiri.Tuhan menciptakan manusia agar
dipandang, didekati dan dicintai oleh manusia ciptaan-Nya. Seks yang tidak religius hanya terjadi pada manusia yang melakukan seks hanya demi dan untuk kepuasan hewaninya belaka.
Itu betul semua. Tapi mana ada koran bisa laku kalau isinya filsafat dan agama? tidak. Saya tak bakalan mewawancarai seorang filsuf atau pakar agama.Saya, dalam rangka melacak seks, langsung saja berangkat ke lokasi pelacuran. Bursa seks.
Namun, ketika saya tanya tentang seks, pelacur itu menjawab, Wah, saya tidak tahu Mas. Disini saya mencari makan. "Dan para lelaki hidung belang itupun menjawab secara kurang memuaskan."saya memang mencarinya terus dengan jalan bersenggama disini hampir tiap hari.Tapi yang saya jumpai hanya orgasme. Hanya ekstase.Kalau saya ketemu sama seks, untuk apa saya terus-terusan ke pelacur begini??
Kemudian di losmen-losmen penyelewengan alias wisma skandal, dimana mahasiswa-mahasiswi atau pegawai pria dan wanita berseragam suka menyewa kamar satu dua
jam, saya juga memperoleh jawaban yang mengecewakan, "Gini loh, Mas.Kalau Saya sedang sendiri, saya begitu tergoda oleh seks.Tapi kalau sudah berdua di kamar, paling jauh yang saya jumpai adalah diri kami kami sendiri yang berubah
menjelma menjadi kuda atau kera yang bergumul telanjang. Selebihnya, rasa dosa yang kami simpan diam-diam.
Akhirnya, saya pulang dengan putus asa. Saya katakan kepada pemred saya, "Pak, jawaban mereka sangat lucu. Mereka bersenggama, tapi mengaku tak tahu seks.Lha
apa beda antara bersenggama dengan seks?" "Lho sangat berbeda," kata pemred
saya,"Persenggamaan itu sekedar alat, atau cara, atau tarekat, untuk mencari
dan menemukan seks.Seks itu suci. Seks itu tinggi derajatnya.Dan derajat kesucian seks tidak mungkin kamu jumpai di kopel-kopel pelacuran, di losmen penyelewengan
atau wisma skandal, juga tidak di kamar-kamar kost kumpul kebo."
"Ruwet,Pak! kata saya "Karena kamu sukanya bersenggama, tapi salah
paham terhadaps seks. Kamu menyamakan persenggamaan dengan seks seperti menyamakan sembahyang dengan Tuhan, atau perkawinan dengan kebahagian, atau nasi dengan rasa
kenyang. Kalau kamu sudah tiba di kebahagiaan, perkawinan tak dibutuhkan. Kalau
kamu sudah tinggal di Tuhan, kendaraan sembahyang tak diperlukan. Kalau kamu sudah bersemayam di dalam seks, persenggamaan tak dibutuhkan.
"Kalau begitu," kata saya jengkel, "biarlah saya tak pernah tiba pada seks...!"

Cinta kepada harta artinya baqhil,
cinta kepada perempuan artinya alami,
cinta kepada diri artinya bijaksana,
cinta kepada mati artinya hidup
dan cinta kepada Tuhan artinya Taqwa.

Oleh: Emha Ainun Nadjib

Wartawan Bodong

Posted by Jammes 4/10/2008 0 comments
CUKUP banyak cap negatif seorang wartawan. Mulai dari wartawan bodrek (bisa bikin sakit kepala?) wartawan tanpa surat kabar (WTS) wartawan gadungan, wartawan bodong, wartawan CNN (cuma nengok-nengok) wartawan tempo (tempo-tempo terbit, tempo-tempo tidak) dan wartawan amplop.

Ada lagi? Kini berkembang pula julukan wartawan copy paste dan wartawan kloning. Atau fotografer bingkai dot.com, yakni setelah jepret sana sini, lalu menjual foto tersebut kepada pengusaha atau pejabat yang terekam dalam foto tersebut.
Kalau di jakarta ada wartawan infotainment, di Batam ada wartawan antar pulau. Maksudnya, ngaku-ngaku wartawan, bikin ulah di Batam, lalu menyeberang ke Tanjungpinang atau Tanjungbalai Karimun. Mereka keliling pulau-pulau di Kepulauan Riau.
Sejak reformasi, koran, majalah dan tabloid serta televisi, tumbuh bak jamur di musim hujan. Akibatnya bisa ditebak. Jumlah wartawan bodong makin banyak. Muncul lebih 2.000 penerbitan. Lalu, satu persatu mati. Tahun 2007, tinggal 826 media cetak. Itupun,hanya 30 persen yang sehat secara bisnis.
Organisasi wartawan pun marak. Sebelumnya hanya ada Persatuan Wartawan Indonesia sebagai wadah tunggal, muncul lebih 40 organisasi wartawan. Sebab,orang bebas bikin koran dan membentuk organisasi wartawan. Tahun 2006, hanya tiga organisasi yang lolos verifikasi Dewan Pers, yakni PWI,AJI dan IJTI.
Jadi, wartawan jadi banyak. Bukan hanya dua seperti Nagabonar. Nah, yang banyak itulah sebagian jadi bodong. Ada karena korannya tutup, tapi masih punya kartu pers, ya ngakunya wartawan. Ada yang dulunya loper, agen, preman, bahkan supir, ngakunya wartawan. Para bodong itu, tidak hanya muncul dari Batam, juga berdatangan dari kota lain. Modalnya, kartu pers dan kartu nama. Kadang dilengkapi dengan surat tugas segala. Kalau ada berita kasus, mereka datang ''menggarap'' narasumber. Muncullah istilah: kapal pecah, hiu kenyang. Wartawan bodong sudah menjadi ikan hiu.
Maraknya wartawan bodong lantaran Batam memang kota ''basah'' dan banyak penyimpangan. Sejumlah pejabat korup, pengusaha hitam jadi sasaran empuk mereka. Malah, mafia-mafia judi, bos-bos hiburan malam dan bisnis lendir, memelihara wartawan bodong dengan cara memberi jatah tiap bulan.
Dengan modal gertak, datang ramai-ramai, mereka bisa dapat uang dengan mudah. Seorang pengusaha Singapura yang marah lantaran difoto tanpa izin, dijadikan bulan-bulanan. Uang yang diberikan pengusaha itu, dibagi ramai-ramai.
Begitu pula pejabat yang dianggap sumber uang. Mereka menyebutnya ''kapal gula.''
Berita sebuah karaoke di Sekupang membuat bosnya resah. Ia minta pada seorang wartawan agar mempertemukan dengan yang menulis berita. Ternyata, lain yang menulis, lain yang dibawa kesana. Keduanya ditraktir habis. Disuguhi minuman, uang dan wanita. Keesokan harinya, datang wartawan yang menulis berita itu. Pengusaha itu pening. Yang mana satu wartawannya?
Ada pula wartawan yang memboking cewek diskotek. Setelah dipakai, wartawan itu tak mau bayar. Malah, ia menakut-nakuti wanita muda itu dan mengeluarkan kartu nama. Jabatannya: Redaktur Pelaksana. Si perempuan,ternyata punya kenalan polisi. Ia melapor dan wartawan itu ditangkap dan dituduh memperkosa.
Di kota seperti Batam, siapa menyangka tercatat 526 orang wartawan. Baik yang beneran maupun yang bodong. Ketika judi ditutup, tempat hiburan makin sepi, wartawan bodong itu secara perlahan, hilang dari peredaran. Apakah yang bukan bodong tidak bermasalah?
Tidak juga. Ada wartawan yang punya media jelas, juga bertindak seperti wartawan bodong. Malah, sawerannya lebih besar. Jadi, ada wartawan baik, tapi bekerja di media yang tidak jelas. Ada media yang mapan, tapi mental wartawannya bobrok. Ya, sama saja.
Alasan klasik minta uang, mau pulang kampung, istri melahirkan, bikin buku, proposal kegiatan, atau menagih uang dari berita yang dikatakan advertorial. ''Dapat untung Rp2 juta sampai Rp5 juta sekali bikin koran, kan lumayan. Pendapatannya dari iklan tembak. Pokoknya, pasang saja, setelah terbit ditagih. Korannya? dibagikan gratis saja.
Namun, meski bodong daya penciuman dan jelajah wartawan bodong ini, hebat juga. Mereka tahu kasus-kasus dan berita panas tentang pejabat dan pengusaha. Masalahnya, borok pejabat seperti korupsi dan punya wanita simpanan, menjadi makanan empuk wartawan bodong.
Wartawan bodong ini sungguh bikin stres. Seorang pejabat humas, sampai mencret tiga hari lantaran ulah wartawan. Saat ia mau turun lift, dicegat empat orang wartawan bodong dan terang-terangan minta uang.
''Saya buka dompet dan bilang, uang saya hanya Rp180 ribu. Eh, bukannya kasihan, mereka malah merampas semua uang saya,'' cerita pejabat humas itu. Ia kapok berurusan dengan wartawan. Ada pejabat yang ketika tahu dipindahkan ke bagian humas, langsung menepuk keningnya sambil berkata,'' Alamak!.''
Biasanya, wartawan bodong ini, bangga jadi wartawan. Kemana-mana, pakai topi atau rompi bertuliskan: PERS dan mangkal berkelompok. Kadang di sebuah warung di Nagoya yang mereka sebut DPR (Di bawah Pohon Rindang) atau di kedai kopi, membahas berbagai isu dan masalah.
Kenapa mereka senang jadi wartawan, meski bodong? Mungkin karena dapat kemudahan tertentu, gampang dapat uang atau amplop, dan bisa dekat dengan pejabat atau pengusaha. Wartawan memang dikenal punya powerfull dan terkesan arogan.
Kadang, sedih juga dengan berbagai julukan miring terhadap wartawan. Padahal, konon dulu wartawan dihormati dan disegani serta dijuluki Ratu Dunia. Selain pintar, mereka berasal dari golongan menengah ke atas. Sekarang, masyarakat malah lebih pintar dari wartawan. Langganan beberapa majalah dan koran, punya uang dan akses terhadap informasi global dan berpendidikan.
Lalu, kita mau bilang apa? Tidak hanya wartawan yang menerima suap dan itupun nilainya relatif kecil. Anggota dewan yang terhormat,jaksa, pejabat juga terlibat korupsi. Benarlah kata proklamator kita. Korupsi di negeri ini sudah membudaya. ***

Wartawan dan Perempuan

Posted by Jammes 4/09/2008 1 comments

Ini kisah nyata seorang wartawan. Betapa seorang perempuan, nyaris menghancurkan karirnya, menipunya bertahun-tahun, dengan modus yang langka. Kisah ini ditulis atas seizin wartawan bersangkutan. Namanya disamarkan. Sebut saja sang wartawan Fahri, dan perempuannya Aisha, seperti tokoh dalam film Ayat-Ayat Cinta.


Fahri memulai karirnya di Batam sebagai wartawan. Ia cukup bisa diandalkan. Beritanya sering menjadi headline. Dua tahun bekerja, ia berkenalan dengan seorang gadis di atas kapal, saat ia mudik dan kembali ke Batam. Aisha yang baru berkenalan dengan Fahri, mengaku kecopetan dan kehilangan uang. Fahri datang sebagai dewa penolong.
Singkat cerita, sampai di Batam mereka berpacaran, lalu beberapa bulan kemudian menikah. Sebelumnya, Aisha tinggal bersama orangtuanya di sebuah perkampungan nelayan. Setelah menikah, mereka mengontrak rumah. Berbulan-bulan kemudian, Aisha belum juga hamil. Sementara, Fahri sering pulang malam karena tugas liputan.
Agaknya, Aisha tidak siap menghadapi hari-hari sebagai istri wartawan. Beberapa kali mereka bertengkar. Aisha pergi ke rumah temannya, malah pernah kos di tempat lain.
Mereka sempat pisah ranjang beberapa bulan.
''Ia kembali lagi pada saya. Ternyata, istri saya mengaku hamil tiga bulan,'' kata Fahri. Ia tidak tega menyia-nyiakan sang istri yang sedang mengandung anaknya. Ia menerima istrinya kembali kepadanya. Fahri makin sayang kepada istrinya. Kadang-kadang, ia ikut ke dokter memeriksa kandungan istrinya dan di USG. Tapi, Fahri tidak ikut masuk ke ruang periksa karena ia harus ke kantor.
Karena saya dan Fahri bertetangga, suatu malam istri saya bercerita, ia heran melihat Aisha yang menolak saat ingin mengelus perutnya yang sedang hamil. ''Bang, kok istri Fahri mengelak saat saya mengelus perutnya yang hamil, ya? kata istri saya. Saya langsung menegur,''Ah, tak usahlah ikut campur urusan orang lain,''kata saya.
Fahri dan Aisha yang belakangan juga pindah dan menjadi tetangga saya, akhirnya punya anak perempuan. Di rumah mereka, juga ikut tinggal dua saudara Fahri, satu perempuan dan satunya lelaki. Seperti biasa, karena tuntutan pekerjaan, Fahri sering pergi pagi pulang malam.
Nah, anak pertama mereka lahir saat Fahri sedang di rumah, usai makan sahur. Dengan alasan mau jalan-jalan pagi, Aisha pergi sendiri keluar rumah. Eh, paginya ternyata Aisha mengaku sudah melahirkan dan pergi sendirian ke rumah seorang bidan, sekitar 800 meter dari rumahnya.
Aisha pulang ke rumah membawa bayi yang masih merah, serta pakaian yang masih berlumur darah. Aisha bilang, ia diantar bidan dan bidannya langsung pergi. Fahri percaya saja dengan apa yang disampaikan istrinya. Beberapa hari kemudian, Aisha memperlihatkan akte kelahiran anak itu. ''Saat itu, saya yakin, itu anak saya,''kata Fahri, kepada saya.
Sampai anak tersebut berusia dua tahun, tidak ada masalah. Fahri amat sayang pada anaknya. Setahun kemudian, Aisha kembali melahirkan anak yang kedua. Lagi-lagi, ia melahirkan saat Fahri sedang bekerja dan tidak di rumah. Seperti wanita hamil lainnya, perut Aisha makin lama makin membesar.
Saat acara potong rambut memperingati kelahiran anak keduanya, tetangga di komplek
diundang ke musala. Seperti biasa, Fahri sedang tak di rumah. Aisha menyiapkan nasi kotak, dan keningnya dibubuhi parem, dan perutnya dililit stagen. Acara syukuran itu berjalan lancar, dan tak ada yang curiga, ada yang aneh dengan Aisha.
Sebenarnya, sejak kelahiran anak kedua, Fahri mulai curiga. Sebab, pada hari tertentu, anak tersebut dibawa pergi entah kemana. Aisha beralasan, dibawa ke rumah saudaranya. ''Saya mulai curiga, tapi tidak punya bukti,''kata Fahri.
Kecurigaan Fahri makin bertambah. Sebagai warga di komplek itu, ibu-ibu setiap bulan mengadakan arisan. Setiap bulan, Aisha selalu minta uang Rp500 ribu kepada Fahri untuk bayar arisan. Suatu hari, iseng-iseng Fahri bertanya, berapa uang arisan kepada ibu ketua arisan di komplek itu.
Fahri terkejut, saat diberitahu bahwa arisan hanya Rp50 ribu sebulan, dan itupun sudah berakhir. Ternyata, selama ini istrinya berbohong kepadanya. Bagai dibukakan mata hatinya, kecurigaan Fahri makin menjadi-jadi.
Malam itu juga, ia pergi ke rumah bidan tempat anak pertamanya dilahirkan.
''Jangan-jangan, itu bukan anak saya,'' katanya. Mukanya pucat pasi, saat bidan yang ditanyainya mengaku, anak pertama Fahri yang sudah berusia dua tahun, bukan anak yang dilahirkan istrinya, tapi anak wanita lain!
Anak itu diberikan kepada istrinya, lalu wanita itu pulang ke Jawa. Kepada bidan itu, Aisha beralasan, ia ingin memiliki anak itu, agar Fahri tidak meninggalkannya. ''Saya kira, bapak tahu bahwa anak itu bukan anak bapak,'' kata bidan itu.
Ternyata, anak kedua yang ''dilahirkan'' Aisha, juga bukan anak Fahri. Sukses menipu dengan anak pertama, Aisha kembali menipu Fahri untuk kedua kalinya! Uang arisan dan macam-macam permintaan Aisha kepadanya, diduga dikirimkan kepada orang tua anak itu dan sebagai imbalan setelah anaknya diambil Aisha.
Hebatnya, selama dua kali pura-pura hamil itu, diam-diam Aisha mengganjal perutnya dengan bantal! Itu juga yang dilakukan saat menipu suaminya pada kelahiran pertama. Pantas ia mengelak saat istri saya mau mengelus perutnya, lazimnya wanita hamil.
Pertanyaan yang menggelitik, kenapa Fahri bisa tidak tahu kehamilan istrinya palsu? Apakah mereka tidak berhubungan sebagai suami istri? ''Kami tetap berhubungan saat ia masih hamil muda. Tapi, setelah itu, istri saya seperti sengaja menciptakan konflik sehingga kami tidak jadi berhubungan,'' cerita Fahri.
Ada saja yang dipersoalkan. Mulai dari uang belanja, sampai ke soal pekerjaan Fahri yang menyita waktunya. Belakangan, Fahri baru menyadari, istrinya sengaja menjaga jarak agar mereka tidak berhubungan sebagai suami istri, agar kedoknya tidak terbongkar.

Setelah kebohongan istrinya selama ini terungkap, Fahri marah besar. Sampai hati istrinya sendiri menipunya punya anak dua kali. Pertengkaran pun tak terlelakkan. Saking geramnya, Fahri melaporkan istrinya ke polisi dengan tuduhan penipuan. Aisha masuk penjara. Dengan berbagai rayuan, Aisha memohon-mohon agar dibebaskan dari tahanan. Ia dan keluarganya minta penangguhan penahanan.
Selain kasihan dan permintaan keluarga Aisha, akhirnya Fahri mencabut laporannya ke polisi. Ia berharap, masalahnya selesai dan Aisha tidak lagi mengganggunya. Namun, apa yang terjadi? Aisha melaporkan Fahri kemana-mana. Ia melaporkan Fahri menyia-nyiakannya kepada bosnya di kantor. Tidak itu saja. Aisha juga melapor ke Lembaga Swadaya Masyarakat dan ke Komnas Perempuan, seolah-olah ia wanita yang teraniaya.
Setelah semuanya terungkap, bidan yang menolong persalinan palsu Aisha, juga ketakutan lantaran Fahri mengancam akan melaporkan keterlibatanya ke polisi karena mengeluarkan akte kelahiran palsu. Karena saya Ketua RW, bidan itu juga melaporkan masalah tersebut kepada saya.
Ia meminta, agar saya membantu memberi pengertian kepada Fahri, agar jangan melibatkannya dalam kasus itu. ''Tapi, bagaimanapun secara hukum Anda salah, karena mengeluarkan akte kelahiran palsu,''kata saya.
Tak mau memperpanjang masalah, Fahri akhirnya mencabut laporan ke polisi. Aisha tetap berusaha merongrong dan mengganggu ketenangan Fahri. Ia akhirnya menceraikan istrinya yang tega menipunya selama empat tahun pernikahan mereka.
Dalam sidang, Fahri membeberkan semua kelakuan istrinya. Bagaimana dengan anak mereka? Lantaran terlanjur sayang, Fahri meminta kepada hakim agar anak itu diasuhnya sebagai anaknya sendiri, meski ia tahu, anak itu bukan darah dagingnya. Namun, karena usianya baru dua tahun lebih, hakim menyerahkan anak itu dibawah asuhan Aisha, sampai berusia 18 tahun.
Setelah beberapa kali sidang, hakim memutuskan perceraian mereka. Namun, Fahri masih khawatir, mantan istrinya masih mengganggunya. Ia sempat mengajukan minta pindah tugas ke kota lain. ''Mata hati saya baru terbuka, setelah saya ikut ESQ dan rasanya saat ini saya menjadi lebih tenang,''katanya, setelah bertahun-tahun dibohongi istrinya. Tidak hanya soal dua anak, ternyata istrinya juga berbohong soal pembayaran cicilan uang muka rumah mereka, serta berbagai biaya yang dimintanya selama ini.
Setahun kemudian, Fahri menemukan gadis tambatan hatinya. Mereka kemudian menikah, dan kini dikaruniai seorang bayi perempuan. Bagaimana tanggapan istrinya soal kisah istri pertamanya? ''Dia bilang, kok bisa ya ada wanita yang berbohong dan merekayasa menipu suaminya,'' kata Fahri, mengutip istrinya. Kini, Fahri memetik hikmah dari peristiwa pahit selama empat tahun perkawinannya. ''Mudah-mudahan, kisah saya ini tidak terulang pada orang lain,''katanya. Bagaimana tanggapan Anda? ***

Wartawan dan Amplop

Posted by Jammes 4/07/2008 1 comments

ENTAH sejak kapan, ada istilah wartawan amplop. Padahal, yang satu sebuah profesi, dan satunya kertas pembungkus surat dan kadang-kadang pembungkus uang. Wartawan dan amplop mengindikasikan betapa praktek suap sudah membudaya di negeri ini.
Dulu, saat kuliah saya tidak pernah menerima amplop--maksudnya amplop berisi uang-- malah saya memberi amplop. Saat saya mengurus surat veteran bapak saya agar bisa bebas biaya kuliah, saya lihat orang-orang memberi amplop, setelah suratnya ditandatangani dan distempel.

Saya tidak tahu, berapa saya harus memberi uang bapak petugas administrasi itu. Saya masukkan uang lembaran kertas Rp100 yang berwarna merah itu, lalu saya masukkan ke dalam amplop.Saya agak ragu memberikannya. Sebab, isinya hanya Rp1.000.
Lalu, amplop itu saya lem rapat-rapat. Saya yakin, bapak itu tidak akan membuka amplop di depan saya. Ternyata benar. Urusan saya jadi lancar, saat saya menyodorkan amplop yang kelihatan agak tebal itu kepadanya. Saya tertawa dalam hati, dan menebak apa yang terjadi ketika ia membuka amplop tersebut. Mungkin bapak tua itu menyumpah-nyumpah.
Saya baru menerima amplop setelah jadi wartawan yang diberikan seorang humas. Saya menolak menerimanya. Tapi, ia terus memaksa. Dengan ragu, saya terima amplop itu, lalu saya simpan di bawah tumpukan pakaian di lemari plastik di kamar saya.
Beberapa bulan kemudian, humas itu lagi-lagi memberi saya amplop. Padahal, amplop pertama belum saya buka. Tapi, saya sudah menduga, isinya sejumlah uang. ''Hanya sekedar uang transpor,'' katanya, saat saya menolak. Saat kedua amplop itu saya buka, isinya masing-masing Rp50 ribu. Bagi saya, saat itu nilainya besar, karena honor (gaji?) saya hanya Rp150 ribu.
Dari situ, saya jadi tahu, wartawan menerima amplop. Tak lama kemudian, saya pindah tugas ke Bukittinggi. Saya tidak pernah menerima amplop. Malah, pernah kami diajak meliput ke kota lain dari pagi sampai sore, tidak ada amplop yang dibagikan. Hanya ucapan terima kasih dari humasnya. Saya tidak tahu wartawan lain. Entah karena wartawan baru, atau karena medianya tak begitu berpengaruh, hanya sekali saya menerima amplop. Saat itu, ada konferensi pers bersama Kapolres.
Teman saya, saat membuka amplop tersebut, spontan berkata,''Ha? sudah tiga bulan aku disini, hanya dapat Rp10 ribu,'' katanya. Memang, isi amplop itu masing-masing Rp10 ribu.
Setelah itu, tak pernah lagi saya menerima amplop.
Saat pindah tugas ke Batam, ternyata amplop sudah menjadi sesuatu yang biasa. Baru tiga bulan bertugas, seorang pengusaha bercerita, bahwa ia sudah tak percaya lagi dengan wartawan. Pasalnya, ia pernah dikerjai wartawan lantaran berita yang tidak berimbang. Saya hanya bisa bilang, tidak semua wartawan seperti yang dikiranya.
Ia menyodorkan keputusan pengadilan, soal perseteruannya dengan seorang pengusaha. Sebuah amplop warna coklat yang cukup tebal, juga diberikan kepada saya. Saya menolak amplop itu dan berkata,'' Anda bilang tidak percaya sama wartawan, tapi Anda beri amplop,''kata saya menolak.
Putusan itu saya pelajari. Lalu, karena saya tidak tahu telepon pengusaha lawannya, saya cari alamatnya di buku telepon. Saya disuruh datang. Begitu saya sampai di kantornya, ia meminta tunggu sebentar. Saat ia kembali, pengusaha itu meletakkan segepok uang di atas meja. ''Ini, ambil dan jangan beritakan,''katanya.
Terus terang, saya tergoda. Tapi saya melihat, pengusaha ini terbiasa memberi uang kepada wartawan. ''Terima kasih atas perhatian Anda, tapi saya kesini untuk wawancara,''kata saya.
Mukanya merah padam. ''Jadi, mau diberitakan juga?,''katanya. Ia lalu menyampaikan bantahan soal putusan pengadilan itu.
Lagi-lagi, saat saya pamit, ia memberikan segepok uang itu. Saya bersikukuh menolak. Perseteruan dua pengusaha itu, tetap saya beritakan. Saya merasa, karena saya menulisnya berimbang, mereka tidak menyalahkan saya. Malah, kedua pengusaha itu sampai saat ini menjadi teman saya.
Godaan menjadi wartawan di Batam memang hebat. Apalagi, biaya hidup di kota pulau ini sangat mahal. Tapi, itu bukan alasan wartawan menerima amplop. Ada yang menerima, tentu karena ada yang memberi. Malah, bagi sebagian wartawan, ada istilah ''kapal pecah, hiu kenyang.'' Maksudnya, kalau ada berita miring tentang seorang pengusaha, setelah diberitakan media, mereka beramai-ramai mendatangi pengusaha atau narasumber tersebut.
Tujuannya, meminta uang. Ada yang berpura-pura wawancara mau melanjutkan dan memblow-up kasusnya, ada pula yang menawarkan diri menjadi penghubung atau makelar dengan wartawan dan media yang menulis kasus itu. ''Bapak tenang saja, nanti wartawan itu saya yang ngatur,''katanya. Kapal pecah artinya berita yang meledak dan wartawan bodrek atau bodong itulah hiunya.
Pengalaman saya, saya mendapatkan sesuatu yang lebih tinggi nilainya daripada isi amplop. Misalnya, setelah saya menolak amplop, orang tersebut jadi makin dekat dan jadi sahabat. Ada pula yang selalu rajin memberi informasi, setelah ia tahu, saya bukan wartawan yang mau menggadaikan profesi saya.
Cukup lama saya menjadi wartawan kriminal. Bagi sebagian wartawan, pos kriminal dianggap ''kering'' dari amplop. Apalagi, saban hari memberitakan soal kejahatan. Mana ada penjahat memberi wartawan uang? Berita pejabat pun yang berkasus. Apalagi, bagi wartawan kriminal, kasus adalah berita.
Pernah saya katakan, zaman sekarang orang makin tak tulus dan berpamrih. Kita memberi uang pengemis seratus perak, berharap masuk surga. Apalagi kalau ada yang memberi uang, tentu ia akan berharap sesuatu pula. Kalau pada wartawan, ya agar jangan diberitakan boroknya.
Jika kita kategorikan, setidaknya ada tiga jenis wartawan yang berkaitan dengan amplop. Pertama, wartawan yang mencari amplop. Artinya, ia sengaja mencari korban, pengusaha hitam, pejabat korup dan siapa saja yang bisa digarap sehingga ia memperoleh uang dalam amplop. Biasanya, wartawan bodrek, wartawan tanpa suratkabar (WTS) wartawan bodong, masuk kategori ini.
Kedua, wartawan setengah amplop.Kalau diberi amplop diterima, kalau tidak pun tidak masalah. Kadang-kadang, amplop tersebut tidak berkaitan langsung dengan berita, tapi diberikan pada saat tertentu seperti, menjelang lebaran, atau angpau saat tahun baru.
Ketiga, wartawan yang pernah menerima amplop, lalu bertobat tidak mau lagi menerima amplop. Artinya, pada saat ia menjadi reporter yang harus keluar banyak biaya dengan mobilitas yang tinggi, gaji kecil dan terpaksa ngutang kiri kanan, setelah karirnya meningkat, ia tobat tak mau lagi menerima amplop.
Dan yang keempat, yang tidak menerima amplop. Kode Etik Jurnalistik pasal 6 berbunyi: Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Artinya, segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum. Dan suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau
fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.
Bagi wartawan yang menerima amplop, pembenaran yang dilakukan dengan alasan gaji kecil. Sementara, yang memberi amplop merupakan budaya korup dan mencoba menutupi aib dengan membungkam pers dengan cara ''berbuat baik'' kepada wartawan. Wartawan dan perusahaan media harus diyakinkan bahwa menerima amplop adalah meracuni pikiran. Sebab, dampak amplop itu sendiri, selain sang wartawan ketagihan amplop dan menganggap sebagai sesuatu yang wajar. Independensinya akan melorot dan kualitas media akan menurun karena berita berisi pesan sponsor, corong penguasa dan pengusaha, menurunnya kebenaran universal dan pada akhirnya membohongi pembacanya dengan berita sampah.
Terakhir saya menerima amplop pada saat menjelang Tahun Baru Imlek lalu. Amplop warna putih yang diberikan dua orang wartawan kepada saya, saya buka. Isinya bukan uang. Tapi beberapa amplop kecil berwarna merah yang biasa dijadikan pembungkus angpao. Saya tertegun. Teman pengusaha yang memberi amplop kosong itu seperti meminta saya, agar saya memberi angpau.
Saya ambil kertas, lalu saya masukkan ke amplop merah itu, lalu saya berikan lagi kepada seorang wartawan. Di kertas itu tertulis: Anda belum beruntung! ***

Wartawan dan Tukang Pijat (3)

Posted by Jammes 4/04/2008 2 comments
Sejak berusia belasan tahun sampai sekarang saya suka dipijit. Seperti hobi dan menjadi kebutuhan. Segala macam jenis pijat, saya coba. Selain menghilangkan pegal, saya menganggap pijat bisa memperlancar peredaran darah.
Dulu, saya hanya dipijat tradisional. Tapi di Batam, saya coba pijat Thailand, pijat refleksi, Okub Medan, pijat Shiatsu, hingga pijat listrik. Banyak cerita unik soal pijat memijat ini. Mau tahu ceritanya?

Tukang pijat di kampung saya, mengurut dengan minyak makan, dicampur bawang dan balsem. Tapi kini, pijat pakai krim, hand body hingga baby oil alias minyak bayi. Hobi pijat saya, tetap jalan saat jadi wartawan. Banyak juga rekan wartawan yang punya hobi sama dengan saya. Tapi, mungkin ia malu bercerita.
Seorang rekan wartawan saat tugas di Bukittinggi, suka pijat ''cuci kolong''terutama di bagian kaki dan paha. Saat saya ajak ia menulis berita soal tukang pijat ini, ia menolak. ''Nanti kita juga yang susah cari tukang pijat,'' katanya.
Suatu hari, saya mendapat informasi, ada panti pijat mesum baru buka di Batam. Saya datang untuk wawancara. Saya lalu dibawa bos pijat itu ke ruangan kecil, lalu memperlihatkan surat perjanjian dengan para tukang pijat, dilarang berbuat tak senonoh. Sampai saat ini, saya langganan pijat di sana. Ternyata, isu itu sengaja ditiupkan saingannya.
Suatu ketika, saya mendapat informasi, ada tukang pijat tuna netra yang kepergok selingkuh dengan seorang wanita separo baya. Ini dilakukannya lantaran suaminya jarang pulang. Toh, tukang pijatnya buta dan memakai kaca mata hitam. Kisah ini saya tulis di koran.
Keesokan harinya, seorang pemijat tuna netra datang ke kantor menyatakan keberatan dengan tulisan itu. ''Saya tak pernah berbuat seperti itu,'' katanya. Rupanya, kisah itu dibacakan seorang pengojek kepadanya. Maklum, ia buta. ''Hah, sejak kapan orang buta bisa baca koran,'' kata bos saya, sambil menahan tawa.
Saat pijat Thailand baru buka di sebuah hotel di Batam, beberapa teman saya mencobanya. Di kantor, mereka bercerita soal kehebatan pijat itu. Saya penasaran. Lalu, saya datang ke sana. Ternyata, pijat Thailand tubuh ditarik, ditekuk, dan hanya titik tertentu yang dipijat dengan dengkul atau kaki. Orang yang tak biasa dipijat, bisa-bisa kesakitan.
Pulang dari sana, saya tulis pengalaman pijat ala Thailand itu. Karena tak ada foto, saya minta seorang wartawan membuat karikaturnya. Ia menggambar seekor gajah yang sedang menginjak manusia. Begitu tulisan itu terbit, tiba-tiba saya ditelepon bos pijat Thailand itu. ''Pak, Anda bisa kesini, nggak?,'' katanya di telepon.
Saya agak khawatir juga. Jangan-jangan dia marah karena tulisan saya. Saya beranikan diri datang kesana. Ternyata, oala..dia mengucapkan terima kasih lantaran tulisan itu. Saya diberi amplop. Isinya bukan uang, tapi voucher pijat gratis sepuluh kali! Jadilah saya pijat gratis dan sebagian saya bagikan ke wartawan lain. Tulisan saya itu, juga ditranslet ke bahasa Inggris dan dijadikan brosur yang disebar di Singapura.
Karena keranjingan dipijat, saya jadi tahu suka duka tukang pijat. Di beberapa panti pijat, mereka hanya dibayar Rp6.000 per jam, sementara tarif pijatnya Rp40 ribu. Ada yang disediakan mess, ada yang tidak. Namun, tarif pijat di tempat tertentu, terbilang mahal.
Pijatnya bervariasi. Ada pijat kombinasi tradisional dan Thai, mandi susu, spa dan luluran. Harganya pun unik. Satu jam Rp188 ribu. Tempatnya pun bagus. Kamar VIP-nya selain kasur tempat pijat, dilengkapi dengan bath-tub, televisi dan lampu remang-remang. Tapi pijat tradisional, cukup kasur dan pembatas ruangan dari kain.
Selama mencoba berbagai jenis pijat ini, yang agak unik adalah pijat ala Madura dan pijat listrik. Pijat Madura pemijatnya wanita separo baya dan mengenakan kebaya lengkap. Karena agak gelap, saya melihat sosoknya seperti ibu kita Kartini, he..he..
Pijat listrik lain lagi. Namanya ATFG. Pijatan menggunakan alat dari besi yang dialiri listrik tegangan rendah. Lalu, tubuh digosok-gosok dengan gelondongan besi dan terasa panas. Biasanya, setelah dipijat badan terasa lemas dan dianjurkan memakan pepaya mengkal untuk memperlancar peredaran darah.
Meski penghasilannya kecil, tukang pijat umumnya mengharapkan tips dari tamu. Mereka harus bergiliran agar semua kebagian tamu. Lain halnya kalau pemijatnya dipesan tamu. Rata-rata, mereka memijat 3-5 orang tamu sehari.Namun, ada juga kisah sukses para pemijat ini.
Selain bisa mengirim uang ke kampung halaman, hasil keringat dari memijat orang, ada yang akhirnya bisa punya rumah dan motor, serta menyekolahkan anak-anaknya. Misalnya, seperti kisah Tono, seorang pemijat asal Jakarta. Lelaki bertubuh gempal ini, kini dikenal menjadi pemijat pejabat penting dan pengusaha terkenal.
Awalnya, ia bekerja di panti pijat refleksi Sin Cung Kok. Tak sampai setahun, tutup. Padahal, Tono terkenal bagus pijatannya dan telaten. Ia memutuskan jalan sendiri. Kepiawaiannya memijat, beredar dari mulut ke mulut. Saya termasuk yang ikut mempromosikannya.
Kini, ia menjadi langganan pijat mantan Kapolda, jaksa, polisi, hingga pengusaha ternama. Tono biasa memijat malam hari dan bersedia dipanggil ke rumah. Rata-rata, ia memijat orang dua jam.
Persaingan bisnis pijat di Batam makin meningkat. Malah, ada hotel yang menyediakan sampai 50 orang pemijat. Sebab, langganannya adalah para turis yang datang berombongan. Turis asal Korea, paling senang dengan pijat. Di berbagai sudut kota, bermunculan bisnis pijat. Saingan tukang pijat kini tidak hanya sesama pemijat, tapi juga kursi pijat yang dipajang di mal-mal. ***

Wartawan dan Kekerasan (2)

Posted by Jammes 4/03/2008 0 comments
SEJAK menjadi wartawan, saya tidak penah punya pos liputan. Jadi, ya meliput apa saja dijadikan berita. Satu yang saya catat, dunia wartawan adalah dunia yang keras. Butuh ketangguhan fisik, kekuatan mental dan kecerdasan otak sekaligus dalam menjalankan tugas.
Wartawan juga dekat dengan kekerasan. Baik melihat dan meliput kekerasan, maupun terkadang menjadi korban kekerasan. Pengalaman saya menyaksikan korban kekerasan ketika seorang wanita dibunuh dan mayatnya dibuang ke jurang. Saat tubuhnya dibalikkan polisi, ulat berloncatan dari perutnya.

Di Batam, saya menyaksikan bentrok antar suku yang menelan belasan korban jiwa. Padahal, pemicunya masalah sepele. Korban luka bacok dan darah berceceran, membuat saya bergidik.
Pernah terjadi kecelakaan maut korbannya seorang pelajar. Foto yang dibawa wartawan dan masuk ke komputer saya, korbannya digotong berlumur darah. Malamnya, saya tak bisa tidur. Terbayang korban yang akhirnya tewas. Keluar masuk ruang gawat darurat, ke kamar mayat akhirnya membuat saya terbiasa.
Saat pertikaian antar kelompok itu berakhir dengan acara perdamaian, saya memotret dan berdesakan dengan seorang fotografer asing. Ada acara pemotongan kerbau, babi dan kambing. Kerbau dipotong seperti biasa, namun kambing itu kepalanya ditebas! Saya merasa, jika foto tersebut dimuat di media luar negeri, bisa saja mereka menilai, betapa tak beradabnya bangsa kita.
Tindak kekerasan, teror dan intimidasi yang saya alami pernah terjadi beberapa kali. Mulai dari oknum tentara, pejabat, pengusaha hitam hingga warga biasa. Misalnya, saat saya dikejar-kejar beberapa oknum tentara yang disuruh pemilik cafe setelah saya menulis kisah pelayan yang nyambi jadi pelacur.
Yang paling seru, saat saya disuruh menghadap oknum pejabat militer yang marah karena pemberitaan mobil yang dikirim ke luar Batam. Dua rekan wartawan menemukan ada puluhan mobil dicat ulang dan siap dikirim ke Batam. Temuan itu, lalu dikonfirmasikan kepada petinggi militer yang datang ke Batam.
Keesokan harinya, ada orang tak saya kenal mencari saya ke kantor. Karena tak bertemu, ia mencari wartawan yang menulis berita itu, lalu mengajak ke kantornya. ''Bawa pimpinanmu kesini, kalau tidak kamu tidak boleh membawa motormu pulang,'' katanya kepada wartawan saya. Begitu informasi itu disampaikan kepada saya, sebagai bentuk tanggungjawab, saya pergi ke kantor orang tersebut. Lalu, kami disuruh ke ruang VIP bandara.
Saat itu pukul 16.00 WIB. Oknum pejabat militer itu lalu mengamuk. Ia memecahkah vas bunga. Lalu, tiga gelas kopi dilemparkan ke kaki kami. Melihat teman saya memandangnya, ia merasa ditantang. Ia lalu menyeret teman saya ke landasan pacu, sambil membuka baju. Teman saya ditempeleng dan di lehernya, ada bekas kuku setelah krah bajunya diangkat.
Jujur saja, kami ketakutan lantaran oknum pejabat itu sangat emosi. Semua nama di kebun binatang dilontarkan kepada kami. Tensinya baru agak reda setelah anak buahnya memberi tahu bahwa saya Ketua PWI. Lebih dua jam kami diteror dan diintimidasi di ruangan itu.
Setelah itu, seperti tak terjadi apa-apa, ia membolehkan kami pergi. Keesokan harinya, saya dipanggil ke Jakarta melaporkan kasus itu ke PWI Pusat. Masalahnya sampai ke DPR RI yang meminta penjelasan soal mobil-mobil tersebut. Untunglah, saya tidak terpancing untuk membeberkan masalah tersebut ke media. Padahal, ada beberapa wartawan yang juga pernah diancam dan diteror. Masalah ini baru selesai setelah beberapa wartawan mengadakan pertemuan dengan oknum pejabat tersebut.
Tindak kekerasan lain yang pernah saya hadapi adalah kekerasan massa yang dipicu oleh berita. Seorang tersangka penanam ganja kepada polisi mengaku di rumahnya ada beberapa orang yang terlibat menanam tanaman memabukkan itu. Siangnya, beberapa orang lelaki tak dikenal dengan tampang sangar, mengamuk di kantor saya. Tanpa ba, bi bu, langsung menggebrak meja dan memecahkan pintu kaca. Tujuh orang pelaku ditangkap polisi dan salah seorang mantan wartawan.
Kasus lainnya adalah ketika seorang wartawan yang mewawancarai anggota Komisi Pemilihan Umum menanyakan jumlah pemantau pemilu. Meski sudah disebutkan jumlahnya 150 orang, karena ditanya beberapa kali, anggota KPU itu menjawab,'' Jumlahnya 150 ekor,'' katanya, bercanda. Entah mengapa, dalam berita tersebut dari alinia pertama hingga berikutnya, tertulis 150 orang. Namun, di alinia terakhir, tertulis 150 ekor. Satu kata yang salah ini, memicu kemarahan massa.
Tanpa saya duga, sekitar pukul 20.30 malam, belasan orang datang mengamuk ke kantor. Masalahnya, ya satu kata yang salah itu. Ternyata, ucapan bercanda itu masuk ke benak si wartawan dan dia salah menulisnya. Dengan menyusun kedua belah tangan, saya meminta maaf. ''Ini tidak kami sengaja. Kalau disengaja, pasti semuanya menggunakan kata ekor. Ini hanya satu kata yang salah,'' kata saya meminta maaf dan pengertian massa yang marah. Satu hal yang saya khawatirkan, mereka merusak kantor saya. Untunglah, mereka mau menerima permintaan maaf saya dan saya berjanji menindak wartawan yang teledor dan gegabah itu.
Selain itu, entah berapa kali teror, ancaman bunuh dan intimidasi saya terima. Mulai dari yang halus, sampai yang kasar. Bisa berupa SMS gelap, maupun kemarahan dalam bentuk kata-kata. ''Tak selamanya ketajaman ujung pena bisa mengatasi masalah keamanan hidup Anda,'' kiriman SMS gelap yang pernah saya terima. Anda mungkin tak akan menyangka, seorang pejabat penting berkata kepada saya. ''Kenapa Anda tulis berita itu? Kan sudah saya bilang, jangan dimuat. Ternyata, benarlah kata orang Anda tidak suka pada saya,'' katanya dengan nada tinggi, lalu mematikan telepon.
Sebuah surat kaleng yang dikirim ke kantor, nyaris menghancurkan karir saya. Saat itu, saya menulis berkali-kali kasus mobil bodong di Batam. Kalau tidak salah, saya menulis sebanyak 14 kali. Suatu hari, saya diundang beberapa importir kakap ke sebuah hotel. Mereka bilang, gara-gara berita Anda, 160 mobil saya tertahan di Singapura. Saya jawab, saya tidak punya pretensi apa-apa dalam berita itu. Yang saya tahu, Anda melanggar peraturan. Mobil yang masuk ke Batam mestinya baru (brand new) tetapi teryata masuk yang bekas. Peraturan itu sudah dilanggar selama 10 tahun!
Ketika mereka berbisik-bisik dan saya menangkap mereka akan memberi sesuatu, agar saya berhenti menulis berita itu, saya berkata,'' Jangankan punya mobil, menyetir mobil pun saya tidak bisa. Jadi, kalau Anda mau memberi saya uang, saya minta Rp2 Miliar, setelah itu saya berhenti jadi wartawan,'' kata saya.
Mereka terdiam, lalu bertanya, bagaimana jalan keluarnya. Saya menyarankan, agar diadakan dialog terbuka dan mengundang semua pihak yang terkait. Mereka setuju dan meminta saya membuat proposalnya. Beberapa hari kemudian, tanpa saya duga sama sekali, ada surat kaleng yang dikirim melalui faks ke kantor saya.
Isinya, saya dituduh menerima uang dua kali dengan alasan uang itu saya bagikan kepada redaktur yang memegang halaman tersebut. Surat itu, juga dikirim ke bos saya di Pekanbaru. Saya kemudian membuat laporan tertulis dan menceritakan kronologis kenapa berita itu dibuat, siapa yang terlibat dan saya bersumpah tidak pernah menerima suap.
Saya juga menegaskan, jika saya terbukti menerima suap, saya siap dipecat sebagai wartawan. Bos saya menelepon dan menasehati saya agar saya berhati-hati menulis kasus tersebut. Saat ia masih menjadi reporter, bos saya juga pernah menulis kasus penyeludupan mobil.
Surat kaleng tersebut --sampai sekarang masih saya simpan-- saya baca berulang-ulang. Saya yakin, yang menulisnya pasti seorang wartawan, karena ada beberapa istilah yang hanya dimengerti orang-orang media. Beberapa tahun kemudian, keyakinan saya terbukti. Yang menulis surat itu seorang wartawan yang sudah menerima suap dan mencoba menghentikan saya menulis kasus tersebut.
Satu hal yang membuat saya sedih dan marah. Secara tidak sengaja, surat kaleng itu dibaca istri saya. Ia menangis berurai air mata. Saya merasa dituduh melakukan perbuatan tak terpuji itu, walaupun ia tidak bicara sepatahpun. Saya marah. ''Kalau saya seperti itu, kita tidak akan mengontrak rumah bertahun-tahun dan kemana-mana naik sepeda motor,'' kata saya, dengan nada keras.
Saya memang meniti karir dari bawah. Baru setelah tugas di Batam saya bisa menabung. Saat baru pindah, saya malah tujuh bulan tinggal di kantor, agar bisa hemat uang kos. Saya punya rumah tahun ke tujuh saya di Batam dan punya rumah tahun ke delapan. Syukurlah, mobil saya tidak bodong. Toyota Altis merah maron tahun 2001.
Kembali ke topik awal, kekerasan memang ada di sekitar wartawan. Berapa banyak wartawan yang tewas di medan perang, dibunuh dan kasusnya tak terungkap, diculik dan disiksa. Saya teringat kata-kata bijak. Bunyinya begini. ''Kebencian terhadap kritik, sama besarnya kehausan terhadap pujian.'' Dan, mana ada orang yang suka dikritik. Sementara, wartawan adalah tukang kontrol dan tukang kritik. Tapi, bukankah, kalau takut diterpa ombak, jangan berumah di tepi pantai? ***
























Wartawan dan Sumber Berita (1)

Posted by Jammes 3/31/2008 0 comments
SAYA tak pernah membayangkan bakal jadi wartawan. Pertama kali menulis ke koran, bayangannya adalah dapat honor dan menunjukkan kepada teman bahwa saya juga bisa menulis opini dan dimuat di koran. Teman saya itu bilang,'' Socrates, kamu kan banyak ide. Kasih tahu saya, bisa saya tulis dan muat di koran,'' katanya, sambil cengengesan. Saya panas hati. Belakangan, teman saya itu jadi wartawan di Media Indonesia.

Namun, jadi wartawan menjadi cita-cita saya yang keempat. Saya pernah menjumpai dosen pembimbing saya dan menceritakan cita-cita saya. Pertama, saya mau jadi konsultan. Kedua, menjadi peneliti. Ketiga, menjadi dosen dan keempat menjadi wartawan. Apalagi, saya bingung ternyata belajar sosiologi seperti gado-gado. Serba sedikit dan tidak menjadi ahli.

Begitu saya tamat kuliah (lama sekali, tujuh tahun!) saya mengirimkan lamaran menjadi wartawan. Ternyata, saya diterima. Sebelumnya, saya tidak pernah menulis berita. Celakanya, saat saya masuk, ada dua orang setter (tukang ketik berita yang dikirim melalui faks) masuk bersamaan. Jangankan bikin berita, mengetik di komputer pun saya tidak tahu caranya.

Meski saya mulai menjadi penulis tahun 1989, nulisnya ya pakai mesin ketik tua pemberian bibi saya yang bekerja di kantor polisi. Engkolnya patah. Tapi mesin ketik yang saya lupa mereknya itu, tahan banting. Pemutar kertasnya saya las. Kalau ditarik, bunyinya brttt..., tek! gitu. Mengetik sebelas jari alias dua jari, memikirkan apa yang mau ditulis dengan sebatang rokok dan segelas kopi, wah nikmat sekali. Kadang-kadang, salah. Cabut kertasnya, buang ke tong sampah dan mulai lagi mengetik.

Satu-satunya pengalaman mengetik komputer saat menulis skripsi. Saya menumpang di rental teman saya depan kos-kosan. Dia minta saya ajarkan menulis artikel, dibarter dengan pelajaran mengetik komputer di rentalnya. Saat orang ramai menyewa komputer, saya sampai keringat dingin karena tidak tahu cara menyimpan data. Saya mengetik pakai program paling gampang. Namanya, chi writer. Ketik, simpan, ketik simpan dan seterusnya.

Ketika saya baru jadi wartawan, programnya WS 4 dan WS 7 yang saya tidak mengerti caranya. Diam-diam, saya amati cara orang mengetik, membuka data, lalu saya tulis di telapak tangan. Lama-lama, bisa juga. Malah, ada seorang wartawati menyangka saya juga setter. Dia menyuruh saya mengetik berita dan tulisannya, yang diambil dari majalah lain. Saya pikir, orang ini plagiat.

Saat saya sudah bisa membuat berita sendiri, tanpa sebab yang jelas, wartawati berbadan gempal itu marah-marah. Dia bilang, awaktu (kamu) kalau bikin berita harus konfirmasi! sambil menuding muka saya. Wah, ada apa ini? Jangan-jangan dia marah karena saya tak bisa lagi dia suruh-suruh.

Saya nyaris belajar sendiri. Sulit sekali mencari tempat bertanya, karena semua orang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Saya pergi ke toko buku dan belajar apa itu berita dan sumber berita. Oh, ternyata orang yang kita wawancarai namanya sumber berita.

Suatu hari saya pergi ke rumah sakit. Saya dapat informasi, banyak keluarga pasien yang kehilangan dompet saat tertidur di emperan rumah sakit lantaran dicopet. Nah, berita itu saya konfirmasikan kepada seorang wanita humas rumah sakit. Saat saya tanya soal itu, dia bilang,'' saya mau berkomentar dan menjawab pertanyaan Anda,''tukasnya. Entah dapat ide dari mana, saya berkata,'' bagi saya, ibu menjawab atau tidak, itu sudah jawaban. Mendadak, ia berubah. Eh, jangan begitulah. Saya mau bicara, tapi jangan kamu tulis nama saya,'' katanya. Akhirnya, saya dapat konfirmasi.

Hanya beberapa bulan saya ditugaskan di pekanbaru, saya dipindahkan ke Perawang, sebuah desa yang jaraknya 60 kilometer dari Pekanbaru. Saya mewawancarai seorang pimpinan bank yang dikabarkan selalu menerima upeti saat kredit cair. Melalui telepon, dia menjawab,'' Ah, tak ada itu pak. Tapi, kalau ada yang memberi saya uang sebagai tanda terima kasih, ya saya terima,'' katanya. Ucapannya itu, saya muat sebagai konfirmasi.

Tak sampai seminggu, pimpinan bank itu dipindahkan ke tempat lain. Ia marah-marah menelepon saya dan mengatakan saya menghancurkan karirnya. Tapi yang jelas, warga setempat yang pernah berurusan dengannya soal kredit bank, senang dia dipindahkan.

Saat di bertugas di Bukittinggi, saya juga menghadapi masalah dengan sumber berita. Dia marah karena saya menulis tentang seorang wanita yang masih sangat muda, merangkap jadi pelayan dan pemuas lelaki hidung belang di cafe remang-remang itu. Saya sempat dicari-cari tentara, yang dibayar pemilik cafe itu, untuk menghajar wartawannya.

Masalahnya, saat tulisan itu dikirim, kodenya salah dan redaktur di Pekanbaru memasang kode wartawan di Payakumbuh. Akibatnya, wartawan tersebut dijemput paksa oleh segerombolan tentara ke rumahnya pukul 03.00 dinihari. Meski wartawan itu (sampai saat ini saya merasa berhutang budi) tetap merahasiakan siapa penulis sebenarnya, akhirnya pemilik kafe itu tahu, sayalah yang menulis kasus itu.

Saya dicari-cari. Saya takut. Sampai saya berpikir, kalau bertemu, silakan saja saya dipukuli. lalu selesai masalahnya. Akhirnya saya kabur ke kota lain. Itulah pengalaman pertama diteror oleh sumber berita atau orang yang merasa dirugikan oleh berita saya. Sejak itu, saya lebih hati-hati menulis. Apalagi setelah bos saya menasehati, kan tidak akan berubah juga keadaan setelah ditulis kasus itu,'' katanya. Di Batam, beberapa kali saya berhadapan dan bermasalah dengan sumber berita. Mulai dari sekedar mengancam dan meneror, sampai menyekap saya di bandara selama dua jam. Kisah ini, bukan apa-apa. Hanya sekedar berbagi dengan wartawan pemula. Kisahnya berikutnya, tentang sumber berita di Batam. ***