Showing posts with label feature. Show all posts
Showing posts with label feature. Show all posts

Pak Rida

Posted by Jammes 7/16/2008 0 comments

Tanggal 17 Juli adalah hari kelahiran Rida K Liamsi, bos saya. Sudah dua belas tahun saya bekerja dengannya sebagai wartawan. Ia menjadi sumur inspirasi dan mata air kebijaksanaan yang tak pernah kering. Di usianya yang ke 65 tahun, Pak Rida tetap energik dan dinamis. Tulisan ini saya posting sebagai kado ulang tahun buat Pak Rida.

Saat mulai bekerja, saya baru tahu siapa bos saya. Seorang lelaki bertubuh tinggi dan kebapakan dan tak banyak bicara. Tapi, ia seorang pekerja keras. Orang-orang dan saya memanggilnya Pak Rida. Belakangan, saya baru tahu, nama aslinya Ismail Kadir. Pertama kali saya bicara dengan Pak Rida, saat saya gelisah dengan pekerjaan sebagai wartawan.
Baru dua minggu bekerja, saya ditugaskan di Perawang, sekitar 60 km dari kota Pekanbaru. Tiap hari, saya bolak-balik ke sana. Kawasan itu hanya sebuah desa, namanya Desa Tualang. Tapi, penduduknya lebih 15.000 karena desa itu lokasi PT Indah Kiat Pulp and Paper. Awalnya, sulit sekali menembus perusahaan itu. Saya hanya bisa wawancara dengan Kepala Desa dan Pembantu Camat. Lalu, soal pencemaran lingkungan, dan berbagai masalah sosial di sana. Merasa banyak tulisan saya berbau kritik, saya didekati oleh humas perusahaan itu. Pernah juga saya berdebat dengan dua orang yang saya kira pegawai humas. Ternyata, dia adalah Njau Kwit Mien, dirut perusahaan itu. Saya merasa, mereka mencoba mendekati dan mempengaruhi saya.
Pernah saya ditraktir makan, atau diberi uang ongkos pulang. Inilah yang membuat saya gelisah. Untuk mengatasi kegalauan hati saya, saya menemui Pak Rida. Saya ceritakan semua yang saya alami. ''Kenapa orang-orang itu begitu memperhatikan saya, kenapa tidak perusahaan saja yang memperhatikan saya?,''tanya saya kepada Pak Rida. Pak Rida menatap saya. ''Kau ini, sama seperti ketika pertama kali aku jadi wartawan. Tapi, kalau orang mau berteman, kan tidak apa-apa,'' jawab Pak Rida.
Empat bulan kemudian, saya pindah tugas ke Bukittinggi. Tak lama, mendadak saya mau dipindahkan lagi ke Batam. Sadar tugas wartawan siap dimana saja, saya pun pamit dengan rekan-rekan wartawan di kota wisata itu. Saya ke Pekanbaru, mengurus kepindahan dan minta tiket ke Batam.
Saat saya di kantor, Pak Rida datang. Melihat saya membawa barang, ia bertanya,'' Mau kemana kau?,'' katanya. ''Kan mau ke Batam, Pak,'' jawab saya. Saya kira, Pak Rida tahu saya bakal pindah ke Batam. Tanpa saya sangka, Pak Rida bilang,'' Kau balik lagilah ke Bukittinggi dan jadi Kepala Perwakilan di sana.''
Saya kaget. Apalagi, saya baru 8 bulan jadi wartawan. Spontan, saya bertanya,'' Apa tak buru-buru mengambil keputusan, Pak,'' kata saya.Perintah sekaligus pesan Pak Rida. ''Kau coba sajalah. Dulu aku juga tak tahu apa-apa soal koran,'' katanya, memberi semangat. Saya terdiam dan tetap tak habis pikir. Akhirnya, saya kembali dan
menjadi kepala perwakilan Riau Pos di Sumatera Barat. Perwakilan ini menjadi cikal bakal Padang Ekspres. Tiga perwakilan lainnya adalah Batam, Tanjungpinang dan Dumai.
Saya setahun menjadi Kepala Perwakilan. Lalu, saya mendapat kesempatan mengikuti pendidikan dan lokakarya redaktur di Jawa Pos Surabaya. Begitu selesai, selembar surat tugas baru sudah menanti. Pindah tugas ke Batam.
Pengalaman paling berkesan bersama Pak Rida adalah ketika saya diajak meliput ke kampung halamannya di Desa Bakung, Dabo Singkep selama empat hari. Mungkin saya satu-satunya karyawannya yang pernah ke sana. ''Baru dua wartawan yang pernah ke kampungku, kau dan Taufik Ikram Jamil,'' katanya. Taufik adalah mantan wartawan Kompas.
Perjalanan ke Dabo melewati Tanjungpinang. Saat di perjalanan, saya banyak bertanya pada Pak Rida. Misalnya, kenapa ia mengganti namanya. ''Aku ini dulu kan guru. Jadi, terpaksa memakai nama pena,'' katanya. Nama yang pernah digunakannya Iskandar Leo dan Rida K Liamsi.
Yang membuat saya heran, ternyata Pak Rida sudah 26 tahun tidak pulang ke tanah kelahirannya.Ia bercerita, saat masih remaja, ia seorang pemain sepakbola. Posisinya kiper, lantaran tubuhnya memang tinggi. Kami tiba di pelabuhan Jagoh, setelah menempuh perjalanan selama 1,5 jam. Lalu, saya dan Pak Rida naik bus dari Kuala Raya menuju desa Pengambil, ke rumah saudaranya dan menginap di sana.
Desa itu memang cocok dengan namanya, Pengambil. Apa saja hasil bumi diambil.
Sejak PT Timah angkat kaki,Pulau Dabo Singkep seperti diobrak-abrik. Tanah berlubang bekas galian timah yang disebut warga setempat kolong. Pasirnya diambil dan dijual ke Singapura. Hutannya dibabat.
Nah, warga desa Pengambil, termasuk saudara perempuan Pak Rida, protes keras pada perusahaan penggali pasir di desa itu. Pasalnya, ikan menjauh dari pesisir pantai lantaran bekas cucian pasir dialirkan ke laut.
Dengan nada putus asa, saudara Pak Rida mengadu. ''Bang, bilanglah pada Pak Gubernur,''katanya. Apa jawaban Pak Rida. Saya tidak yakin Pak Rida bicara begitu lantaran dekat saya. ''Aku kan bukan orang berpengaruh juga,'' katanya. Sebuah sikap rendah hati yang luar biasa. Tak terbayangkan bagi saya, kampung halaman sendiri ekologinya rusak begitu parah.
Keesokan hari, dari Pengambil kami naik sampan pancung menuju Desa Bakung, selama satu jam lebih. Desa yang indah itu, berbentuk teluk. Sebuah batu cadas besar, mencuat dari dasar laut, menjelang masuk ke mulut teluk. Pancung itu sampai terangkat karena pusaran air dan gelombang. Kamera saya sembunyikan dibawah kolong perahu, takut terkena air.
Saya dan Pak Rida berkeliling sebentar. Desa Bakung siang itu agak sepi karena banyak warga sedang melaut. Saking lamanya tak pulang kampung, kalau tidak Pak Rida yang lupa dengan orang kampungnya, orang yang lupa dengannya. Ia dipanggil Pak Mail disana.
Kami bertemu dengan mantan murid Pak Rida. Siang itu, bertiga kami salat di mesjid kecil. Setelah itu, Pak Rida ziarah ke makam ayahnya. Pak Rida menemui sahabat karibnya, seorang warga Tionghoa. Saat ia masih kecil, ia pernah ikut kapal ke Jambi membawa arang, lalu kembali ke Bakung membawa beras. Desa Bakung juga banyak diproduksi kapal-kapal kayu.
Melewati sebuah jembatan kayu, tempat bermain Pak Rida waktu kecil, kami menuju rumah seorang seorang kakek tua tempat ia biasa bermain. Mata Pak Rida berbinar-binar, mengingat masa kecilnya. Ia bercerita, betapa ia sangat gugup ketika seorang camat yang datang ke sekolahnya menyuruhnya tampil ke depan kelas.
Sorenya, kami kembali ke Dabo dan menginap di rumah seorang keponakannya. Di Pulau paling ujung Kepulauan Riau itu, saya menemukan kerusakan lingkungan yang dahsyat. Berlalunya masa kejayaan timah, membuat warga di Pulau itu terhenyak. Dulu, anak-anak warga yang bekerja di PT Timah, naik pesawat dan kuliah gratis. Kini bandaranya ditutup. Sebuah bank juga ditutup. Kalau biasanya, Puskesmas naik status jadi rumah sakit, yang terjadi di Dabo sebaliknya. Rumah sakit yang pernah punya alat pacu jantung itu, turun kelas menjadi Puskesmas. Cukup banyak warga Dabosingkep yang akhirnya pergi ke Tanjungpinang dan Batam.
Malam terakhir di Dabo, kami menginap di sebuah hotel kecil. Pak Rida menyuruh saya memeriksa kamarnya. ''Bagus tak? Inilah hotel terbaik di Dabo,''katanya, tersenyum. Paginya, kami sarapan makan nasi dagang. Nasi yang dibungkus daun dengan lauk ikan teri, sambal dan telor. Nikmat sekali.
Kendati usianya sudah tidak muda lagi, fisik Pak Rida tergolong tangguh. Terbang ke berbagai kota, mengontrol anak-anak perusahaan. Kalau rapat, Pak Rida bisa berbicara berjam-jam, sementara kami yang muda-muda, kadang terkantuk-kantuk kecapekan.
Pak Rida juga orang yang berpikiran maju. Kepada para pimpinan perusahaan saat berkunjung ke Genting Highland dan Thailand, ia mengatakan, menyaksikan negara lain, akan menambah wawasan kita. Selain banyak belajar dari Pak Rida, baik secara langsung maupun diam-diam, saya terkesan dengan sikapnya yang bijaksana. Pak Rida orang yang punya pertimbangan matang, dan kadang mengejutkan.

Kalau bertemu saya, ia selalu membaca buku baru atau sebuah novel. Sikap bijak itu, mungkin lantaran latar belakangnya seorang guru. Ia selalu yakin, orang kalau belajar, lama-lama pasti pintar. Ibarat pedang,kalau diasah akan tajam juga. Saat seorang karyawan yang mengadopsi anak meminta cuti cukup lama, saya bingung. Sebab, ia bukan cuti melahirkan dan kalau saya beri cuti, itu melanggar peraturan.
Pesan Pak Rida membuat saya teguh mengambil keputusan. ''Ia sudah menikah sepuluh tahun dan tidak punya anak. Berarti, ia tidak pernah mengambil cuti yang tiga bulan itu. Berikan saja cuti, demi kemanusiaan,'' katanya kepada saya.
Kalau Pak Rida ke Batam, saya suka menemaninya. Biasanya, diajak makan seafood kesukaannya. Kalau orang lain takut kolesterol, Pak Rida cuek saja. ''Makan sajalah, tak usah dipikirkan,''katanya.
Kadang saya menganggapnya tidak sebagai bos, tetapi sebagai guru dan orang tua. Bagi saya, Pak Rida tempat bertanya, kalau saya ragu dalam mengambil keputusan, termasuk masalah-masalah dalam perusahaan.
Ada yang membuat saya juga heran. Biasanya, kalau ada teman-teman yang diberi kepercayaan menjabat, Pak Rida akan memanggil dan bicara empat mata. Tapi, saya tidak mengerti, saya tidak pernah seperti itu. Memberi kepercayaan begitu besar seperti menjadi pemimpin perusahaan, mendadak dan tanpa pembicaraan sebelumnya. Satu hal yang ingin saya lakukan, saya akan menjaga kepercayaan itu. ***

Bang Mawi

Posted by Jammes 7/14/2008 0 comments

Kendati usianya jauh lebih tua, saya memanggilnya abang. Ia seorang seniman yang piawai soal cetak mencetak koran. Belakangan, ia juga mengurus gedung. Penikmat kopi dan perokok berat itu nyaris kalah melawan serangan jantung.


Namanya Darmawi Kahar. Namun, ia sering memakai nama Armawi KH sebagai nama samaran. Kami biasa menyapanya dengan sebutan Bang Mawi. Saya mengangapnya tidak saja sebagai orang tua, juga teman bicara dan berbagi cerita.
Kadang-kadang, ia bercerita soal masa lalunya. Ia pernah menjadi pegawai negeri, lalu memutuskan berhenti. Ia juga pernah punya mesin offset sehingga ia sangat memahami teknologi mesin cetak.
Kadang-kadang, ia mengungkapkan keresahan dan kegalauannya soal berbagai masalah. Tapi, tak ada nada keluh kesah. Hanya sekedar cerita, sambil menyeruput kopi hitam kegemarannya.
Di saat lain, saya yang menjadikan Bang Mawi tempat berdialog, bertanya dan bercerita. Meski ia sering menasehati, namun tak ada kesan menggurui. Kalau sarannya diterima oke, kalau tidak ya sudah.
Saya makin akrab setelah Bang Mawi ditugaskan ke Batam. Dari atas gedung, kadang saya melihat Bang Mawi mondar-mandir, dari percetakan ke gedung Graha Pena. Ia memang menjadi direktur utama kedua perusahaan itu.
Pernah saya bertanya, kenapa Bang Mawi mondar mandir dan sendirian. ''Ya mau kemana lagi. Di Batam ini, kaulah teman aku,''katanya. Saat gedung graha pena sedang tahap finishing, saya dan Bang Mawi naik ke lantai sepuluh. Nafasnya ngos-ngosan. Wajahnya membiru. Saya sempat khawatir. Tapi Bang Mawi bilang, tidak apa-apa.
Sejak Graha Pena Batam masih kosong, Bang Mawi yang menata ruangannya. Cita rasa seninya yang tinggi, digabung dengan kemampuan desain dengan komputer, sehingga ruangan di gedung paling megah di Kepulauan Riau itu, tertata apik.
Tidak banyak yang tahu kemampuan Bang Mawi soal desain ini. Pak Rida pernah bilang kepada saya, mestinya bagian lay-out atau desain iklan, bertanya kepada Bang Mawi. Soalnya, kalau tak ditanya, Bang Mawi juga enggan mengajari. ''Bak kata orang Melayu, Mawi ini tidak mau seperti hidung tak mancung, pipi disorong-sorong.''
Di saat lain, Bang Mawi berlama-lama di ruangannya yang terus berpindah-pindah. Sebab, kalau ruangan yang ditata disewa tenant, ia mengalah dan pindah ke ruangan lain. Ia juga suka melukis. Kanvas dan cat minyak di ruangannya menjadi tempat ia mencurahkan idenya.
Bang Mawi juga suka bunga dan tanaman. Ia yang memilih tanaman di pekarangan di gedung Graha Pena. Suatu hari, ia tertarik melihat sebatang pohon yang berbunga merah, tanpa daun sama sekali. Kami berhenti dan meminta beberapa dahannya untuk dibibitkan.
Soal makan, Bang Mawi tak banyak pantang. Setelah saya ajak makan di rumah makan Padang di Seraya, ia merasa cocok dan kembali lagi datang ke sana menikmati makanan itu. Pemilik rumah makan itu kemudian ditawari berjualan di kantin percetakannya.
Sejak lama saya khawatir dengan kesehatan Bang Mawi. Namun, ia orang yang optimis. Kalau tertawa, bahunya terguncang-guncang. Saat ngobrol, kadang-kadang Bang Mawi menekan dan memijit dadanya. Beberapa kali, ia pergi ke Melaka Malaysia memeriksakan kesehatannya.
Atau sesekali ia memegang tengkuknya. Bang Mawi memang menderita darah tinggi dan sejak lama mengonsumsi obat darah tinggi tensi plas. Kadar gula darahnya juga di atas normal. Namun, saat dicek, paru-parunya bersih. Padahal, ia perokok berat dan suka rokok merek Marlboro.
''Dokter di Melaka juga heran. Mungkin karena merokok dan banyak dahak, sehingga paru-paru aku bersih,'' kata Bang Mawi membuat analisa sendiri sambil tertawa-tawa.
beberapa bulan lalu, keluhannya ginjal yang kata dokter sudah rusak separuh. Bang Mawi pergi lagi ke Melaka. Kebetulan, saya juga berlibur ke Afamosa, Melaka. Kami sempat saling telepon, tapi tak bertemu. Beberapa minggu kemudian, Bang Mawi balik lagi ke Melaka. Kabarnya, ginjalnya mulai membaik.
Sejak itu, Bang Mawi mengurangi minum kopi. Ia memilih minum teh tanpa gula. Tapi, asap rokoknya tetap mengepul. Saya masih sempat mengajak Bang Mawi terapi Ceragem di Puri Legenda dan ngobrol sampai malam tentang berbagai masalah.
Saya terkejut mendengar kabar Bang Mawi masuk rumah sakit kena serangan jantung. Untunglah Mang Mawi yang sudah sering keluar masuk rumah sakit tidak panik dan kehilangan akal. Ia masih sempat menelepon dan minta diantar ke rumah sakit. Saya baru bisa bertemu setelah Bang Mawi tiga hari dirawat. ''Aduh, kacau. Kena jantung aku,'' kata Bang Mawi, seperti biasa, tanpa beban dengan nada datar.
Ia mengajak saya ngobrol. Padahal, malam itu sudah hampir jam 12 malam. Saya katakan, Bang Mawi harus beristirahat. Setahu saya, ada tiga faktor resiko penyakit jantung. Merokok, kolesterol dan stres. Apalagi, sebulan belakangan kesibukan Bang Mawi bertambah dan makin sering terbang ke luar kota. Terakhir, ia mengurus percetakan buku murah.
Sehari setelah bertemu, besoknya ada miscall dari Bang Mawi. Saya telepon balik, tak diangkat. Saya dengar, Bang Mawi dibawa ke Johor untuk mengobati jantungnya. Saya hanya bisa berdoa, semoga Bang Mawi lekas sembuh. ***

Jika Saya Wali Kota Batam

Posted by Jammes 4/17/2008 0 comments
TIBA-TIBA orang -orang mengelu-elukan saya sebagai walikota Batam. Saya berhasil mengumpulkan suara terbanyak setelah terjadi voting yang menegangkan. Sekaligus mengalahkan lawan-lawan politik saya selama ini. Ucapan selamat berdatangan. Ada karangan bunga, ada pula iklan satu halaman. Astaga? Saya kini jadi walikota..!


Rasanya, saya boleh bangga. Sebab, sayalah walikota pertama yang dipilih berdasarkan aspirasi masyarakat Batam. Dua walikota sebelumnya, hanya seorang pejabat karir yang ditunjuk atasan. Yang satu dinilai suka melawan instansi lain, sedangkan yang satu koordinasi hanya di tingkat elit birokrasi.
Perjalanan saya menjadi walikota memang tidak gampang. Betapa berat perjuangan saya sebelum ini. Modal saya hanya kejujuran, antusiasme, semangat kemasyarakatan, akal sehat serta kemampuan memimpin. Tetapi, itu saja tidak cukup.
Saya tahu betul, rival-rival saya sesama kandidat walikota, selain terkenal, juga punya uang. Mereka sering bicara di koran sehingga warga pulau ini tahu siapa calon mereka. Kadang ada fotonya. Begitu namanya disebut, orang segera tahu siapa dia.
Apalagi, kabarnya mereka punya tim sukses. Tugasnya hanya satu. Bagaimana mengegolkan calonnya menjadi walikota. Mereka inilah yang kasak-kusuk melobi ke sana kemari agar orang-orang, baik secara pribadi maupun kelompok memberikan dukungannya terhadap bakal calon walikota.
Sedangkan saya? Ah, pusing kepala saya memikirkannya. Konon, di luar negeri orang punya kekayaan dulu, baru menjadi pejabat. Tapi di negeri saya, terbalik. Jadi pejabat dulu, baru mengumpulkan kekayaan. Saya tidaklah kaya dan juga bukan pejabat. Makanya, saya jadi bingung begitu ada yang mencalonkan saya.
Tapi, sudahlah. Kini saya seorang walikota. Saya mulai bekerja semampu saya. Tugas pertama saya memimpin rapat di kantor walikota. Saya panggil asisten, kepala-kepala dinas serta kabag-kabag. Saya tanyakan, apa masalah yang dihadapi. Dengan mendengarkan anak buah saya, sekaligus saya belajar menutupi kebodohan saya sebagai orang baru.
Ternyata, jadi walikota tidak semudah yang saya duga. Masalah utama adalah, selama ini tidak ada komitmen jangka panjang dan investasi kepada masyarakat kota ini. Orientasi pembangunan hanya ke soal fisik dan bisnis belaka. Namun masalah sosial kemasyarakatan terlupakan dan jadi tumpang tindih.
Penduduknya bertambah tak terkendali. Harapan orang terhadap pulau ini bertambah tinggi. Padahal, kemampuannya menerima pendatang makin melemah. Akibatnya, banyak yang nganggur. Kriminalitas tinggi dan membuat warga kota kehilangan rasa aman. Sebagian besar warga saya tinggal di ruli.
Kesenjangan sosial makin menjadi-jadi. Ini bisa dilihat dari disparitas penda-patan yang menganga lebar. Seperti syair lagu dangdut, yang kaya makin kaya, yang miskin tambah melarat. Bisnis dikendalikan orang-orang tertentu, yang bisa berkolusi dengan pejabat dan memberi upeti serta tidak mengungkit-ungkit kekuasaan mereka.
Saya kini jadi tahu, partisipasi warga kota sangat rendah. Siapa lu, siapa gue. Budaya yang berkembang adalah ketidakpastian dari kaum urban. Hukum tak jelas kemana berpihak. Siapa yang kuat, itu yang menang. Primordialisme menjadi-jadi.
Kesempatan buat warga tidak sama. Ketidakadilan ada dimana-mana. Akibatnya, warga kota saya gampang marah. Mereka frustrasi karena setelah jauh-jauh merantau ke sini, belum juga berhasil. Mau kembali ke daerah asal, malu sama orang sekampung. Saya pening memikirkan semua ini. Seperti lingkaran yang tak berujung.
Sebagai walikota, saya harus bekerja keras mengurus masyarakat saya. Saya merasa antusias, kota ini akan maju seperti Singapura. Saya punya keberanian dan bekerja sesuai prioritas tanpa kompromi dengan mengembangkan keya-kinan dan membuat komitmen. Badan saya memang tidak tinggi besar, tapi se-mangat saya menyala-nyala
Saya menginginkan warga Batam punya antusiasme, akal sehat, kerja keras, semangat kemasyarakatan serta komitmen untuk maju dalam zaman yang penuh persaingan ini. Dengan begitu, saya yakin bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat secara dramatis.
Masalah-masalah di kota pulau ini, tanpa saya sadari membuat saya menjadi lebih sabar. Sabar menghasilkan kegigihan, kegigihan menghasilkan watak, watak menghasilkan harapan dan harapan menghasilkan kekuatan.
Sebagai walikota, saya sering datang ke pasar-pasar, pusat keramaian dan juga ke pemukiman liar. Saya berdialog dengan mereka. Mencoba memahami warga saya dari kaca mata mereka. Ternyata, selain miskin, warga saya yang tinggal di rumah beratap getah dan dinding seadanya itu, merasa betah-betah saja.
Mereka datang ke pulau ini menyeberangi lautan dengan harapan merubah nasib dan masa depan. Dan, mereka hanya berniat tinggal sementara. Namun, sadar atau tidak, mereka sudah bertahun-tahun berlidung dari panas dan terik matahari di ruli. Dan sudah beranak pinak pula.
Di pasar-pasar, warga saya berdagang kaki lima. Sebab, mereka tak sanggup menyewa ruko pakai dolar Singapura. Jangankan punya dolar, mengumpulkan rupiah demi rupiah saja, mereka sudah bekerja mati-matian. Apalagi, tak ada tempat bagi mereka di los pasar yang sempit. Pasar Rakyat yang dijanjikan, entah kapan selesainya.
Saya temui buruh-buruh yang bekerja di pabrik-pabrik. Saya bercakap-cakap dengan supir taksi gelap dan yang terang. Saya bertemu dengan pemulung, penjaga malam, kuli bangunan, sampai pengangguran dan wanita yang menjajakan cinta sesaat. Pokoknya, saya ingin menyerap secara langsung aspirasi masyarakat saya.
Saya tidak mau dan tidak betah duduk berlama-lama di kantor yang ber-AC, menerima tamu dari pagi sampai petang, atau keliling-keliling kota dengan alasan urusan dinas. Yang saya lakukan, mengurus masyarakat kota saya dan menjadi kepala pelayan bagi mereka. Toh, karena merekalah saya bisa duduk di kursi empuk ini sebagai wali kota.
Sebagai orang nomor satu di Batam, saya sedang menunggu dengan penuh harap pelaksanaan otonomi daerah. Apalagi, sudah terlalu lama daerah dihisap pusat seperti lintah. Pendapatan Asli Daerah saya ini, dulu harus disetor ke pusat. Setelah itu, kami tidak tahu kemana uang itu. Entah masuk kas negara yang makin bangkrut, atau masuk ke kantong bapak-bapak semalam.
Kini, sayalah yang menentukan penggunaan lahan. Sebab, tidak ada artinya saya jadi walikota, tapi semua diatur oleh Otorita Batam. Kalau masih seperti dulu juga, itu berarti saya hanya sebagai walikota boneka. Saya tidak mau, ah...
Sebagai walikota di zaman otonomi ini, saya akan mewujudkan persamaan hak politik (political equalitiy) untuk berpartisipasi bagi warga saya. Sebab, saya menyadari, masyarakat Batam sangat heterogen, yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial dan masing-masing akan memperjuangkan kepentingannya.
Saya juga akan membuka kran kebebasan berpolitik (political liberty) bagi warga Batam. Pemda bisa mengambil kebijakan tanpa campur tangan pusat, tidak seperti selama ini. Setiap kebijakan saya, sesuai dengan tuntutan masyarakat. Dan yang lebih penting, saya mengembangkan apa yang disebut local responsiveness dimana Pemda akan lebih responsif terhadap komunitas masyarakat Batam.
Saya sadar benar, saya mesti bersedia berbeda pendapat dan dikritik masyarakat serta mengorbankan kepetingan saya dan kelompok saya demi orang banyak. Klise memang. Tapi, walikota sebagai bos di Pemda, prilaku walikotanya akan mempengaruhi pemerintahnya. Itulah sebabnya, yang pertama kali saya benahi adalah jajaran birokasi sebagai pelayan masyarakat.
Pelan tapi pasti, saya berhasil membangun ekonomi rakyat Batam. Memang tidak sehebat Singapura, tapi lumayanlah. Sebab, selama ini sudah dimotori oleh Otorita Batam. Kerja keras saya mulai menampakkan hasil dengan tumbuhnya rasa memiliki warga kota terhadap pulau ini.
Konflik-konflik sosial, bisa ditangani berkat kerjasama yang harmonis antara komponen masyarakat. Sebab, saya menyadari betul, konflik dan integrasi ibarat dua sisi mata uang, tergantung kita memeneejnya. Saya juga mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan Otorita Batam yang kini mengurusi investasi yang mengalir ke pulau ini. Tapi, soal masyarakat, itu urusan saya.
Sebagai pemimpin yang didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting, saya merasa dicintai masyarakat saya. Mereka menyampaikan dukungannya agar saya kembali mencalonkan diri untuk periode kedua sebagai walikota. Tapi saya menolak. Sudah cukuplah rasanya. Yang penting, saya sudah meletakkan tatanan hidup bermasyarakat dalam pulau ini.
Tiba-tiba saya terbangun. Hari sudah hampir pagi. Mata saya mengerjap-ngerjap, lalu saya gosok dengan punggung tangan. Tak ada siapa-siapa, selain istri saya di tempat tidur kami. Astaga? Ternyata saya bermimpi menjadi walikota.
Lama saya merenung. Ternyata saya hanya bermimpi panjang. Tapi saya tak habis pikir, kenapa mimpi seperti itu yang datang. Lalu saya teringat, sorenya saya membaca berita tentang penjaringan aspirasi masyarakat tentang walikota. Sampai-sampai terbawa dalam mimpi.
Saya teringat satu hal. Memang baik menjadi orang penting, tetapi lebih penting menjadi orang baik. Saya memang bukan walikota, saya hanya seorang wartawan. ***

Warga Batam Keranjingan Money Game

Posted by Jammes 4/05/2008 0 comments
Ketika bunga deposito turun, ekonomi lesu darah, apa saja bisnis yang bisa berkembang dan menguntungkan? Inilah pertanyaan yang sering menge-muka di kalangan pelaku bisnis di Batam, setelah wait and see menunggu ekonomi membaik. Belakangan, beberapa di antaranya dan warga Batam terjun ke money game, internet marketing atau multi level marketing (MLM). Apa dan bagaimana bisnis money game?

SETUMPUK brosur fotokopian itu, menumpuk di atas mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM) sebuah bank di Batam Centre. Isinya, mengajak ber-bisnis dengan mengirim uang ke beberapa nomor rekening tertentu. Tentu saja disertai kisah sukses mereka yang pernah ikut program tersebut dan ha-sil spektakuler yang didapatkan.
Namun, beberapa hari kemudian, tumpukan brosur di mesin ATM itu su-dah tidak ada lagi. Beberapa orang warga yang terpengaruh, mulai mengirim uang ke rekening yang tertera di brosur tersebut, masing-masing Rp80 ribu. Lalu, ia menunggu, saldo di rekeningnya sendiri membengkak secara ajaib. Diduga, ini merupakan praktik money game yang merambah Batam.
Apa itu money game? Bisnis seperti ini juga disebut bisnis piramid atau bisnis penggandaan uang. Agar orang tertarik (siapa yang tidak tertarik dapat uang dalam jumlah besar dalam tempo singkat?) mereka yang bergelut de-ngan bisnis ini menyebut sebagai bisnis MLM. Padahal, ini hanya sebagai kedok agar orang tertarik bergabung.
Pada bisnis MLM biasanya peserta hanya membayar uang pendaftaran reltif kecil atau sekitar Rp150 ribu dan mendapat keuntungan dari penjualan produk. Namun, bisnis money game uang pendaftaran bisa ratusan ribu yang digunakan untuk membayar bonus penghasilan orang yang sudah lebih dulu bergabung. Satu lagi, bisnis money game biasanya tidak memiliki produk yang dijual kepada konsumen. Kalaupun ada, mutunya asal-asalan dan hanya sebagai kedok belaka.
Menurut Safir Senduk, bisnis money game tampaknya bagus bagi mereka yang baru bergabung, tapi tidak bagi yang bergabung belakangan. Biasanya, Anda diminta mencari dua orang untuk disponsori, dan dua orang itu men-cari dua orang lagi, begitu seterusnya. Sebelumnya, Anda diminta menyetor sejumlah uang. Namun, dalam bisnis ini, tidak ada barang yang dijual seperti halnya multi level marketing (MLM).
Bagaimana asal muasal bisnis money game alias bisnis piramid ini ber-kembang? Penemunya disebut-sebut Chaels K Ponzi, seorang imigran Italia yang menetap di Kanada tahun 1903 dan dua kali masuk penjara karena ka-sus pemalsuan dan penipuan.
Tahun 1920 Ponzi mendirikan perusahaan jasa ’’kupon pos’’ di Boston. Dia berhasil meraup 9,5 juta dollar dari 10.000 investor dalam waktu sing-kat, dengan menjual surat perjanjian (promissory notes) “Bayar 55 sen untuk setiap sen, hanya dalam waktu 45 hari.”.
Ponzi kemudian disidangkan dengan tuduhan melakukan penipuan finan-sial. Metodanya dia namakan “buble burst”, dan kemudian kita kenal men-jadi “skema Ponzi”. Ponzi kabur ke Italia menjelang diadili, namun ia di-tangkap lagi dan setelah diekstradisi, ia meninggal tahun 1949. Biaya penguburannya pun dibiayai pemerintah Brasil.
Cerita Ponzi di atas adalah asal mula bisnis money game dan saat ini di-haramkan di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri terjadi banyak kasus serupa, dengan mengelabui calon investor bahwa mereka perlu modal untuk bisnis mereka dan menjanjikan keuntungan yang besar dalam waktu singkat.
Di sisi lain, skema Piramid dari sistem Ponzi ini ternyata menarik para pebisnis untuk mengadopsi cara bisnis piramid ini dan kemudian kita kenal dengan Multi Level Marketing. Ini skema piramid yang dimodifikasi, lebih lunak, lebih merata dan diberi aturan, untuk menjadi alat marketing pro-duk/jasa. Skema piramida ini terbukti cukup ampuh untuk memasarkan produk/jasa yang tadinya tidak terkenal sama sekali, untuk langsung meraih pasar dalam waktu singkat, tanpa harus bersusah payah dan keluar biaya iklan di media massa.
Masih ingat kasus PT Qurnia Subur Alam Raya (QSAR) enam tahun lalu? Inilah salah satu kasus money game yang mengaku bergerak di bidang agrobisnis (menanam cabai, tomat, jamur, beternak sapi, kambing, cacing, dll) dan mengundang para investor untuk menanamkan modal dengan sistem bagi hasil.
Hebatnya, bisnis money game ini mampu memperdaya 6.800 korban dan menyedot uang mereka Rp500 Miliar. Inilah mega money game yang berhasil mengelabui; mulai dari orang-orang kecil sampai pejabat penting di Indonesia. Tawaran hasil investasinya benar-benar menggiurkan, sebesar 10 % per bulan dari jumlah uang yang ditanamkan. PT QSAR juga mengklaim telah membuka berhektar-hektar perkebunan di Sukabumi dan beberapa tempat lainnya (Bengkulu dan Makasar) serta mempekerjakan 10.000 lebih petani penggarap dan karyawan. Kedok PT QSAR akhirnya terbongkar.
Masih di Jawa Barat, sejumlah investor di Bandung tahun menderita ke-rugian antara Rp400-800 Miliar, setelah tertipu praktek money game ber-kedok bisnis BBM. Kasus yang terungkap sekitar bulan Oktober 2005 ini memiliki pola operasi yang sama serta tipikal korban yang sama seperti kasus-kasus money game sebelumnya.
Praktek money game yang dilakukan PT Cita Hidayat Komunikaputra ini, menjanjikan keuntungan berlipat ganda melebihi batas kewajaran. Kedoknya dengan menjalankan bisnis BBM, penjualan oli berbagai merek serta SPBU.
Kasus money game di Medan lebih gila lagi dan menelan dana triliunan. Adalah PT Banyumas Mulia Abadi (BMA) yang berkedok perusahaan pen-jual celana jins dan kaos. Selain di Medan, perusahaan ini juga bero-perasi di Aceh, Riau, Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Saban hari, ratusan orang keluar masuk kantor perusahaan itu. Bagi para nasabah, bukan paket ka-osnya yang dibeli, tapi tawaran kompensasinya yang diincar.
Sekitar 70 paket ditawarkan, di antaranya paket istimewa dengan setoran pertama Rp3,7 juta (pokok Rp3,25 juta plus PPN 12 persen atau Rp390 ribu). Untuk setoran itu peserta mendapat kompensasi 13 kaos @ Rp7.500 (total Rp97,5 ribu), yang bisa diminta barang atau uangnya. Tiap member biasa dikenakan iuran Rp500 ribu sekali masuk, plus wajib membeli minimal empat paket per transaksi. Lalu 23 hari kemudian setoran mereka akan membengkak dan dikembalikan Rp6,5 juta per paket (belum termasuk kaos dan diskon 4 persen).
Berikutnya, paket standar terendah seharga Rp5,04 juta yang akan menjadi Suzuki Tornado GX atau uang sebesar Rp7,7 juta dalam 39 hari kerja. Lalu ada paket termahal seharga Rp565,6 juta untuk mendapatkan Mercedes Benz Elegance atau uang sebesar Rp878 juta.
Dengan kata lain, nasabah dibuat ‘hijau’ matanya dengan tingkat peng-embalian uang sebesar 400-500 persen per tahun! Bandingkan dengan bunga deposito atau tabungan. Tak pelak, tawaran menggiurkan dan digabung de-ngan sistem member get member itu dengan cepat menyebar ke masyarakat.
Apa yang terjadi kemudian? Ratusan nasabah BMA tertipu dan menuntut uang mereka dikembalikan. Dari pendataan komputer, uang nasabah yang tersedot dalam pembelian berbagai paket total mencapai Rp790 Miliar lebih. Untuk pembelanjaan tersebut seharusnya PT BMA menyediakan kompen-sasi laba kepada nasabah sebesar Rp1,3 Triliun. Namun dari hasil pendataan manual (karena tidak semua dana nasabah terinput di komputer), ternyata total pembelian paket oleh para nasabah mencapai Rp2,9 triliun dengan kewajiban kompensasi laba sebesar Rp5,7 triliun!
Money game atau skema piramid bisa berkedok bisnis apa saja. Mulai dari MLM, investasi, agrobisnis, perdagangan barang koleksi, internet mar-keting dan sebagainya. Siapa sih yang tidak tergiur ketika ditawari sebuah peluang bisnis yang dapat memberikan imbal hasil antara 15-20 persen per bulan atau 180-240 persen per tahun?
Apalagi bila pada saat yang sama bank-bank resmi hanya memberikan bunga pada kisaran 5-8 persen per tahun. Sementara, bank yang hanya memberikan bunga sangat kecil dan masih dipotong pajak lagi.
Lalu, bagaimana dengan bisnis piramid online, internet marketing dan sejenisnya yang juga mulai marak belakangan ini? Mari kita periksa sebentar. Seorang warga Batam yang menolak ditulis namanya, kini punya ’’mainan’’ baru yang menghasilkan uang. Ia ikut program investasi swiss-cash.com yang menjanjikan persentase pengembalian bunga menggiurkan. Ia kini asyik berinvestasi melalui situs Swisscash.com. Info ini didapatnya dari temannya di Malaysia. ’’Awalnya saya ragu, apakah ini tipu-tipu atau benar. Malah ada yang menanyakan ke kedutaan Swiss, ternyata perusahaan itu benar-benar ada,’’ katanya berkisah.
Caranya, uang sebesar 1000 Dolar AS dimasukkan ke rekening swisscash melalui bank tertentu. Syaratnya antara lain nomor paspor, alamat email dan nomor handphone.
’’Kita bisa mengecek di email yang sudah diberi ID dan password, baru buka situsnya. Dari situlah tahu kita sudah jadi member. Keuntungan yang diberikan, 3 bulan pertama return (keuntungan) 10 persen. Tiga bulan kedua dapat 15 persen dan tiga bulan ketiga dapat 20 persen dan tiga bulan keempat 25 persen dan tiga bulan kelima 30 persen. Ini karena dihitung lima hari kerja,’’ paparnya.
Keuntungan itu bisa diambil kapan saja, melalui bank mana saja. Namun, setiap transaksi dikenakan biaya 30 dolar AS. ’’Nah, caranya mengambil kontak dulu kawan-kawan lain sehingga biaya administrasi bank bisa dibagi-bagi,’’ujarnya seraya menyebutkan sudah dapat 2000 dolar AS dan duit investasi yang sebelumnya masih ada.
Bisnis online ini juga memberlakukan sistem member get member. Dari satu orang member yang berhasil diperoleh, ia akan langsung mendapat 10 persen dari nilai investasi yang ditanamkan. Namun, ia mengaku, kalaun uang yang ditanamnya melalui internet lenyap lantaran tidak tahu perusahaannya, itu resiko. ’’Ya nggak apa-apa. Kan yang kena tidak hanya saya,’’ katanya, enteng.
Belakangan, bisnis piramid online juga bermunculan di dunia maya alias internet. Setiap anggota atau member diminta membayar 67 dolar AS. Setelah itu, ia berhak merekrut anggota baru, memanfaatkan perpustakaan online, kursus program pensiun dini, memanfaatkan software kalkulator finansial, serta konsultasi melalui internet.
Anggota bisnis ini diiming-iming meraih penghasilan 6.569 dolar AS atau sekitar Rp65 juta sebulan. Dalam sistem ini, member diberi training e-marketing via internet selama 30 hari dan wajib merekrut minimal 4 anggota baru alias downline. Tiap bulan, anggota wajib membayar sekitar Rp1,1 juta selama 18 bulan tanpa berhenti. Biaya tersebut untuk biaya keanggotaan, autoresponder (software penjawab email, dan iklan di internet.
Nah, apabila berhasil merekrut seorang member baru (yang membayar 60 dollar), member ETI langsung mendapat head hunting bonus sebesar 41,50 dollar atau hampir 125 dollar untuk tiga member. Semakin banyak anggota direkrut, semakin besar pula bonus rekrutnya, atau semakin dekat ke arah penghasilan Rp65 juta per bulan yang dibayar melalui kartu ATM (Visa Pay Card).
Alhasil, dalam waktu singkat internet dipenuhi oleh puluhan website yang mengiklankan cara cepat menjadi kaya. Karena internet marketer kede-ngarannya baru dan canggih, tak pelak cukup banyak yang mencoba dan keranjingan.
Di internet, kini juga bertaburan berbagai peluang bisnis, dengan janji memberi penghasilan tak terbatas. ’’Program yang kami tawarkan bukanlah program money game, mlm atau program cepat kaya lainnya, diperlukan usaha dan proses pembelajaran,’’ begitu tertulis di pengantar websitenya.
Materi internet marketing yang diajarkan antara lain, prospek bisnis online, bagaimana menghasilkan uang lewat affiliate marketing dan google adsense, ezine publishing dan sebagainya. Juga diajarkan cara membuat website bagi pemula, panduan meng-upload file ke server, cara membuat Blog yang dilengkapi video training berbahasa indonesia dan lainnya.
Pada akhir penawarannya, ada pesan begini: Tidak ada keharusan untuk bergabung dengan peluang bisnis internet yang kami tawarkan, tetapi jika anda memutuskan - Anda bisa memulai hari ini sekarang juga dengan garansi 10 hari uang kembali 100 % apabila anda tidak puas dengan apa yang kami tawarkan.
Tapi waspadalah! Sifat manusia pada umumnya, yang menginginkan hasil sebesar-besarnya dengan usaha sekecil-kecilnya, atau tanpa usaha sama sekali, selalu dimanfaatkan oleh para penipu. Akibatnya, kekurang waspadaan seperti itu hanya akan membuat orang yang bersangkutan menderita kerugian besar dan menyesal berkepanjangan. Namun, semuanya terserah Anda, sebelum mengambil keputusan. Sebab, dalam bisnis, ada tipi-kal konservatif yang selalu berhati-hati, tipe moderat dan tipe risk taker alias berani mengambil resiko. Anda termasuk yang mana? ***

Tragedi Kota Tambang yang Terbuang

Posted by Jammes 0 comments
''Tanah air tinggal airnya,
Kolong berserakan.
Singapura Timbul
Singkep tenggelam....''

KALIMAT di atas bukan puisi. Tetapi jeritan hati warga Pulau Singkep. Dampak ekologi, sosial ekonomi dan perubahan yang terjadi pulau Singkep memang luar biasa. Socrates menuliskan reportasenya setelah menyusuri pulau paling ujung di Selatan Kepulauan Riau itu.

Pulau Singkep dalam pelajaran ilmu bumi anak sekolah dasar dulunya, namanya memang kesohor sebagai daerah penghasil timah. Sebab, di Indonesia hanya ada tiga pulau penghasil timah yaitu Bangka, Belitung dan Singkep.
Tapi, kini pelajaran itu harus diganti. Sebab, Pulau Singkep kini, bukan lagi penghasil timah. Pulau itu kini terlantar dan sudah ditinggalkan, dengan mengalami kerusakan lingkungan yang hebat dan perubahan sosial yang dashyat. Pulau yang berbentuk teko itu, yang dikuras isi perutnya lebih dari 150 tahun, kini menjadi pulau yang paling baik untuk bahan studi tentang ekologi, atau bahan renungan tentang tragedi sebuah kota tambang.
Tidak percaya? Silakan datang ke pulau ini. Akan segera dapat disaksikan bagaimana Singkep seolah tercabik-cabik dan terkoyak-koyak. Ratusan lubang bekas tambang timah menganga. Dan kini masih ditambah dengan lubang-lubang baru, bekas kerukan penambangan pasir untuk ekspor.(boleh dicatat: Kalau tambang timah, timahnya diambil, tapi pasirnya ditinggalkan, sehingga dapat menimbun kembali lubang yang
menganga. Tapi kalau penambangan pasir untuk ekspor, yang tinggal hanya kolong yang menganga seperti mulut singa-- walau pun kemudian ada upaya untuk menimbunnya kembali melalui program reklamasi).
Sementara hutan-hutannya sudah hampir gundul. Bahkan hutan lindung pun digasak oleh belasan kilang papan dan perusahaan penambangan pasir. Kondisi Singkep hari-hari ini, sebagai akibat kealpaan dan ketidakacuhan semua pihak dalam menangani jatuh bangunnya sebuah daerah pertambangan. ''Kami semua terlena. Tak ingat
bahwa timah itu bisa habis dan tanah itu bisa dijual ke luar negeri,'' keluh dan sesal seorang tokoh masyarakat di sana.
Ya, terlena, karena sejarah timah di Singkep,memang bukan sejarah pendek. Sekitar dua abad lalu, masa Sultan Lingga di Kota Daik berkuasa, timah sudah didulang secara tradisional. Perusahaan Belanda Singkep Tin Maatschaappij(SITEM) pada tahun 1934 menggarapnya secara besar-besaran. Tahun 1959, penambangan timah pun diambil alih pemerintah sampai akhirnya pulau itu ditinggalkan di awal tahun 90-an.
Sejarah panjang ini, membuat warga Singkep sudah sehati dengan timah. Biji timah membuat mereka hidup penuh kelimpahmewahan. Kota Dabo menjadi salah satu kota paling maju di Riau, bahkan lebih maju dari Tanjung Pinang, ibukota kabupatennya. Belum lagi kehidupan warga yang dapat menikmati langsung rezeki timah sebagai karyawan. ''Semua orangtua ingin bermenantu karyawan UPTS,'' kenang seorang pemuka Singkep.
Tapi, kini timah pula yang membuat mereka terpuruk dalam penderitaan berkepanjangan. Apalagi setelah era timah berakhir, ternyata perusahaan penambangan pasir ekspor dan kayu, juga membuat hati mereka luka dan berdarah.
''Lihatlah Singkep, seperti negeri dilanggar burung Garuda,'' kata mereka pahit.
Tahun 1985, merupakan tahun dimulainya kepedihan itu. Ketika itu terjadilah apa yang disebut tin crash atau malapetaka timah, yang ditandai dengan ambruknya harga timah di pasaran dunia. Harga timah anjlok dari 16.000 Dolar AS menjadi 8.000 Dolar AS per metrik ton.
Kemerosotan harga itu, membuat usaha penambangan, khususnya di Singkep menjadi lesu. Eksplorasi berkurang, laba menurun, dan mulailah dampak atas karyawan terasa. Pemutusan hubungan kerja dan lainnya. Seiring itu pula, penambangan timah di Singkep yang diusahakan. Semua akitifitas dipindahkannya ke Karimun dan Kundur.
Perubahan drastis langsung menerpa mereka yang mengantungkan hidupnya pada PT Timah. Berangsur-angsur, 2.400 karyawannya diberhentikan dan diberi ''uang tolak'' alias pesangon. Sebagian yang diberhentikan, pindah dari sana. Yang tak di-pehaka, pindah ke lokasi tambang lain di Bangka, Tanjung Batu dan Tanjungbalai, Karimun. Pulau Singkep, dan khususnya Kota Dabo mulai terjerembab.
Warganya mulai hengkang, terutama kalangan usahawan, banyak yang pindah ke Tanjungpinang atau Batam. Anak-anak mudanya berhamburan merantau, mencari pekerjaan. Akibatnya, Dabo Singkep jadi sepi. Wajah pulau seluas 829 km2 pun kusut masai dan porak poranda. Ratusan lubang yang menganga bekas tambang timah yang bertebaran di seantero Pulau Singkep yang dalamnya belasan meter, seperti nyanyian bisu dan pedih. Kolong-kolong yang menyerupai danau itu menjadi sarang empuk nyamuk anopheles,
penyebar malaria. Dan jika melihat Singkep dari udara, seakan pulau ini telah disayat-sayat dan dikoyak-koyak.
Rumah berarsitektur khas Belanda yang dulu ditempati para petinggi UPTS (Unit Penambangan Timah Singkep) yang menjadi ciri khas dan kebanggaan kota itu (karena terletak indah di atas bukit dilindungi pohon pisang kipas dan pohon rindang), kini sebagian sudah dijual dengan harga murah kepada yang mau membeli, dan kebanyakan eks karyawan UPTS dan pejabat setempat.
Sebuah bank dengan kantor lumayan megah, kini sudah tutup. Memang ada bank, tetapi statusnya berganti dengan kantor unit. Kantor-kantor bekas PT Timah kosong melompong. Gudang-gudang bengkel yang terlantar, ditumbuhi semak belukar. Lapangan terbang hanya sesekali disinggahi pesawat udara. Ruko-ruko yang berjejer di jalan
utamanya, boleh dihitung dengan jari yang masih buka dan diusahakan. Pukul lima sore, semuanya sudah tutup.
Sebuah rumah sakit yang cukup besar, yang dulunya punya perlengkapan yang canggih, kini tinggal mimpi. Bangunannya kini ditempati untuk puskesmas, namun peralatan kedokteran, seperti alat deteksi jantung dan perangkat operasi lainnya, tak ada lagi. Akibatnya, kalau ada pasien yang sakit berat terpaksa dikirim ke Tanjungpinang. Banyak yang tak mampu, karena jauh dan mahal biaya perjalanannya. ''Banyak yang mati di perjalanan,'' kata beberapa warga setempat.
Maka, tidak heran, kalau penduduk pelan-pelan menyusut. Pada tahun 1990, penduduk Singkep masih tercatat 39.000 jiwa. Lima tahun kemudian, tinggal 21.000 jiwa saja. Meskipun sekarang ada kecenderungan naik kembali, tetapi statistik tahun 1997 baru sekitar 35.000 jiwa.
Murjani Lelek, mantan pejabat Lingkungan Hidup PT Timah, yang kini menjadi ketua
persatuan mantan karyawan UPTS mengakui bahwa sendi-sendi sosial ekonomi warga terimbas langsung akibat perginya PT Timah dari Singkep. Terjadi kejutan kultural yang cukup keras pada warga. ''Mereka yang dulu berkehidupan serba wah, kini dihadapkan dengan kenyataan hidup yang keras. Karena terbiasa manja, warga kaget dengan perubahan itu,'' ujarnya.
Achmad Saleh (54) pegawai negeri sipil (PNS) di Dabo Singkep mengatakan, di masa jayanya, banyak PNS yang minder. Soalnya selain gaji besar, karyawan PT Timah mendapat segudang fasilitas. ''Kini mereka gigit jari,'' katanya sambil memasukkan telunjuknya di sela-sela giginya.
Sedangkan Erwin (24) putra Singkep mahasiswa Akademi Maritim di Yogyakarta mengatakan, banyak anak muda yang putus sekolah lantaran orang tuanya ''terpelanting'' dari PT Timah. ''Yang tak tahan dengan perubahan, keluarganya
berantakan. Ada yang bermabuk-mabukan, stres dan main judi sie jie,'' tuturnya miris.
Saat malam merambat, Dabo Singkep sunyi senyap. Pukul delapan, jalanan sudah sunyi senyap. Lampu jalan yang dulu gemerlapan dengan neon berwarna kuning, kini malap. Taman seni kebanggaan warga setempat, kini jadi tempat buang air seni. Wisma PT Timah yang lumayan megah, disulap jadi tempat karaoke. ''Kalau malam Minggu, kami turun (ajojing) sampai pagi,'' ungkap seorang cewek berpakaian seksi. Kini, tak sulit memboking cewek, karena banyak yang ingin cepat dapat uang. ''Boleh
pesan pak,'' bisik seorang tukang ojek yang mangkal di dekat Wisma Gapura Singkep, sebuah hotel kecil dengan tarif paling mahal Rp50.000 (konon inilah hotel terbaik di sana saat itu).
Pantai Batu Berdaun, yang dulu jadi pantai wisata, kini terlantar. Restoran makan lautnya sudah roboh dan tenggelam ke dalam danau. Jalan-jalan berlobang dan berdebu. ''Mobil penumpangnya mobil tahun 60-an. Pintunya saja tak bisa ditutup,'' sebut seorang tamu hotel.
Tragis, memang. Tapi inilah tragedi sebuah kota tambang yang kemudian nyaris terbuang.


Daun pun Berubah Jadi Putih Kelabu

Tambang timah tak ada lagi. Dabo Singkep seolah terjaga dari mimpi. Mimpi itu jadi kenyataan buruk setelah tak lama kemudian, pasir pun dikeruk. Pulau Singkep seperti dikelupas dan diobrak -abrik. Kolong-kolong makin menganga. Tanah menjadi danau yang sambung menyambung. Berikut lanjutan laporan Socrates yang meninjau pulau tersebut ini.
Di Dusun Pengambil Desa Kuala Raya, pasirnya diambil dan membuat pengusaha kaya raya. Sedikitnya, ada enam perusahaan pengeruk pasir beroperasi di sini. Truk-truk pengangkut pasir menderu-deru menyisakan abu berwarna kelabu.
Guratan kemiskinan sangat kentara dalam kehidupan warga Pengambil. Rumah semi permanen hanya satu-satu. Selebihnya, didominasi rumah panggung beratap rumbia dan berdinding papan seadanya. Tak tampak warga menikmati kekayaan negerinya berupa timah, kayu dan pasir. Mayoritas warga bekerja sebagai nelayan.
Berkubik-kubik pasir digali setiap hari. Caranya, dengan sistem bor yang disebut warga dengan ''tembak''. Dengan menggunakan mesin press dan alat yang disebut monitor, pasir diisap dan dialirkan ke bak pencucian. ''Katanya kedalamannya hanya 4-6 meter, kadang bisa lebih,'' ungkap seorang warga.
Danau-danau atau kolong makin menganga lebar. Daun pepohonan berubah warna menjadi putih kelabu tersiram debu. ''Kalau ada pejabat yang datang, debu di jalan disirami,'' ujar warga tersebut. Sisa pencurian pasir yang bercampur lumpur, mengalir lewat sungai ke muara. Akibatnya, pantai menjadi kian dangkal. ''Dulu
lumpurnya hanya semata kaki, kini sudah mencapai sepinggang orang dewasa. Jangankan mendapat kepah (kerang), kulitnya saja tak ada lagi,'' kata Rahman, warga desa Pengambil.
Bahkan dampak limbah lumpur itu menghantam jauh ke tengahlaut, dan menerpa laut tempat kelong-kelong (bagan) nelayan yang ada tak jauh di perairan itu, seperti di sekitar Pulau Berlas. Hasil tangkapan nelayan terus menyusut.
Meski beroperasi di dusun mereka, tidak mudah bagi warga setempat bekerja di sana. Sebab, selain tidak banyak butuh tenaga, perusahaan pasir itu lebih memprioritaskan orang sendiri. ''Melamar menjadi supir saja susahnya setengah
mati. Malah, ada yang dipecat dengan alasan proyek selesai. Ternyata mereka pindah ke lokasi lain,'' ujar Julizar, pemuda setempat.
Menurut warga yang bekerja di perusahaan pasir itu, pasir yang dikeruk dan
dijual ke Singapura memang tidak tanggung-tanggung. Sebuah perusahaan tambang
pasir mendapat lahan 50 hektar. Maka, tidak heran kalau lubang bekas galian pasir menganga lebar. Ganti rugi tanah penduduk yang digarap perusahaan penambangan pasir hanya Rp200 per meter. ''Kami disuruh tandatangani surat pernyataan ganti rugi tanah,'' tutur warga Pengambil.
Hitung-hitung, satu buah kapal tongkang yang mengangkut pasir untuk dijual di Singapura, bermuatan 320 sampai 350 truk pasir. dalam satu truk, berisi 7 m3 pasir. dalam sebulan, ada sekitar 14 trip tug boat yang berlayar mengangkuti pasir. ''Manifes pelayaran pengangkutan pasir hanya 12.000 m3. Namun yang diangkut mencapai 20.000 m3,'' ujar warga tersebut.
Warga menduga, meskipun kecil, pasir yang dikeruk masih mengandung timah. tambang terbuka tak bisa ditutup seluruhnya. PT Timah menggunakan pola gali tiga, tutup dua. Kalau tambang pasir, dengan apa mau ditutup lubangnya. ''Dengan kedalaman 10-15 meter timahnya terbawa, Singapura kan nggak bodoh,'' kata Murjani, mantan karyawan timah yang banyak pengalaman menangani lingkungan penambangan timah.
Laut dan muara sungai tercemar oleh limbah pasir. Pantai menjadi dangkal, dampak paling teruk dirasakan oleh nelayan. Padahal, hanya pada musim Selatan nelayan bisa melaut. Di Dusun Pasir putih Desa Marok Tua, bakal berdiri pula perusahaan penambangan pasir. Di sekitar perairan desa paling ujung di Singkep itu, sudah
diberi pembatas dan akan dikeruk untuk memudahkan dilewati tug boat.
Pulau Lalang merupakan ''lumbung ikan'' bagi nelayan. Kini, pulau tersebut terancam akan ditinggalkan ikan, jika limbah tambang pasir akan menyebar ke sana. Tetap saja nelayan yang merasakan akibatnya. Namun mereka tak tahu harus berbuat apa.
Konon, industri pasir dilakukan sebagai industri pemancing di Singkep paska timah. Maksudnya, agar kelak ada investor lain yang mau masuk ke sana. Misalnya, kelak bekas kolong yang menganga itu dapat dijadikan tempat memancing dan disekitarnya akan dibangun hotel. Namun sampai saat ini, baru sebatas rencana. ''Yang terjadi, umpan habis ikan pun tak dapat,'' kata Mustafa, seorang pengusaha di sana.
Tak hanya pasir, kayu-kayu pun dirambah. Belasan kilang papan beroperasi di Pulau
Singkep. Tersebar di berbagai desa. Dua di antara kilang papan itu bermarkas di hulu sungai Marok Tua. Diduga, kayu-kayu di hutan lindung Gunung Lanjut dan Gunung Muncung, ikut dibabat. ''Padahal, di situ ada sumber air minum yang bernama Air Gemuruh,'' papar Murjani, prihatin. Jadi, tidak aneh kalau warga mulai kesulitan air
bersih.
Masyarakat di sekitar lokasi penambangan pasir bukan tidak berusaha memaksa perusahaan untuk memperhatikan pencemaran. Bahkan di Desa Pengambil dan Raya, mereka pernah berunjuk rasa. Ratusan orang datang mendesak perusahaan agar menghentikan penambangan yang merusak sumber usaha mereka. Pihak perusahaan menanggapi, dengan antara lain memberi uang kompensasi. Tiap warga yang ada di sekitar lokasi mendapat dana sekitar Rp250.000 sebagai uang prihatin. Tetapi, uang secuil itu kemudian habis. Singkep kini, memang bak kata pepatah. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula.

Sikap Apatis dan Mendua

Meratapi dampak kerusakan lingkungan dan perubahan sosial yang terjadi di Pulau Singkep, boleh dikata tak ada gunanya. yang diperlukan saat ini adalah solusi untuk memberdayakan masyarakatnya. Perlu kesungguhan untuk menyuguhkan sesuatu
pada warga yang sudah terpuruk dan apatis itu, untuk mengangkat derajat kehidupan mereka, menggairahkan kembali semangat dan harapan mereka. ''Agar kami ini merasa seperti daerah yang terlantar dan ditinggalkan,'' kata mereka.
Memang berat. Sebab, sekalipun penduduknya masih di bawah 50 ribu jiwa, namun Singkep mempunyai wilayah yang cukup luas. Di kecamatan ini, sekarang terdapat satu kelurahan dan sembilan desa. Kelurahan Dabo, Desa Kuala Raya, Bakong, Sungai Buluh, Posek, Marok Kecil, Kota Marok Tua, lanjut dan Desa Berindat. Dengan Desa Kuala Raya sebagai kecamatan persiapan dan di sini terdapat kantor Perwakilan Kecamatan
Singkep.
Sekarang ini, selain Dabo Singkep yang relatif maju, kemiskinan, kertepencilan, begitu akrab di desa-desa lainnya. Tampaknya, tidak terlalu banyak desa yang secara langsung kecipratan rezekitimah selama masa eksploitasi lebih dari 150 tahun itu, kecuali desa Kuala raya, Lanjut , Berindat. Apalagi, dari rezeki penambangan pasir dan kayu, serta hasil alamnya.
Tampaknya, setelah PT Timah angkat kaki, Singkep memang benar-benar terpuruk, dan berkembang secara apa adanya. Tanpa pola pembangunan yang jelas, tanpa landasan pembangunan yang jelas tanpa landasan ekonomi yang kukuh. Istilah warga dan pemuka di sana, Singkep menjadi daerah yang meraba-raba. Perikanan potensial, tetapi laut
sekitarnya sudah punah ranah, Baik oleh akibat polusi penambangan pasir maupun akibat penghancuran batu karang oleh ratusan masyarakat.
Hutan dan industri ikutannya juga demikian. Singkep sudah menjadi belukar dan sumber kayunya sudah ditebang dengan serampangan sehingga menjadi sumber kerusakan air dan pendangkalan sungai-sungainya. Tanaman keras, seperti karet dan kelapa, sejak lama ditinggalkan, karena hempasan harga. Sedangkan jenis tanaman lain seperti kelapa sawit, coklat, atau merica. ''Baru kabar anginnya saja, realisasinya entah
kapan,'' keluh warga.
Ungkapan apatis ini, bisa dimaklumi. Sebab setelah dulu merasa dimanja oleh rahmat timah, dan dapat menikmati kehidupan modern jauh lebih cepat dari daerah lain di Riau, seperti melimpah ruahnya listrik, air bersih, bahan makanan, fasilitas kesehatan dan penidikan, serta kemajuan olahraga (siapa di Riau yang tak gentar
dengan tim tenis Singkep atau sepak bolanya, atau tim bola volinya) tiba-tiba kini menjadi daerah yang nyaris terbelakang, maka luapan rasa tak puas itu mengepul begitu deras.
Lihat, bagaimana respon mereka terhadap peran serta para pengusaha penambangan pasir atau hutan. Di desa Pengambil misalnya, nada marah dan geram nyaris muncul dari tiap mulut warganya. ''Tak usahkan seperti PT Timah mau membangun sekolah atau rumah sakit. Membantu membangun masjid saja mereka tak mau. Tak usahkan masjid, minyak untuk bahan bakar lampu colok di malam-malam Ramadan saja, mereka tak
mau membantu!'' hujat beberapa warga Desa Pengambil. Para pengusaha itu baru
terbirit-birit berbuat baik kalau ada kunjungan pejabat tingkat I atau anggota DPRD, atau pejabat lain. Setelah itu, kanal-kanal limbah mereka buka kembali, dan sungai Gelema (salah satu anak sungai di sana) pun butek bagai susu dan membunuh semua biota laut yang ada di dalamnya.
Itu baru soal lingkungan, soal sosial. Belum lagi kesempatan kerja untuk masyarakat setempat. ''Bayangkan saja Pak,'' cerita mereka, ''Supir truk saja mereka datangkan dari Bangka dan Belitung,''keluh warga Pengambil itu lagi. Menurut mereka, perusahaan penambangan pasir di sana, namanya saja milik pengusaha Indonesia yang berkedudukan di Tanjungpinang atau Pekanbaru. ''Tapi semua diatur oleh pemilik
modalnya orang Singapura, melalui kaki tangannya yang ada di lokasi,'' lanjut mereka.
Untunglah, setahun terakhir ini ada gairah baru di sana. terutama untuk mobilitas usaha masyarakat. Ini tidak lain berkat adanya upaya membuka isolasi antar desa di sana dengan membangun jaringan jalan aspal yang baru (harap dicatat: jalan aspal buat warga Singkep sudah dikenal 100 tahun lalu di zaman rahmat Timah. Cuma setelah timah pergi, jalannya jadi compang camping dan bagai kubangan kerbau).
Seperti dari Jagoh, pelabuhan kapal feri, ke Sungai Buluh, Pengambil, Kuala Raya, terus ke Dabo. Atau jalan lama dari Jagoh ke kota, Lanjut dan terus ke Dabo, sehingga urat nadi ekonomi mulai berdenyut. Para pedagang ikan dan barang-barang kebutuhan sehari-hari mulai mudah ke mana-mana, dan harga tidak lagi terlalu
mencekik leher masyarakat. ''Sekarang ini, di tengah krisis ekonomi, kami bisa hidup dari hasil penjualan ikan dan bahan pangan tidak terlalu tinggi,''kata beberapa warga desa Kuala Raya.
Tetapi, kehidupan masayrakat secara umum, benar-benar masih banyak yang terpuruk.
Tampaknya kebijakan Pemda yang membiarkan usaha merobek-robek punggung Singkep untuk penambangan pasir dan merambah hutan untuk industri kayu,bukan merupakan solusi yang tepat. Bahkan cenderung makin menghancurkan hari depan pulau itu. Lalu, bagaimana?
Jauh hari sebelum PT Timah angkat kaki, semasa Ir AE Batubara menjabat sebagai Kepala Unit Penambangan Timah Singkep, pernah ada gagasan untuk mengembangkan Singkep sebagai sentra perkebunan. AE Batubara seakan menyampaikan pesan penuh isyarat, kemungkinan cadangan timah habis atau stop sama sekali lantaran harganya anjlok, dan menawarkan alternatif perkebunan sebagai jalan keluar. ''Kalau timah habis, ada sawit atau tanaman keras lainnya sebagai alternatif.''
Seperti yang diceritakan Murjani Lelek, seorang mantan karyawan UPTS mengutip Batubara, kemudian merancang satu paket proyek perkebunan sawit yang dianggarkan akan menelan biaya sekitar Rp15 miliar yang dananya dari PT Timah sendiri. Pulau Singkep dinilai selain cocok untuk kebun kelapa sawit, juga untuk coklat, cengkih, dan merica (lada hitam), di samping tanaman keras tradisional yang sudah dikenal di
sana yaitu karet dan kelapa. Namun proyek senilai Rp15 miliar itu gagal menyusul
ditariknya Batubara. ''Penanaman kelapa sawit sudah dimulai di Marinip dan Suar Bandung, tapi gagal lantaran kesulitan pupuk,'' kenang Murjani.
Batubara juga mencoba gagasan lain, yaitu upaya pemulihan lahan bekas penambangan dengan melakukan reklamasi. Reklamasi lahan, ujar Murjani, pernah dilakukan melalui kebun percobaan bekerjasama dengan Litbang Departemen pertanian Bogor. hasil survei menunjukkan, tanah di Pulau Singkep yang berjenis Alluvial, Regasal, Hydromorp kelabu dan Podsolik merah kuning dapat dipulihkan melalui program tanaman perkebunan.
Memang, kebun percobaan itu tidak terlalu berhasil, karena memang tidak ada yang
mengurusnya. Tetapi, program pemulihan lingkungan oleh masyarakat sendiri, dengan
mengambil konsep kebun percobaan, dengan membuat pemukiman baru dan menanaminya ternyata berhasil. Seperti di Bukit Kabung, Sergang, Tanah Putih, Pasir Kuning dan lainnya. Upaya Batubara, kabarnya juga dilakukan untuk pemanfaatan bekas kolong-kolong untuk budi daya ikan, seperti sepat, nila, dan lainnya dengan kerjasama Universitas Riau (Unri), meskipun hasilnya hampir sama. Secara teknis berhasil,
tetapi kemudian tidak terurus dan tidak pernah dikembangkan lagi.
Itulah sebabnya, ketika PT Timah angkat kaki dan kemudian menghibahkan dana sekitar Rp1 miliar untuk memperbaiki kehidupan pulau itu yang oleh warga Dabo Singkep disebut ''dana pampasan'' banyak pihak yang menyarankan agar dana itu dikonsentrasikan ke pembangunan sektor perkebunan dalam skala kecil, tetapi melibatkan banyak masyarakat. ''Paling tidak Rp1 miliar itu bisa jadi modal selebihnya diusahakan dana dari perbankan,'' kata mereka yang disuarakan melalui beberapa tokoh LSM (lembaga swadaya masyarakat) Singkep.
Tapi, tampaknya para pejabat daerah di Tanjungpinang dan Pekanbaru lebih suka berpikir pendek dan menggunakan dana itu untuk membangun berbagai prasarana, seperti pelabuhan atau lainnya. Bahkan konon dibeli juga untuk tempat-tempat sampah. Memang ada dampak positifnya, seperti pelabuhan Jagoh yang kini menjadi pelabuhan andalan karena pelabuhan Dabo dalam pembangunan baru. Tetapi tak mampu memberi arah kepada kehidupan pulau itu di masa depan.
Belakangan, kabarnya muncul kembali upaya untuk menjadikan Singkep sebagai daerah
perkebunan, khususnya sawit dan coklat. ''Kabarnya grup Surya Dumai sudah berminat dan survey,'' cerita seorang kepala desa gembira. Kalau benar, katanya lagi, dan kelak dengan pola PIR misalnya ini akan memberi harapan. ''Paling tidak, mau jadi apa Singkep ini, lebih jelas,'' tukasnya.
Namun bersamaan dengan itu, berhembus kabar bahwa Surya Dumai dan juga beberapa pengusaha lain yang ingin menanam modal di sana (termasuk kabarnya membangun pabrik kertas dengan bahan baku kayu sengon), kesulitan mmeperoleh lahan usaha karena tak ada lagi lahan yang bisa diperoleh dengan mudah untuk perkebunan dan usaha industri lainnya. ''Sudah habis dibagi-bagi dan dikapling-kapling,'' papar warga. Oleh siapa?. ''Tanyalah sendiri ke Tanjungpinang atau Pekanbaru, pak!,'' sergah seorang pemuka masyarakat Dabo dengan nada marah.
Sayang memang, padahal ini merupakan solusi yang jauh lebih baik ketimbang terus diberi izin penambangan pasir yang akan menghancurkan pulau itu dan kehidupan perikanan di sana. Solusi lainnya adalah bekas kompleks perkantoran dan pergudangan PT Timah di sana untuk industri, seperti moulding atau garmen. Dan inilah dulu yang kabarnya menjadi salah satu pilihan jika program pembangunan pulau ini disejalankan
dengan pembangunan Batam dan Bintan, untuk menyambung gagasan Barelang (Batam, Rempang dan Galang) sebagai salah satu relokasi industri Singapura yang harus out dari sana.
Memang, mengubah orientasi warga dari pertambangan dan nelayan, tidaklah mudah. Sebab, kalau dari tambang timah, pasir dan kilang kayu serta melaut, warga tinggal memetik hasilnya. Sedangkan di sektor pertanian, perlu proses waktu samapi panen. Bagi warga yang dalam kondisi sulit dan apatis itu, memang harus ada usaha perantara. Pilihannya tak lain adalah budidaya perikanan laut dan air tawar, serta
tanaman pangan, seperti padi yang untuk pulau ini juga sudah pernah dilakukan penduduk. ''Tapi siapa yang mau peduli,'' ungkap seorang pemuka masyarakat di sana.
Itu sebabnya, sangat kentara sikap warga yang terus apatis dan mendua. Di satu sisi, mereka rela lahan yang ada digarap sedemikian rupa. Baik untuk pengerukan pasir maupun kayu-kayu yang dirambah. Namun, kalau berurusan dengan uang ganti rugi mereka oke-oke saja. ''Karakter masyarakat Singkep mudah dibaca. Kalau mereka sudah mendapatkan apa yang diinginkan mereka akan diam. Dan ini dimanfaatkan oleh pengusaha,'' kata Murjani pula.
Hal ini diakui oleh sebagian warga. ''Kalau dikasih duit untuk ganti rugi pembebasan lahan, tentu warga akan menerima,'' sebut mereka. Sebab, belitan kemiskinan membuat warga mau saja tanahnya diuruk dan dikeruk. Tapi kalau uang ganti rugi sudah habis, kemudian melihat sumber perikanan mereka punah dan pulau terkoyak-koyak, maka mereka pun kembali teriak.
Artinya, melihat Singkep yang terkoyak-koyak dan tanahnya bolong-bolong warga tak rela. Walau akhirnya mereka pasrah karena mereka tidak tahu harus berbuat apa. ''Kalau saya masih muda, mau rasanya angkat kaki dari sini lantaran tidak tahan melihat eksploitasi yang terjadi,'' tutur seorang di antara warga. Tapi siapa yang peduli dengan keluhan mereka, kalau ternyata menjual pasir lebih banyak menghasilkan untung dan devisa?
Kasarnya, biarlah Singkep buntung asal pengusaha untung. Atau dalam nyanyian pedih warga di sana : Singkep tenggelam, Singapura timbul. (socrates)