Sepak Bola

Posted by Jammes 6/30/2008 1 comments

Hari ini, Senin 30 Juni 2008 headline koran-koran umumnya masih berkutat soal kecelakaan pesawat Cassa TNI AU atau (Kompas,Republika) dan dugaan suap menteri (Koran Tempo) dan koran-koran lokal di Batam memilih berita Anwar Ibrahim. Sedangkan Batam Pos, memilih berita utama soal kejayaan tim sepakbola Spanyol yang menumbangkan kedigjayaan Jerman dengan skor 1-0. Mengapa Batam Pos memilih juara Euro 2008 sebagai berita utama?

Saya merasa, ini pertandingan klimaks, pada saat dukungan orang terbelah antara semangat matador Spanyol dengan mental juara Jerman. Saya menelepon Wapimred dan Redpel Batam Pos jam 1.00 dinihari agar menunggu berita pertandingan itu. Hasilnya, hanya Batam Pos yang menerbitkan berita itu di halaman depan. Judulnya tegas. Spanyol Juara!
Pada sepakbola kita belajar berorganisasi, kerja sama dan semangat tim yang bisa menghasilkan kemenangan. Lihatlah, postur tubuh yang kurang tinggi pemain Spanyol tidak menghalangi mereka saat berhadapan dengan pemain Jerman yang rata-rata 185 centimeter. Juga bagaimana menggelar even kolosal dengan biaya triliunan, menjinakkan suporter dan membuka negaranya untuk tamu-tamu yang berdatangan.
Jujur saja, saya tak mengerti sepak bola. Pada Euro 2008 ini, saya malah kalah tiga kali bertaruh. Pertama, pegang Turki saat melawan Jerman, lalu pegang Rusia saat melawan Spanyol dan terakhir pegang Jerman saat melawan Spanyol. Tapi tak apalah. Toh, komentator, wartawan olahraga dan analis bola pun sering salah tebak. Padahal, mereka membaca dan mengikuti pertandingan dan tahu persis kekuatan dan kelemahan lawan.
Boleh saja nama saya Socrates, pemain sepakbola Brazil yang juga dokter gigi itu. Tapi, sekali lagi, saya tidak mengerti sepakbola. Malah, kadang-kadang saya heran, kok satu bola dikejar-kejar 22 orang dan disepak ke sana-kemari. Saat masih kecil sampai SMP, saya memang ikut-kutan main bola sesama anak di kampung saya.
Saya mulai agak serius berpikir tentang sepakbola. Sebab, saat kuliah saya dipercaya menjadi ketua Unit Kegiatan Olahraga Universitas Andalas. Unit kegiatan yang setara dengan Menwa, Mapala itu tugasnya mengurusi olahraga di tingkat mahasiswa di semua fakultas. Jadi, mau tak mau saya harus mengurusi soal tenis, takraw, pencaksilat, basket, volley ball dan sepak bola. Pokoknya, semua cabang olahraga. Setiap ada kejuaraan nasional mahasiswa, saya selalu menjadi team managernya.
Dari semua cabang, yang agak sulit mengurusi sepakbola. Sebab, orangnya banyak dan butuh biaya besar. Saat membawa tim Universitas Andalas bertanding ke Pekanbaru, saya melakukan kesalahan fatal. Saya memberi seluruh pemain obat penambah stamina. Hasilnya, mereka tak bisa tidur dan digasak pemain lawan. Saya terkejut selesai makan lantaran harus membayar lebih besar dari anggaran makan tim. ''Ya, gimana. Mas-mas itu makan lauknya tiga,'' kata wanita pemilik restoran, menjawab kekagetan saya kok tagihannya besar.
Tamat kuliah, praktis saya tak pernah lagi bersentuhan dengan sepakbola. Sebab, saya memang bukan hobi dan gila bola. Tapi, lagi-lagi saya harus mengurusi sepak bola. Pak Rida K Liamsi, bos saya yang mantan penjaga gawang di masa mudanya, menggelar turnamen Riau Pos Grup tahun 2007 di Pekanbaru. Saya ditunjuk menjadi team manager divisi regional Batam. Yang ikut adalah tim dari Pekanbaru, Padang, Medan dan Batam.
Agar saya kelihatan suka sepakbola dan tampak agak mengerti, sebelum bertanding melawan Medan, saya juga ikut-ikutan latihan. Lari-lari dan menendang-nendang bola. Pakai seragam pula dan ikut berfoto bersama. Hitung-hitung sambil olahraga, pikir saya. Apalagi, pemain kami kurang, totalnya hanya 14 orang dan saya bersiap-siap jadi cadangan. Tapi, sampai kompetisi selesai, tak sekalipun saya turun bertanding.
Hasilnya, tanpa diduga tim Batam menjadi runner-up, kalah dari Pekanbaru di partai final. Kami mendapat hadiah Rp15 juta. Dan diputuskan, tahun 2008 Batam menjadi tuan rumah RPG Cup tersebut. Bulan lalu, saya mulai lagi bersentuhan dengan sepakbola. Kami memulai program latihan menghadapi kompetisi yang direncanakan akhir Juli 2008 itu. Mulai dari persiapan latihan, mencari lapangan, konsumsi pemain dan sebagainya.
Sejak awal, saya menyadari, saya membutuhkan rancangan kerjasama yang kuat untuk membentuk tim yang tangguh. Perlu ada team manager, official dan pelatih sehingga pemain bisa berkonsentrasi latihan dan meningkatkan kemampuannya. Saya tidak mau seperti selama ini, pemain juga sibuk mencari lapangan, mengontak pemain lain lalu tiba di lapangan bermain bola.
Akhirnya, saya berhasil mengajak Jessi Mustamu, mantan pemain Niac Mitra tahun 80-an dan mantan pelatih PS Batam. Tangan Jessi yang mengantarkan PS Batam masuk ke divisi II. Saat bertemu Jessi pertama kali, saya yakin ia bisa menangani tim Batam Pos yang merupakan gabungan pemain dari percetakan Bintana, Graha Pena, Posmetro Batam, Batam TV, Batam News dan Batam Pos sendiri. ''Tim sepakbola itu yang penting organisasinya dulu yang harus dibenahi,'' kata Jessi.
Sebelum ditangani Jessi Mustamu, tim Batam Pos sudah beberapa kali latihan. Pemanasan, lari keliling lapangan dan main bola yang ditandai satu tim buka baju. Saat latih tanding lawan PS Garuda Legenda Malaka, lansung kelihatan kerjasama tim Batam Pos belum solid. Batam Pos kalah 1-2. Lalu, saat uji coba melawan PS Rileks, Batam Pos dibantai 10-0 tanpa balas. Beberapa pemain Rileks adalah mantan pemain andalan PS Batam.
Meski uji coba, saya kecewa. Tapi, medapat lawan latih tanding yang jauh lebih perkasa, saya kira akan memberi pelajaran berharga buat tim ini. ''Saya optimis tim ini bakal kuat. Yang perlu dilakukan adalah membenahi dasar-dasar bermain sepakbola,'' kata Jessi, membesarkan hati saya. Dan, Senin (30/6) kemarin, latihan bersama Jessi dimulai. Mereka diajarkan teknik dasar bermain sepakbola, passing dan kontrol bola serta sprint. Selain teknik dasar, juga melatih fisik pemain.
Begitulah. Sepakbola olahraga yang paling digemari orang sejagat itu, kini mulai menarik perhatian saya. Meski saya tidak mengerti sepakbola, saya senang bagaimana orang-orang mengorganisir dirinya dalam sebuah kerjasama. Belajar bagaimana bertahan dan menyerang, menyusun stretegi dan sebagainya. Tidak mudah memang. Jadi, berhentilah mencaci maki orang yang mengurus sepakbola. Sebab, Anda atau saya, belum tentu bisa. ***

Lelaki Kemayu

Posted by Jammes 6/17/2008 0 comments

Perhatikanlah sekeliling kita. Ada saja makhluk Tuhan paling seksi. Gerak tubuhnya gemulai. Tutur sapa dan bicaranya lemah-lembut. Ia lelaki bukan, wanita tidak. Kenapa ada orang yang tergolong wanita pria yang kerap dipanggil bencong atau wanita tomboi ini?

Saat masih kuliah dulu, seorang teman jurusan Sastra Indonesia meminta saya membantunya meneliti bencong. Ia tertarik dengan bahasa yang digunakan para wadam itu dan menyebutnya bahasa kemayu.
Bahasa yang dilafalkan dengan gaya keperempuanan itu, hanya dipakai para bencong saat berkomunikasi dengan sesamanya.
Misalnya, akika mawar mina. Artinya, aku mau minum. Ini bahasa slank bencong yang belakangan kerap digunakan para selebriti di layar kaca. Bahasa kemayu--meminjam istilah teman saya--tampaknya akan makin populer lantaran beberapa di antara host terkenal, presenter dan pembawa acara, kini diisi oleh lelaki-lelaki kemayu itu.
Ada beberapa istilah menggambarkan orang yang lelaki bukan, wanita tidak ini. Ada yang menyebutnya bencong, wanita pria (waria) wanita adam (wadam) atau banci ini. Dari penelusuran di internet, definisi banci adalah orang yang mempunyai alat kelamin laki-laki dan kelamin wanita dalam satu tubuh, atau bahkan tidak mempunyai alat kelamin sama sekali.
Jadi, yang dimaksud banci disini, bukan para banci laki-laki yang sering kita lihat di jalan-jalan, yang berprofesi sebagai penghibur, sebab mereka sebenarnya mempunyai jenis kelamin satu, hanya saja mereka bertingkah laku menyerupai wanita. Mengapa mereka seperti itu? Saya tidak tahu pasti. Namun, dari yang saya baca, ada beberapa alasan mengapa orang menjadi banci.
Ada yang mengatakan, orang bisa berubah tingkah lakunya kalau karena faktor lingkungan. Misalnya, seorang lelaki yang mempunyai beberapa saudara perempuan, lama-lama prilakunya bisa berubah lantaran pengaruh saudara perempuannya itu. Misalnya, kakak atau adik perempuannya selalu mengajaknya bermain masak-masak, boneka dan segala pernik-pernik anak perempuan.
Ada pula yang bilang, orang bisa berubah menjadi bencong karena pengaruh orang tuanya yang suka mendandani anak lelakinya seperti perempuan. Ini dilakukannya lantaran orang tua menginginkan anak perempuan, ternyata yang lahir laki-laki. Begitu pula sebaliknya yang terjadi pada wanita yang kelaki-lakian alias tomboi.
Saya pernah membaca sekilas, hasil penelitian ilmuwan Jepang menyebutkan, orang-orang yang memiliki kecendrungan bencong ini, volume otak kecilnya lebih besar daripada orang normal. Sehingga, hal ini mempengaruhi hormonnya. Biasanya, para bencong itu lebih pintar lantaran 'memori' di kepalanya kapasitasnya lebih besar.
Konon kabarnya, waria alias bencong ini tergolong beberapa tingkatan. Ada yang sudah sangat berani tampil apa adanya dan tidak malu-malu tampil di depan umum. Misalnya, mereka yang suka mejeng di Batuampar dan berdandan layaknya wanita. Dari kalangan artis, sebut saja misalnya Dorce. Malah, ada yang benar-benar menolak menjadi pria dengan cara operasi kelamin.
Thailand terkenal dengan bencongnya. Mereka tampil dalam kabaret dan berbagai pertunjukan seni. Kalau melihat tampilannya, kita sungguh tak menyangka, dulu mereka terlahir sebagai lelaki dan berganti wujud menjadi wanita. Thailand kerap menjadi pilihan operasi ganti kelamin, operasi memermak wajah dan payudara.
Ada pula yang tergolong bencong setengah berani. Misalnya, prilaku dan cara bicaranya seperti wanita, tapi masih mengenakan atribut lelaki seperti celana panjang dan kemeja. Orang seperti ini, sering dijumpai di salon-salon kecantikan. Atau bisa jadi ia seorang lelaki yang kelihatan lemah gemulai, kemayu dan senang mempercantik diri dengan pedikur menikur, luluran dan sebagainya.
Golongan ketiga, bencong yang masih sangat pemalu dan tidak berani tampil apa adanya. Tapi, mereka sadar benar, di dalam dirinya, ada sesutau yang berbeda dari lelaki lainnya. Misalnya, diam-diam lebih suka teman sejenis dan kurang tertarik dengan lawan jenis. Mereka menyebut dirinya 'sakit' karena tidak seperti orang kebanyakan lainnya. Mereka juga berkomunikasi dengan sesama mereka melalui majalah atau tabloid gaya nusantara. Kabarnya, nama ini berasal dari kata gay.
Pernah pula dinyatakan, bahwa sebenarnya, setiap orang memiliki kecendrungan menyukai teman sejenis, namun kadarnya berbeda-beda. Misalnya, seorang pria yang menyukai Sylvester Stalon bintang Rambo dan memasang posternya di kamarnya atau seorang wanita yang menyukai Agnes Monica. Hanya saja, sampai sejauh mana kadar ketertarikaannya, akan dipengaruhi hormon di dalam dirinya.
Postingan ini tak berpretensi apa-apa terhadap siapa-siapa. Amati saja di sekeliling Anda. Adakah lelaki kemayu atau wanita tomboi? ***


Kode Etik Jurnalistik

Posted by Jammes 6/12/2008 0 comments
Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk mem-peroleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan lan-dasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profe-sionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan
menaati Kode Etik Jurnalistik

Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berko-munikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kua-litas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama. Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranan-nya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.

Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang
akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Penafsiran
a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai de-ngan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika
peristiwa terjadi.
c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan
semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam
melaksanakan tugas jurnalistik.
Penafsiran
Cara-cara yang profesional adalah:
a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
b. menghormati hak privasi;
c. tidak menyuap;
d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditam-pilkan secara berimbang;
f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;
g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan warta-wan lain sebagai karya sendiri;
h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peli-putan berita investigasi bagi kepentingan publik.

Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara
berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Penafsiran
a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang
kebenaran informasi itu.
b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.
c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini
berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa
interpretasi wartawan atas fakta.
d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.

Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Penafsiran
a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh
wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja
dengan niat buruk.
c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk
membangkitkan nafsu birahi.
e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.

Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Penafsiran
a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri
seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.
b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.

Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak mene-rima suap.
Penafsiran
a. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil
keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.
b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau
fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.

Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan "off the record" sesuai dengan kesepakatan.
Penafsiran
a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan
keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.
b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.
c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari
narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan
narasumbernya.
d. "Off the record" adalah segala informasi atau data dari narasumber
yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.

Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Penafsiran
a. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.
b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.

Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Penafsiran
a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.
b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan
keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.

Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Penafsiran
a. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar.
b. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan
substansi pokok.

Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Penafsiran
a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk
memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan keke-liruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
c. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.
Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.

Jakarta, Selasa, 14 Maret 2006
Kami atas nama organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers Indonesia:
1. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
2. Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
3. Aliansi Wartawan Independen (AWI)
4. Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI)
5. Asosiasi Wartawan Demokrasi Indonesia (AWDI)
6. Asosiasi Wartawan Kota (AWK)
7. Federasi Serikat Pewarta Masfendi
8. Gabungan Wartawan Indonesia (GWI)
9. Himpunan Penulis dan Wartawan Indonesia
10. Himpunan Insan Pers Seluruh Indonesia (HIPSI)
11. (IJTI) Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia
12. Ikatan Jurnalis Penegak Harkat dan Martabat Bangsa
13. Ikatan Pers dan Penulis Indonesia (IPPI)
14. Kesatuan Wartawan Demokrasi Indonesia (KEWADI)
15. Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI)
16. Komite Wartawan Indonesia (KWI)
17. Komite Nasional Wartawan Indonesia (KOMNAS-WI)
18. Komite Wartawan Pelacak Profesional Indonesia (KOWAPPI)
19. Korp Wartawan Republik Indonesia (KOWRI)
20. Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI)
21. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Wina Armada Sukardi
22. Persatuan Wartawan Pelacak Indonesia (PEWARPI)
23. Persatuan Wartawan Reaksi Cepat Pelacak Kasus (PWRCPK)
24. Persatuan Wartawan Independen Reformasi Indonesia (PWIRI)
25. Perkumpulan Jurnalis Nasrani Indonesia (PJNI)
26. Persatuan Wartawan Nasional Indonesia (PWNI)
27. Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat
28. Serikat Pers Reformasi Nasional (SEPERNAS)
29. Serikat Wartawan Indonesia (SWI) Daniel Chandra
30. Serikat Wartawan Independen Indonesia (SWII)






Menjadi Wartawan Pemula

Posted by Jammes 0 comments
Kenal dengan Rachmania Arunita? Kalau kamu menonton film Eiffel I,m in Love, dialah penulis ceritanya dan merampungkan novel itu saat berusia 15 tahun. Kini, penulis muda itu dikontrak PT Soraya Intercine Film selama empat tahun untuk menulis novel. Luar biasa bukan?

Banyak orang bercita-cita menjadi Dokter, Insinyur, Pengusaha atau bahkan jadi Presiden. Artinya, persaingan untuk menggapai cita-cita seperti ini, juga makin sulit. Tapi, tidak banyak orang bercita-cita menjadi penulis ternama atau wartawan terkenal. Kenapa tidak memilih yang sedikit ini?
Menulis itu gampang, bagi yang sudah melakukannya. Tapi, bisa susah setengah mati buat mereka yang baru mulai. Nah, bagaimana caranya, atau apa yang harus dilakukan seorang penulis atau wartawan pemula?
Pertama, tanamkan sugesti positif. Ini untuk memompa semangat dan mensugesti diri sendiri. Katakan pada dirimu, Ayo, kamu pasti bisa! Saya ingin menjadi penulis ternama. Semangat menulis ini harus dijaga agar jangan sampai kendor. Seperti kata pepatah, dimana ada kemauan, disitu ada jalan.
Kedua, rajinlah membaca. Sebab, membaca adalah jendela ilmu pengetahuan. Dengan membaca, kita bisa memahami gaya bahasa, sistimatika dan cara menuliskannya secara runtun, mudah dicerna, menarik dan tidak bertele-tele. Membaca bagi orang penulis atau wartawan, ibarat bensin pada sepeda motor. Membaca akan melahirkan inspirasi. Kemampuan mengembangkan inspirasi ininlah seni menulis atau mengarang.
Ketiga, belajar menulis itu ibarat belajar berenang atau naik sepeda. Sebanyak apapun teori berenang atau belajar sepeda, tidak ada gunanya kalau Anda tidak mencobanya. Dengan kata lain, Anda tidak akan bisa menulis kalau tidak menuliskan pena di kertas. Kuncinya adalah, berlatih dan terus berlatih. Ingatlah kata Thomas Alva Edison, jenius itu satu persen inspirasi, 99 persen cucuran keringat. Maka dari itu, mulailah menulis.
Keempat, tekad dan motovasi yang kuat, ulet, tidak mudah putus asa, terus berlatih dan berlatih, mengembangkan ide dan kemampuan, merupakan modal dasar bagi penulis pemula. Anda bisa melakukan menulis bebas (free writing), temannya apa saja, termasuk uneg-uneg masalah disekitar kita. Jangan berharap langsung bagus. Hasilnya didiskusikan dengan teman dekat kita. Lalu lakukan penulisan ulang sekaligus editing, agar tulisan itu enak dibaca, padat, tidak ada kata-kata mubazir dan tidak bertele-tele.
Kelima, seorang penulis haruslah orang yang berwawasan luas yang diperoleh dari membaca. Sebagai penulis, ada baiknya Anda mengumpulkan referensi atau rujukan. Bisa berupa kliping artikel, cerpen, puisi atau apa saja yang menarik bagi Anda. Setelah itu, belajarlah mencintai buku dan lama-lama kelamaan bisa mempunyai perpustakaan pribadi. Seorang penulis juga seorang intelektual yang selalu haus dengan ilmu pengetahun. Tapi harus diingat, jangan menjiplak atau jadi plagiator.
Nah, anggaplah kini Anda sudah mulai menulis. Setiap kejadian yang Anda lihat atau alami serta dirasakan bisa ditulis. Termasuk apa yang dibicarakan orang, direkam di kepala atau dicatat menjadi bahan karangan. Apapun yang Anda tulis, jangan langsung puas. Setelah itu, tulisan tadi dikoreksi, dibaca, diteliti dan direnungkan Lalu, kemana tulisan Anda dikirim? Anda bisa mengirimkan ke surat kabar sebagai surat pembaca. Misalnya, tulisan tentang keluhan anak-anak SLTP atau SMU yang selalu kepanasan saat bubaran sekolah menuggu angkutan lantaran tidak ada halte. Atau, masalah-masalah lain yang Anda amati dilingkungan Anda. Biasanya, surat pembaca berupa tulisan yang menyakut kepentingan orang banyak. Tentu saja redaktur surat kabar itu tidak akan memuat tulisan Anda tentang ungkapan kekecewaan terhadap pacar Anda atau surat cinta. Ini pasti akan masuk keranjang sampah. Atau, bisa saja tulisan Anda dikumpulkan, lalu mulailah membuat majalah dinding di sekolah.
Seperti kita ketahui, pesatnya perkembangan media massa juga membuka kesempatan yang lebih besar bagi para penulis untuk mengisi rubrik-rubrik yang disediakan surat kabar tersebut. Naskah atau tulisan yang dikirim ke media massa, biasanya akan mendapat honor. Namun, sebagai penulis pemula, Anda jangan terlalu mempermasalahkan soal honor tersebut yang berkisar antara Rp. 15.000 sampai Rp. 300.000. Yang penting, mutu tulisan Anda terus meningkat dan Anda akan jadi terkenal.
Banyak penulis pemula yang patah semangat, ketika tulisannya tidak dimuat di Koran. Akibatnya, ia mundur secara teratur dari dunia tulis menulis. Padahal, bisa saja penulis baru tadi salah alamat mengirimkan tulisan ke Koran. Misalnya, ia mengirim tulisan ke Koran yang tidak meyediakan halaman opnini, tentu saja artikelnya tidak akan dimuat. Masalah lain, karena tuilisan yang dikirimkannya terlalu panjang, atau terlalu pendek.
Jika tulisan itu sudah diperbaiki, tapi tidak dimuat juga, Anda harus bertanya dimana letak kekurangan tulisan saya? Jangan segan-segan dating ke kantor redaksi surat kabar menanyakan kelemahan tulisan Anda. Mungkin saja tulisan Anda tidak akurat, datanya tidak lengkap dan sebagainya.
Nah, bagaimana kalau mau menjadi wartawan pemula? Seorang wartawan haruslah memiliki sifat dasar seperti sikap kritis, rasa ingin tahu yang besar, pengetahuan luas, pikiran terbuka, pekerja keras dan cerdas. Ia juga harus tekun dan terus belajar. Di kepalanya, selalu ada pertanyaan dan tidak membunuh pertanyaan itu.
Tentu saja seorang wartawan harus menguasi teknik jurnalistik seperti; menulis berita, menulis artikel atau feature, teknik wawancara dan reportase atau laporan pandangan mata. Ia harus menguasi bidang liputan dan menaati kode etik jurnalistik. Kenapa wartawan punya kode etik? Sebab, wartawan adalah profesi yang mulia, sama seperti dokter atau pengacara yang juga harus mematuhi kode etik.
Menulis berita secara sederhana diartikan sebagai laporan sebuah peristiwa atau kejadian menarik. Alur peristiwa itu biasanya dilaporkan dengan konsep WHAT (apa) WHO (siapa) WHERE (dimana) WHEN (kapan) WHY (mengapa) dan HOW (bagaimana). Rumusan ini biasanya disebut 5W + 1 H. Dengan rumus ini, bisa kita susun peristiwa APA, yang terlibat SIAPA, terjadi KAPAN dan lokasinya DIMANA, serta MENGAPA bisa terjadi serta BAGAIMANA ceritanya.
Dalam menulis sebuah berita, biasanya dipakai struktur piramida terbaik, yang terdiri dari judul, teras berita (lead) isi tubuh berita dan penutup. Ini dilakukan agar bagian yang penting masuk ke dalam seluruh berita dan bagian yang kurang penting (yang bisa dipangkas atau dibuang redaktur) dibagian bawah. Yang tidak boleh diabaikan saat menulis berita ada tiga hal. Yakni, akurasi, akurasi dan akurasi. Sebab, kalau beritanya tidak akurat, asalan-asalan dan salah, Koran itu tidak akan dipercaya pembacanya dan tidak akan laku. Hasil kerja liputan wartawan, selalu dievakuasi dalam rapat redaksi.
Ada beberapa cara untuk mendapatkan berita. Antara lain melalui wawancara dengan nara sumber dan melaporkan hasil wawancara itu, reportase yakni melaporkan peristiwa dari pandangan mata. Saat inilah wartawan bekerja menggunakan panca indranya, menggambarkan suasana dan sebagainya.
Ada pula yang disebut hasil riset, yakni Anda meneliti dan membaca dokumen, sumber-sumber kepustakaan dan data-data lainya. Data dan informasi itu disajikan secara sederhana sehingga mudah dimengerti pembaca. Ingat, pembaca surat kabar adalah orang yang hanya tamat SD sampai professor.
Dan yang terakhir adalah investigasi. Cara kerja wartawan investigasi ini mirip kerja ditektif yang secara terus menerus dan tak kenal lelah mengumpulkan data dan fakta untuk mengungkap sebuah kasus.
Investigasi adalah karya jurnalistik yang bernilai paling tinggi. Misalnya, Anda meliputi kasus korupsi yang merugikan negara, penjualan ABG dan kasus-kasus besar lainnya. Jika ingin tahu bagaimana kerja wartawan investigasi ini, Anda bisa menonton film All the President Man yang membongkar kasus presiden Amerika. Atau tulisan majalah Tempo soal skandal pembelian kapal bekas.
Kendati sekilas jadi wartawan itu sesuka hati, dalam bekerja wartawan harus disiplin. Sebab, wartawan punya jadwal kerja yang ketat dan dikenal dengan istilah dead line (batas akhir) sebelum Koran dicetak. Sekali ia molor, akan merusak jalur distribusi dan Koran terlambat sampai ke pembaca.
Seorang wartawan juga harus punya perencanaan kerja dan kreativitas yang tinggi. Ia juga harus bisa bekerja sama dalam tim, punya tanggungjawab dan daya juang dan daya jelajah, jujur dan bekerja berdasarkan hati nurani.
Modal bakat saja, tidak cukup untuk menjadi wartawan. Seorang wartawan harus menyadari, ia mencari, mengolah, menyimpan dan ,menyampaikan informasi kepada masyarakat yang memiliki hak untuk mengetahui (right the know) membela keadilan dan kebenaran. Wartawan juga harus memiliki kemampuan yang terukur dan makan sekolahan. Itu sebabnya, menjadi wartawan harus seorang sarjana. Tapi, bagi wartawa pemula seperti Anda, mengasah kemampuan sejak dini akan melahirkan wartawan-wartawan handal di masa depan.
Dalam menjalankan profesinya, wartawan profesional memiliki landasan moral bersama yang disebut etika jurnalistik sebagai koridor wartawan menjalankan tugasnya. Etika tersebut menyakut aturan, kaidah, norma-norma dan kesusilaan yang mengikat suatu masyarakat.
Wartawan juga harus menghormati sumber berita seperti informasi off the record, melindungi identitas sumber berita apabila membahayakan bagi dirinya serta check dan recheck untuk menjaga akurasi berita. Wartawan adalah manusia yang juga bisa sehingga ia harus melayani hak jawab dan hak koreksi apabila ia salah dalam menuliskan sesuatu. Wartawan tidak boleh menghakimi orang (trial by press) dan selalu mengedepankan azas praduga tak bersalah serta memahami UU Nomor 40 tentang pers.
Karir seorang wartawan, juga berjenjang. Mulai dari calon reporter atau reporter yang bertugas memburu berita di lapangan, menempati pos-pos liputan dibawah koordinator liputan. Lalu, ada redaktur yang mengedit dan mengolah berita-berita tersebut yang dikomandani redaktur pelaksana, dan pengecekan terakhir dilakukan Wakil Pimpinan Redaksi atau Pimpinan Redaksi.
Nah, tidak mudah menjadi wartawan bukan? Tapi, juga tidak sesulit yang Anda duga. Dalam pelatihan ini, paling tidak Anda sudah mendapatkan gambaran secara umum bagaimana menjadi penulis dan wartawan pemula. Sebagus apapun teori-teori dan isi makalah ini, tidak ada manfaatnya kalau Anda tidak pernah mencoba menulis. Nah, dari sekarang, mulailah menulis.****

Batam, 28 Juni 2004
Disampaikan dalam pelatihan jurnalistik dan internet Pelajar SLTP dan SMU Se-Kepulauan Riau di Hotel Plasa, batam pos
* Penulis adalah Penanggungjawab/Pimpinan Umum Batam Pos dan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Batam

CITIZEN JURNALISM

Posted by Jammes 0 comments

Ketika orang biasa menjadi wartawan, inilah era citizen jurnalism. Wartawan tak bisa lagi mengklaim sebagai pewarta. Sebab, kemajuan teknologi bisa menjadikan orang biasa seperti wartawan. Apalagi, tak selalu wartawan lebih cepat, hadir pada setiap peristiwa. Wartawan bakal dapat saingan? Bisa jadi. Kehadiran backpaper jurnalis, wartawan yang meliput untuk koran, televisi dan multimedia pun belum tentu 'mengalahkan' orang biasa yang menjadi wartawan ini.

Bom yang mengguncang London, Inggris, 7 Juli 2005, tidak hanya mengguncang dunia karena persoalan ke-manusiaan dengan tewasnya lebih dari 50 warga. Akan tetapi, bagi pengamat media massa, bom London juga dianggap “tonggak” sejarah lahirnya pers baru, yakni jurnalisme warga atau citizen journalism. Dalam citizen journalism, bukan wartawan/reporter profesional yang membuat berita, tetapi warga biasa.
Adalah Tim Porter, seorang warga yang menuangkan unek-unek-nya di situs pribadi miliknya, First Draft. Saat bom meledak, istrinya berada di dekat lokasi kejadian. Porter baru mengetahui serangan te-roris itu saat dite-lepon mertuanya. Setelah menjemput istrinya, Porter lalu berselancar di dunia maya (internet) mencari informasi lebih lanjut.
Mengapa tidak mencari informasi di radio atau televisi? Menghe-rankan, kedua jenis media massa elektronik itu masih sunyi, bungkam seribu bahasa, seakan-akan ti-dak ada kejadian dahsyat. Situs dot.com, yang biasa menyuplai berita flash, juga sama saja. Apalagi mencari informasi di tumpukan koran yang terbit hari itu, sama juga bohong.
Porter dengan cepat menemukan informasi paling gres dan mutakhir tentang ledakan bom London dari se-buah situs pribadi. Jeff Jarvis dan Steve Yelvington, dua warga yang berada paling dekat dengan pusat ledakan, yang mempostingkan rekaman video kepanikan orang di dalam stasiun kereta api bawah tanah ke sebuah situs pribadi. Gambar diambil Adam Stacey, penumpang lain-nya, dengan menggunakan telepon genggam yang di-lengkapi dengan kamera video miliknya.
Beberapa menit kemudian, gambar yang sangat “ber-bicara banyak” itu sudah dapat diklik dan diambil (down load) saluran televisi BBC untuk segera disiarkan. Dalam First Draft, Porter menulis: “Terorisme membuat Stacey menjadi korban, teknologi membuatnya menjadi repor-ter! “
Dari kejadian itu, Jarvis yang memposting-kan gambar karya Stacey menyadari saat peristiwa penting terjadi, saksi mata yang berbekal alat komunikasi sekaligus pe-rekam gambar bisa langsung menyiarkan peristiwa itu dalam beberapa menit setelah kejadian. “Berita yang
dibuat wartawan tidaklah seperti itu. Tetapi kini, cara itu (warga menyiarkan berita) sudah menjadi kenyataan,” katanya.
Lalu, di mana peran wartawan dot.com, radio, televisi, atau wartawan harian yang katanya profesional itu? Cu-kup menampar wajah para jurnalis sebab kecepatan me-nyiarkan peristiwa tidak lagi mo-nopoli wartawan pro-fesional, tetapi diambil alih warga biasa. Warga yang menjadi wartawan!
Peristiwa bom London bukanlah yang pertama di ma-na warga biasa atau saksi mata menjadi mata kamera pertama sebelum sebuah peristiwa diliput wartawan sungguhan.
Tahun 1991, saat George Holliday, warga perumahan Lake View Terrace tengah mencoba handycam barunya, matanya tertumbuk pada satu adegan. Empat polisi kulit putih Los Angeles tertangkap ka-mera menyiksa seorang pengendara sepeda motor kulit hitam. Polisi meng-anggap korban, yang kemudian diketahui bernama Rodney G King itu, memacu kendaraannya di luar keten-tuan.
Bukannya diproses atau diingatkan, polantas itu ma-lah menyiksa King sampai babak belur dan pingsan. Hol-liday merekam peristiwa berdurasi 81 detik itu dengan geram. Tidak sampai hitungan jam, Holliday mengirim “gambar hangat” itu ke sejumlah saluran televisi nasional. Televisi menyiarkannya berulang-ulang dan warga Ame-rika pun murka.
Majalah Time menulis peristiwa itu dengan judul Ame-rica’s Ugliest Home Video, pelesetan dari America’s Funniest Home Video, salah satu program televisi yang merekam kejadian-kejadian lucu yang saat itu sedang digemari. Kerusuhan berbau SARA pun pecah, me-renggut korban puluhan nyawa, justru ketika pengadilan membebaskan keempat polisi yang menganiaya King tadi.
Di Indonesia, terjangan tsunami Aceh direkam oleh seorang penduduk menggunakan kamera genggam. Stasiun televisi swasta, Met-ro TV, “menjual” peristiwa aktual dan penting itu dengan mena-yangkannya ber-ulang-ulang. Saat pesawat Lion Air tergelincir di Bandara Juanda, Surabaya, 4 Maret 2006, Kompas memuat foto utama yang dibuat seorang penumpangnya, Sidik Nurbudi. Ia memotret penumpang lainnya yang berham-buran panik ke luar pesawat. Bandara yang dijaga ketat aparat keamanan mustahil dapat diakses warga sipil, termasuk wartawan.
Sejauh mana kiprah warga yang kebetulan menjadi saksi mata mengancam eksistensi wartawan dengan foto atau gambar bergerak yang disiarkan lewat situs-situs pribadi? Akankah fenomena ini mengganggu kre-dibilitas wartawan profesional? Bagaimana media ma-ssa mengantisipasi serbuan para blogger yang kenya-taannya lebih dahulu menyiarkan berita dibandingkan dengan media massa konvensional?
Itulah pertanyaan yang tidak hanya menjadi pemikiran para pakar komunikasi, tetapi juga orang-orang media massa. Dan Gillmor yang menulis buku We the Media: Grassroots Journalism by the People for the People (2006) juga mengingatkan para pemilik media massa akan kehadiran teknologi internet yang memungkinkan orang membuat situs pribadi atau mailing list untuk menyiarkan berita cepat.
Abad 21 ini, katanya, akan menjadi tantangan berat bagi media massa konvensional atas lahirnya jurnalisme baru yang sangat berbeda dengan jurnalisme terdahulu. Dalam citizen journalism, siapa pun dapat membuat, me-nyebarkan, bahkan menjadi narasumber, seka-ligus me-ngonsumsi berita dalam format tulisan, foto, suara, mau-pun gambar bergerak.

Syarat demokrasi
Gillmor, mantan kolumnis teknologi di San Jose Mer-cury News, mempromosikan jurnalisme warga ini dalam blog pribadinya, Bayosphere, sampai dia menulis bu-kunya itu. Shayne Bowman dan Chris Willis dalam lapo-rannya We Media: How Audiences are Shaping the Fu-ture of News and Information mengatakan, partisipasi warga dalam menulis dan menyiarkan informasi in-dependen, akurat, tersebar luas, dan relevan adalah syarat-syarat bagi demokrasi. Citizen journalism adalah media untuk memberdayakan kelompok kecil warga yang terpinggirkan dari kelompok masyarakat lainnya.
Warga yang sekaligus reporter, misalnya, akan efektif menyiarkan berita yang tidak tergarap media massa konvensional, seperti ra-dio/televisi lokal, tentang isu yang “tidak seksi”, seperti rendahnya pendapatan wanita pekerja, kelompok minoritas, bahkan kelompok anak mu-da. Karena tidak memiliki akses terhadap media inilah, warga lebih bersandar pada informasi yang diperlukan kelompoknya.
Namun, pakar komunikasi Universitas Indonesia, Dedy Nur Hidayat,menyebutkan, blog atau mailing list hanya efektif di lingkungan terbatas. Masalah kredibilitas dari para blogger juga patut dipertanyakan sehingga untuk informasi penting yang dapat dipertanggungjawabkan orang tetap mengandalkan media massa konvensional. Namun, jangan lupa, tanpa pelatihan jurnalistik pun o-rang yang berdiri di pinggir jalan dengan handycam, tele-pon berkamera, atau kamera digital di tangan dapat me-rekam dan menyiarkan peristiwa yang dialami atau di-lihatnya lewat blog. Dalam kasus bom London, terbukti reporter media massa profesional kalah cepat diban-dingkan dengan warga biasa.

Media Online & Jurnalistik Virtual

Posted by Jammes 6/11/2008 0 comments

Media online adalah media massa yang dapat kita temukan di internet. Sebagai media massa, media online juga menggunakan kaidah-kaidah jurnalistik dalam sistem kerja mereka. Tapi apakah ada bedanya dengan media massa konvensional?


Sebetulnya, tak ada perbedaan yang terlalu signifikan. Perbedaan yang pa-ling mencolok adalah mediumnya. Yang satu virtual, satunya lagi tercetak. Kare-na itu, se-cara teknis ada hal-hal tertentu yang - mau tidak mau - membuat mereka berbeda.
Sebagian besar perbedaan jurnalistik media cetak dengan media online hanyalah pada masalah-masalah teknis.Dari segi sifatnya, ada satu kemiripan antara me-dia online dengan media elek-tronik seperti radio dan televisi. Mereka selalu dituntut untuk menyajikan berita yang paling /up to date/ secepat mungkin. Mereka juga biasanya tidak perlu menunggu hingga seluruh data ter-kumpul. Begitu ada data, walau hanya sedikit, mereka langsung melaporkannya. Jika ada perkembangan baru mengenai peristiwa tersebut, mereka melaporkannya lagi. Demikian seterusnya. Karena itu, aturan penulisan di dalam media online cenderung lebih bebas, tidak ter-lalu terpaku pada kaidah-kaidah bahasa dan jurnalistik yang berlaku umum.

Teknik Penulisan
Umumnya orang ingin membaca berita-berita di in-ternet secara cepat. Selain karena malas lama-lama “memelototi” layar monitor, mereka juga diburu-buru oleh mahal-nya pulsa internet. Karena itu, gaya bahasa pada media online pun hendaknya disesuaikan dengan hal ini. Harus ringkat, padat, dan menarik.
Biasanya pada halaman pertama sebuah media on-line terdapat tampilan berita-berita terbaru yang terdiri dari judul dan /lead/. Umumnya, lead ini adalah alinea pertama dari artikel berita tersebut, walau tidak mesti demikian.
Yang harus diperhatikan: buatlah lead yang semenarik
mungkin agar /netter/_/*[2] */ <#_ftn2> tergoda untuk mengklik berita tersebut (atau membaca artikel pe-nuhnya). Jika alinea pertama tidak menarik untuk dija-dikan lead, carilah bagian-bagian lain yang lebih me-narik. Atau buat saja lead khusus yang berbeda. Ini sah-sah saja, yang penting isinya masih sejalan de-ngan /full article/.

Jurnalis Media Online
Selain menguasai - tentu saja - ilmu jurnalistik, seo-rang jurnalis media online hendaknya juga menguasai dasar-dasar HTML[3] <#_ftn3>. Tidak harus terlalu men-dalam, cukup yang umum-umum saja. Minimal, mereka harus mengetahui bagaimana cara membuat huruf te-bal, huruf miring, menempatkan gambar di dalam nas-kah, membuat /hyperlink// *[4]*/ <#_ftn4>, dan beberapa pengetahuan HTML mendasar lainnya. Ini akan sangat membantu mereka dalam pembuatan tulisan yang sesuai dengan sifat-sifat halaman web yang jauh berbeda dengan halaman media cetak.
Biasanya panjang naskah telah dibatasi, misalnya 5 - 7 halaman kuarto diketik dua spasi. Tidak ada pemba-tasan panjang naskah, karena halaman web bisa me-nampung naskah yang sepanjang apapun. Namun demi alasan kecepatan akses, keindahan desain dan alasan-alasan teknis lainnya, perlu dihindarkan penulisan naskah yang terlalu panjang.
Naskah biasanya harus di-ACC oleh redaksi/redpel sebelum dimuat. Sama saja. Namun ada sejumlah me-dia yang memperbolehkan wartawan di lapangan yang telah dipercaya untuk meng-upload[ 5] <#_ftn5> sendiri tulisan-tulisan mereka.

Editing
Kalau sudah naik cetak (atau sudah di-filmkan pada proses percetakan), tak bisa diedit lagi. Walaupun sudah online, masih bisa diedit dengan leluasa. Tugas desainer atau layouter. Tiap edisi, desainer atau layouter harus tetap bekerja untuk menyelesaikan desain pada edisi tersebut. Desainer dan programmer cu-kup bekerja se-kali saja, yakni di awal pembuatan situs web. Selanjutnya, tugas mereka hanya pada masalah-masalah /main-tenance/ atau ketika perusahaan memutuskan untuk me-ngubah desain dan sebagainya. Setiap kali redaksi meng-upload naskah, naskah itu akan langsung “masuk” ke desain secara otomatis.

Distribusi
Walau sudah selesai dicetak, media tersebut belum bisa langsung dibaca oleh khalayak ramai sebelum melalui proses distribusi. Begitu di-upload, setiap berita dapat langsung dibaca oleh semua orang di seluruh du-nia yang memiliki akses internet.

Alur Kerja
Secara teknis, tugas redaksi media online cukup mudah. Ia hanya perlu mengisi sebuah *formulir online*. Ada isian judul, ringkasan berita atau /lead/, artikel pe-nuh, dan isian-isian lainnya. Setelah mengklik tombol *Submit* atau *Kirim*, arti-kel tersebut sudah langsung online.
Mengenai alur kerja, sebenarnya media online tidak jauh berbeda dengan me-dia cetak. Karena sifatnya yang harus menyajikan berita secara cepat (sebagai-mana halnya media elektronik), maka media online perlu me-lakukan beberapa penyesuaian di dalam proses ker-janya.
Ketika ada kejadian, reporter di lapangan menelepon redaktur. Si redaktur pun menelepon balik si reporter, meminta informasi lebih lanjut, dan jika perlu dilakukan cek dan ricek. Setelah itu, redaktur menulis naskah dan meng-uploadnya melalui formulir online. Ini adalah contoh alur kerja yang standar.
Bisa juga, si reporter melakukan reportase dan me-nulis sendiri. Tulisan ini diki-rim ke redaksi melalui email atau media-media lain. Proses selanjutnya sama seperti di atas. Umumnya, yang berhak untuk meng-upload naskah hanyalah redaksi. Namun, ada media tertentu yang memberikan wewenang khusus kepada reporter tertentu yang telah dipercaya. Si reporter ini bisa meng-upload sendiri berita yang mereka tulis, melalui komputer warnet, laptop, atau media-media lain yang memung-kinkan.
Masih ada beberapa alur kerja yang bisa diterapkan pada media online. Namun alur-alur di atas cukuplah menjadi contoh. Semoga dapat menjadi gamba-ran yang memuaskan.

Teknis Pengiriman
Halaman web memiliki sifat yang sangat berbeda dengan halaman media cetak. Karena itu, jika Anda hen-dak mengirim naskah ke sebuah media online, hen-dak-nya Anda memperhatikan hal-hal berikut ini:
1. Ketiklah naskah dengan program NotePad atau program-program sejenis (bukan program pengolah kata seperti MS Word dan sebagainya). Penulisan naskah dengan pengolah kata seperti MS Word biasanya menghasilkan banyak “karakter aneh” ketika naskah tersebut diproses oleh redaksi.
2. Pisahkan pergantian alinea dengan menekan tombol enter sebanyak dua kali. Kenapa? Sebab penulisan nas-kah di website tidak mengenal format “awal paragraf ditandai dengan pengetikan agak menjorok ke dalam” seperti yang bia-sa ditemui pada media cetak. Kalau tombol enter hanya ditekan sekali, pembaca akan ke-sulitan melihat batas-batas alinea.
3. Jangan pakai tombol tab atau menekan tombol spasi lebih dari satu kali. Tabulasi akan diabaikan oleh halaman web. Sementara jika Anda menekan tom-bol spasi sebanyak apapun, yang dipakai hanya satu. Jadi percuma saja Anda repot-repot mengatur tabulasi dan spasi yang macam-macam.
Karena internet adalah dunia yang bebas, Anda memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk belajar dengan melakukan praktek langsung. Caranya: buatlah sebuah situs dan kelola dengan serius. Siapa pun bisa membuat situs di internet, tak ada yang melarang!

Jurnalisme Online

Posted by Jammes 0 comments

Depan Maju Sihite bingung. Saat mengisi formulir kartu anggota PWI-nya yang habis masa berlaku, ia hanya menemukan media koran, majalah, tabloid dan televisi. Namun, tidak ada kolom untuk multimedia. Padahal, saat ini ia mengelola situs Batam Cyberzone. Begitulah. Era jurnalisme online dimulai. Di mal-mal dan cafe, bandara serta pelabuhan, orang menenteng laptop, berselancar di dunia maya.


Jurnalisme Online secara fungsional bisa dibedakan dari jenis jurnalisme lain, dengan menggunakan kom-ponen teknologinya sebagai faktor penentu, dalam hal perumusan operasional. Jurnalis Online harus memutuskan tentang hal-hal sebagai berikut:
Format media yang mana, yang terbaik untuk menyampaikan suatu berita (multimediality). Sejauh ini bandwidht dan hak cipta merupakan faktor-faktor struk-tural yang masih menghambat pengembangan content multimedia yang inovatif.
Memberi pilihan pada publik untuk memberi tang-gapan, berinteraksi, atau bahkan meng-customize (me-nyesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan publik ber-sangkutan) terhadap berita-berita tertentu (interactivity).
Mempertimbangkan cara-cara untuk menghubungkan (connect) berita yang ia buat dengan berita lain, arsip, sumber data dan seterusnya lewat hyperlinks (hyper-textuality).

Jenis Jurnalisme Online
Orang yang memproduksi content terutama untuk In-ternet, dan khususnya untuk World Wide Web, dapat di-anggap bekerja untuk salah satu atau lebih dari empat jenis Jurnalisme Online yang tersebut di bawah ini.
Berbagai jenis jurnalisme online itu dapat ditempatkan di antara dua domain. Domain pertama, adalah suatu rentangan, mulai dari situs yang berkonsentrasi pada editorial content sampai ke situs-situs Web yang ber-basis pada konektivitas publik (public connectivity).
Editorial content diartikan di sini sebagai teks (ter-ma-suk kata-kata yang tertulis atau terucapkan, gambar-gambar yang diam atau bergerak), yang dibuat atau die-dit oleh jurnalis.
Sedangkan konektivitas publik dapat dipandang se-bagai komunikasi ”titik-ke-titik yang standar” (standard point-to-point). Atau, bisa juga kita nyatakan sebagai ko-munikasi ”publik” tanpa perantaraan atau hambatan (ba-rrier of entry), misalnya, hambatan dalam bentuk proses penyuntingan (editing) atau moderasi (moderation).
Domain kedua, melihat pada tingkatan komunikasi partisipatoris, yang ditawarkan oleh situs berita bersangkutan. Sebuah situs dapat dianggap terbuka (open), jika ia memungkinkan pengguna untuk berbagi komentar, memposting, mem-file (misalnya: content dari situs tersebut) tanpa moderasi atau intervensi pe-nyaringan.
Sedangkan komunikasi partisipatoris tertutup (closed) dapat dirumuskan sebagai situs di mana pengguna mungkin berpartisipasi. Namun langkah komunikatif mereka harus melalui kontrol editorial yang ketat.

Mainstream News sites
Bentuk media berita online yang paling tersebar luas adalah situs mainstream news. Situs ini menawarkan pi-lihan editorial content, baik yang disediakan oleh media induk yang terhubung (linked) dengannya atau memang sengaja diproduksi untuk versi Web. Tingkat komunikasi partisipatorisnya adalah cenderung tertutup atau minimal. Contoh: situs CNN, BBC, MSNBC, serta berbagai surat-kabar online. Situs berita semacam ini pada dasarnya tak punya perbedaan mendasar dengan jurnalisme yang diterapkan di media cetak dalam hal berita, nilai-nilai berita, dan hubungan de-ngan audiences. Di Indonesia, yang sepadan dengan ini adalah detik.com, Astaga.com, atau Kompas Cyber Media.
Index dan Category sites
Jenis jurnalisme ini sering dikaitkan dengan mesin pencari (search engines) tertentu (seperti Altavista atau Yahoo), perusahaan riset pemasaran (seperti Moreover) atau agensi (Newsindex), dan kadang-kadang bahkan individu yang melakukan usaha (Paperboy). Di sini, jur-nalis online menawarkan links yang mendalam ke situs-situs berita yang ada di manapun di World Wide Web. Links tersebut kadang-kadang dikategorisasi dan bah-kan diberi catatan oleh tim editorial. Situs-situs semacam ini umumnya tidak menawarkan banyak editorial content yang diproduksi sendiri, namun terkadang menawarkan ruang untuk chatting atau bertukar berita, tips dan links untuk publik umum.

Meta & Comment sites
Ini adalah situs tentang media berita dan isu-isu media secara umum. Kadang-kadang dimaksudkan sebagai pengawas media (misalnya: Mediachannel, Free-do-mforum, Poynter’s Medianews). Kadang juga di-mak-sudkan sebagai situs kategori dan indeks yang di-per-luas (seperti: European Journalism Center Media-news, Europemedia). Editorial content-nya sering dipro-duksi oleh berbagai jurnalis dan pada dasarnya mendis-ku-sikan content lain, yang ditemukan di manapun di Internet. Content semacam itu didiskusikan dalam ke-rangka proses produksi media. ”Jurnalisme tentang jur-nalisme” atau meta-journalism semacam ini cukup menjamur.

Share & Discussion sites
Ini merupakan situs-situs yang mengeksploitasi tuntutan publik bagi konektivitas, dengan menyediakan sebuah platform untuk mendiskusikan content yang ada di ma-napun di Internet. Dan kesuksesan Internet pada dasar-nya memang disebabkan karena publik ingin berkoneksi atau berhubungan dengan orang lain, dalam tingkatan global yang tanpa batas.
Situs semacam ini bisa dibilang memanfaatkan potensi Internet, sebagai sarana untuk bertukar ide, cerita, dan sebagainya. Kadang-kadang dipilih suatu tema spesifik, seperti: aktivitas anti-globalisasi berskala dunia (situs Independent Media Centers, atau umumnya dikenal sebagai Indymedia), atau berita-berita tentang komputer (situs Slashdot).

Pers Kita Tak Menggigit?

Posted by Jammes 0 comments

Reformasi sudah berjalan sepuluh tahun. Ya, sepuluh tahun. Banyak yang berubah di negeri ini, termasuk kebebasan pers kita. Tak ada lagi bredel. Yang ada adalah media yang mati kehabisan nafas bersaing dan kena seleksi alam. Anehnya, berita di media makin seragam dan membosankan. Kemana daya kritis para wartawan? Masihkah wartawan mau berjerih payah menghasilkan karya jurnalistik yang hebat? Tulisan Wannnofri Samry, kandidat PhD pada School of History, Politic and Strategic Studies, National University Malaysia, dan Staf Pengajar Jurusan Sejarah, Universitas Andalas cukup menarik dicermati para wartawan.



MENURUT Duncan MC Cargo(2000) ada beberapa pradigma yang sering berlaku dalam literatur politik dan media. Pertama, hegemony of state power (dominasi kekuasaan
negara). Dalam hal ini media hanyalah sebagai bidak dan pelayan negara. Fenomena ini sangat kentara di berbagai dunia ketiga seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia sebelum jatuhnya Soeharto, bahwa pers tidaklah bebas.
Berbagai media menjadi corong pemerintah dan menyalurkan kepentingan- kepentingan penguasa. Istilah Goenawan Mohammad, pers ibarat ‘pesawat yang dibajak'. Artinya, ia dikendalikan. Pers semacam ini sulit diharapkan bisa mengkritisi pemerintah. Dalam
konteks literatur sejarah pers Indoensia, pers semacam itu bukan pers yang berjuang untuk kepentingan bangsanya.
Kedua, media sebagai watchdog. Ia sebagai anjing penjaga dari pada kepentingan publik. "Suatu teori tentang watchdog adalah: pers sebagai wali oposisi dan
bertindak dengan kuat menentang segala penyimpangan serta mempromosikan kepentingan publik. Dalam konteks ini pers merupakan media yang progesif untuk demokratisasi.
Ketiga, media sebagai institusi yang netral, menengahi kepentingan publik. Ia mendedahkan berita ke pembaca dan meninggalkan pembaca begitu saja. Pembaca dan
media berjalan sendiri-sendiri. Silakan pembaca untuk mengambil kesimpulan dan
tindakan terhadap informasi yang diberikan media. Kalau banyak media mengemukakan informasi tentu banyak informasi yang diolah. Dalam media seperti itu tentulah semua informasi telanjang, lalu masyarakat, dan pemerintah siap menerima apa adanya.
Keempat, media sebagai agenda setter; yaitu untuk mengembangkan isu dan menempatkan mereka dalam agenda debat dan diskusi publik. Model ini sering
berhubungan dengan analogi watchdog, yang sering menafsirkan dan menghadirkan dengan a highly positive light.
Keberhasilan pers dalam pradigma ini adalah sejauh mana ia mampu mengangkat isu-isu publik ke permukaan dan menjadi agenda bagi pemerintah dan masyarakat
dalam meningkatkan kemajuan hidup mereka. Pers semacam ini tentu juga berani untuk berdebat mengenai berbagai masalah yang peka terhadap kekuasaan sekalipun.

Pers Kita
Di manakah posisi pers kita? Kalau 10 tahun lalu hegemoni negara begitu kuat, pers dibajak, maka tidaklah aneh jika pers berada dalam ketakutan, kemudian dengan berbagai alasan menyalurkan ‘nafsu-nafsu kekuasaan' serta menyembunyikan suara
publik di belakang meja redaksinya.
Kini demokratisasi dan desentralisasi sudah berjalan, semua relatif bebas bicara (tetapi bicara apa?). Apakah pers masih dalam ketakutan dan menjalankan
tipikal hegemony of state power? Mampukah pers menjadi watchdog yang tidak hanya
menggonggong tetapi menggigit. Tetapi, jika menggongong pun tidak juga, maka mungkin ini masalahnya kembali ke perangkat-perangkat dasar dari material pers itu sendiri.
Banyak orang menganggap bahwa masalah pengembangan pers tergantung pada financial dan pada masa Orde Baru dianggap aturan yang mengekang adalah penyebab pers
tidak berkembang.Walaupun didukung finansial yang banyak dan terbukanya pembuluh demokrasi, ternyata masih banyak pers yang bertipikal pelayan dari penguasa-negara, bukan publik.
Pers sering menampilkan a big shot dari tokoh-tokoh politik dan birokrat. Wartawan dan media banyak yang senang dan bangga mengadakan relasi dengan pemerintah
dengan para penguasa. Keinginan pers menampilkan tokoh-tokoh birokrasi ibarat kecanduan bergoyang dangdut di tengah pesta kemabukan.
Wartawan-wartawan muda, yang kata Dahlan Iskan akan menentukan napas pers pada masa depan, tidak dilatih dengan semangat juang ‘pers yang menggigit', mereka
dilatih membuat berita di teras-teras istana pemerintah yang tidak mempunyai tantangan, kecuali penemuan sebuah relasi dan koneksi pemberitaan. Para
jurnalis, jika dalam zaman pergerakan sebagai pemburu berita, kini sebagai a servant of power.
Fenomena dalam sebahagian pers kita hari ini adalah ketergantungan mereka akan iklan, yang ada pada banyak pengusaha dan penguasa. Di banyak daerah yang tidak
tergarap ekonominya, maka pemerintah dan politisi adalah sumber iklan utama.
Setiap hari berita ucapan selamat secara terang-terangan muncul dari politisi dan birokrat. Profil-profil tokoh-politik dan birokrasi muncul di halaman depan dan halaman-halaman penting lainnya. Isinya adalah salinan dari pikiran tokoh tersebut yang dibantu oleh wartawan menuliskannya. Walaupun tidak ada penelitian khusus, tetapi realitas ini sudah menjadi rahasia umum di berbagai media.
Kesalahannya jelas dari alas bakul berdirinya sejumlah media; hanya sebagai alat mencari uang. Jelas sukar untuk membandingkannya dengan berdirinya media-media
besar semacam mingguan Tempo dan harian Kompas, apalagi dibandingkan dengan media masa pergerakan seperti Pedoman, Pandji Islam, dan lain-lain. Media massa kita banyak diawali dengan komitmen jurnalistik yang rendah dan tidak mempunyai visi, bahkan teknis.
Masalah lain juga akan berhubungan dengan para editor, reporter, dan penulis. Para editor yang tidak berpengalaman menulis, lalu tiba-tiba menjadi pengedit berita dan tulisan juga tidak menghasilkan konten pers yang bagus, ditambah dengan kemalasan untuk memeriksa dan langsung copy-paste.
Banyak reporter hanya menjadi pers tempat persinggahan, bukan pilihan hidup dan bagian dari sebuah proses yang penting dalam dunia intelektual mereka. Berita banyak reporter hanya sebagai pemindahan kata-kata ke mesin ketik dan komputer,
nilai-nilai humanisme dan intelektual tidak menjadi roh.
Penurunan berita, tulisan juga sering tanpa sebuah rencana yang matang. Berita hari ini muncul, besok berganti berita lain. Tulisan hari ini dimuat, besok
habis begitu saja. Tidak ada discourse konten, yang terjadi hanya komunikasi satu arah. Ruang polemik sering juga ditutup dengan berbagai alasan para editor
ataupun redaktur. Karena itu tidak akan pernah terjadi saat ini polemik seperti polemik M. Natsir dan Soekarno mengenai Islam dan negara, ataupun seperti
polemik kebudayaan antara Sutan Takdir Alisjahbana( STA), Ki Hadjar Dewantar, Armijn Pane, dan tokoh lainnya.
Mungkin kita juga merasakan tidak dalam pergerakan lagi, tetapi dalam masa akhir perjuangan dan ingin menikmati. Karena itu pers kita tidak menggigit, paling-paling juga sedikit menggonggong. *

Investigasi di Indonesia

Posted by Jammes 2 comments

Orang sering menyebut jurnalisme investigatif sebagai: “Journalism with an impact” “Reporting on public interest issues” Jurnalisme seperti itu kita perlukan sekarang ini, lebih dibanding pada era Soeharto. Namun, mengapa jurnalisme investigasi kurang berkembang di negeri ini?

Lihatlah pertanyaan-pertanya an seperti ini:Apa yang sebenarnya terjadi dengan Skandal Lippo? Siapakah sebenarnya Ali Imron cs, para tersangka Bom Bali? Apa kaitan Bom Bali dengan undang-undang anti-terorisme dan militerisme gaya baru? Itu hanya dua dari banyak pertanyaan penting yang bisa—dan berani—kita ajukan sekarang. Namun, meski era kebebasan pers telah kita nikmati, banyak media tidak bisa menjawab pertanyaan “investigative” seperti itu secara relatif jelas.
Tenggelam dalam timbunan berita dan peristiwa, banyak media bahkan tidak mampu merumuskan pertanyaan-pertanyaan itu sendiri—langkah awal membuat investigasi. Padahal, membedah kasus Lippo (ekonomi-bisnis) dan Bom Bali (politik) memberi publik peluang untuk memahami hal-hal fundamental yang mempengaruhi kehidupan mereka secara luas dan mendalam.
Tapi, ada beberapa masalah yang dihadapi untuk mengembangkan tradisi jurnalisme ini. Sebagian masalah kita warisi dari era pra-reformasi, namun era paska-reformasi juga tidak memberikan iklim lebih baik bagi tumbuhnya tadisi investigatif— setidaknya sejauh ini.

Potensi dan Kendala
Jurnalisme investigatif masuk kategori “advanced” dalam dunia kewartawanan:
Jurnalisme Dasar
Jurnalisme Interpretatif (indepth reporting)
Jurnalisme Investigatif (muckraking)
Jurnalisme investigatif menuntut tidak hanya dana, sarana (tools, ketrampilan) dan resources, tapi juga keberanian media dan wartawan mengambil risiko. Karena kesannya yang “sulit”, “berisiko”, “eksklusif” serta “canggih” seperti itu, jurnalisme investigatif cenderung dihindari. “Barrier to entry” jurnalisme investigatif relatif tinggi, baik bagi media maupun wartawan.
Pada era Soeharto, tradisi investigatif hampir sama sekali mati, meski ada sejumlah upaya untuk menumbuhkannya. Kediktatoran dan ketertutupan politik membuat semua risiko investigasi menjadi maksimal: SIUPP me-mungkinkan pemerintah mengontrol: mengendalikan arus informasi (monopoli atau oligopoli informasi) dan mencegah pluralisme kepemilikan media maupun isinya. Media yang melenceng bisa dibreidel, membuat pemilik kehilangan bisnis dan karyawan menganggur. Suasana seperti itu menumbuhkan “sensor diri sistematis”—wartawan yang berani bahkan akan dianggap pengkhianat karena mengancam eksistensi koran/majalah tempatnya bekerja. Wartawan yang berani bisa kehilangan kebebasan (dipenjara), bahkan nyawa.

Potensi
Kebebasan pers setelah jatuhnya Soeharto menawarkan iklim lebih baik untuk tumbuhnya tradisi investigatif: Tanpa SIUPP, banyak media bermunculan. Monopoli dan oligopoli informasi mengalami perlawanan hebat dari le-dakan pluaralisme media dan opini. Kebebasan pers juga mempromosikan keberanian wartawan untuk meng-ungkap hampir apa saja. Jika dulu keberanian menjadi “liabilities” bagi wartawan, kini cenderung menjadi “asset”. Persaingan bisnis media membuat masing-masing berpikir keras membuat keunggulan dan meningkatkan kualitas editorial. Jurnalisme investigatif adalah salah satu cara media untuk bersaing dengan media lain.

Kendala
Namun, tidak semua faktor di era reformasi mendukung tumbuhnya tradisi investigasi. Ledakan media memicu persaingan ketat. Pemasaran media menyempit ke dalam segmen-segmen yang kian kecil. Aspek bisnis menjadi menonjol dengan efisiensi menjadi kata kuncinya:
Media mungkin tidak dibreidel pemerintah, tapi mati akibat bangkrut karena tidak efisien. Media kini bisa me-ngabaikan pejabat/politisi, tapi mereka menjadi kian pe-ka terhadap bisnis (terutama bisnis besar) karena iklan menjadi nyawa media. (Sensor diri tetap bertahan di ka-langan manajemen media)
Struktur biaya didominasi oleh biaya percetakan dan kertas (sekitar 30-40% dari cover price), kemudian oleh biaya agen dan distribusi (30%), biaya administrasi (20%) dan pajak (10%). Ketika media melakukan efisi-ensi, biaya editorial (peliputan dan penulisan) adalah yang paling rawan dikorbankan. Mutu jurnalistik tidak membaik. Beberapa media memilih isu yang bisa di-produksi secara murah, namun menghasilkan oplah atau iklan besar (sejumlah tabloid seks, adalah salah satu ka-susnya). Kebebasan pers juga disertai keberanian publik untuk menuntut media/wartawan dari aspek hukum. Tuntutan akurasi liputan dan penulisan jadi lebih tinggi.
Walhasil, risiko jurnalisme investigatif yang dihadapi media atau wartawan di masa reformasi tetap sama besarnya. Sementara itu iklim politik-sosial belum pulih benar dari krisis yang kita warisi: Risiko tinggi dalam jurnalisme investigasi di era Soeharto telah membuat kita kekurangan sumber daya manusia (wartawan investigatif adalah mahluk langka) dan kelemahan ketrampilannya. Pendidikan jurnalisme cenderung menghasilkan pejabat humas, bukan wartawan. Pendidikan internal media tidak memberikan “insentif” memadai untuk peningkatan ketrampilan dalam investigasi.
Ketertutupan politik di era lama membuat kita, para wartawan, terjebak dalam “teori konspirasi” yang berbau tahyul dan diilhami kemalasan. Kita tidak terbiasa menggali bahan dan menemukan data/informasi empiris dari lapangan. Tapi, bahkan wartawan yang berhasrat dan berani mengambil risiko melakukan investigasi tidak mudah melakukannya. Jurnalisme investigasi menuntut tidak hanya keberanian, tapi juga ketrampilan, sarana dan resources:
News Cycle. Ledakan pers telah membuat dunia informasi kita seperti “rimba berita”. Disibukkan oleh breaking-news dan news-cycle yang cepat dan bertubi-tubi, wartawan dituntut memiliki pengetahuan dan ketrampilan lebih baik untuk bisa melakukan investigasi.
Public information. Pada era sekarang akses warta-wan ke lembaga negara maupun lembaga swadaya ma-syarakat sudah lebih bagus tapi kendalanya: data yang mereka miliki belum tentu ada (available), dan jika ada belum tentu bisa dipercaya (reliable)
Bagaimana Mengatasinya?
Meski iklim telah membaik, bagi banyak media dan war-tawan “barrier to entry” ke dunia jurnalisme investigatif tetap tinggi. Jika kita ingin mempromosikan tradisi ini, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan:

Perubahan Sudut Pandang
Jurnalisme investigasi perlu dipopulerkan dengan sedikit mengurangi mitosnya sebagai jenis jurnalisme yang “sulit” dan “canggih”. Jurnalisme investigasi tidak hanya monopoli majalah serius, misalnya, seperti yang selama ini dipercaya. Jurnalisme seperti itu bahkan cocok untuk koran dan tabloid.

Asosiasi
Perlu ada asosiasi wartawan yang gigih mempromosikan tradisi ini dan melakukan advokasi: Mempromosikan pentingnya jurnalisme investigasi baik ke publik maupun ke media. Membangun jaringan dengan asosiasi serupa (lokal, nasional maupun internasional) Memberi insentif kepada wartawan/media yang mengusahakan jurnalisme investigasi: memberi penghargaan (“award”), mencarikan dana untuk liputan investigatif. Memberikan pendidikan/workshop untuk jurnalisme investigatif Membela wartawan investigatif dari tekanan manajemen media maupun publik.

Database dan Jaringan
Perlu dikembangkan database (apa saja) dan membangun jaringan dengan akademisi/lembaga riset yang bisa membantu wartawan melakukan investigasi secara mudah. Orang seperti Lin Che Wei dan lembaga sema-cam Transparancy International, misalnya, bisa membantu dalam Kasus Lippo.

Investigative Reporting

Posted by Jammes 6/08/2008 0 comments

Apakah semua wartawan menjalankan fungsi investigasi? Jawabnya bisa ya bisa tidak. Sebagian wartawan mengatakan setiap reporter juga seorang investigator. Namun ada yang mengatakan tidak setiap wartawan me-lakukan investigasi. Wartawan yang ikut pertemuan pers, menyodorkan tape recorder dan sekali-kali menerima amplop, pasti bukan seorang investigator.

Namun ada juga yang berpendapat setiap wartawan seyogyanya menjadi seorang investigator. Atau di-pertajam lagi, ada yang mengatakan bahwa setiap war-tawan harus bisa menjadi seorang investigator. Entah itu wartawan di kota atau reporter bisnis. Bahkan warta-wan yang bertugas meliput pakaian mode baru juga bisa menjadi investigator. Logikanya, kejahatan tak mengenal bidang-bidang liputan. Di mana-mana bisa terjadi keja-hatan.
Sebagian wartawan juga mengatakan bahwa inves-tigasi adalah pekerjaan jurnalisme yang dikaitkan dengan upaya membongkar apa-apa yang salah dan diraha-siakan. Namun apakah membongkar skandal antara se-orang manajer dengan mantan sekretarisnya juga dika-tegorikan investigasi? Apakah membong-kar skandal seorang politikus dan seorang aktivis perempuan bisa dikategorikan investigasi? Berhakkah media masuk hingga ke ruang pribadi ini? Apa beda investigative re-porting dan in-depth reporting?

Dari Muckraking hingga investigative Reporting
Sebelum masuk ke perdebatan-perdebatan tersebut, ada baiknya kita melihat apa yang terjadi di negara-negara lain yang tradisi persnya, setidaknya di bidang investigasi, lebih tua dari Indonesia. Di Amerika Serikat istilah investigative reporting mulai populer pada tahun 1975 ketika di Columbia didirikan Investigative Reporters and Editors Inc. Tapi ini bukan berarti sesuatu yang baru sama sekali. Sebelumnya ada istilah muc-kraking journalism, antara tahun 1902 hingga 1912, ketika majalah McClure’s menerbitkan laporan-laporan yang membongkar politik uang elit Washington. Sekarang IRE jadi salah satu organisasi terkemuka dalam masalah investigasi dengan anggaran $800,000 per tahun.
Setiap tahun IRE mengadakan seminar teknik-teknik baru dalam investigasi, baik dalam pengelolaan data-base maupun spesialisasi tertentu (lingkungan hidup mi-salnya), serta memberikan hadiah buat karya-karya in-vestigasi yang bagus di seluruh Amerika Serikat. Ia memperkenalkan sistem riset lewat internet maupun pe-makaian penginderaan jarak jauh.
Di Asia Filipina yang pertama kali memiliki organisasi semacam Philippines Center for Investigative Journalism ketika sekelompok wartawan muda pada tahun 1989 mendirikan lembaga itu sesaat setelah diktator Fer-di-nand Marcos melarikan diri dari Filipina. Direktur PCIJ Sheila Coronel datang ke Indonesia dan memberikan ceramah di Jakarta, Surabaya, Bandung, Yogyakarta dan Ujungpandang pada 1-11 Oktober 1999.
Menurut Coronel, mereka mendirikan PCIJ karena me-dia di mana mereka bekerja tak menyediakan suasana yang memungkinkan bagi wartawan-wartawan muda itu untuk membuat in-depth reporting maupun investigative reporting. Budaya newsroom di Filipina lebih banyak di-habiskan meliput breaking news daripada analisa yang mendalam.
Pada November 1998 di Cambridge, Amerika Serikat, juga diadakan pertemuan perdana dari International Consortium of Investigative Journalists yang memberi-kan penghargaan buat wartawan-wartawan dari seluruh dunia yang berkarya dengan baik di bidang investigasi. Untuk pertama kali penghargaan ini diberikan kepada Nate Thayer dari mingguan Far Eastern Economic Review yang berpangkalan di Hongkong atas jerih-payah dan prestasi Thayer dalam mewa-wancarai tokoh Khmer Merah Pol Pot.
Di Indonesia sendiri kurang jelas mulai kapan istilah li-putan investigasi mulai menjadi populer. Namun setidak-nya ada beberapa majalah yang secara eksplisit pada tahun 1990-an menggunakan kata “investigasi” dalam liputan mereka. Dwi-mingguan Tajuk yang didirikan tahun 1996 memposisikan dirinya sebagai majalah “berita, investigasi dan entertainmen”. Majalah Tempo juga me-nambahkan satu rubrik “Investigasi” ketika terbit kembali 6 Oktober 1998.
Namun apa yang dinilai sebagai “investigasi” yang mungkin paling terkenal di Indonesia adalah liputan ha-rian Indonesia Raya atas kasus korupsi di Pertamina dan Badan Logistik antara 1969 dan 1972. Harian itu melaporkan dugaan ko-rupsi besar-besaran di Perta-mina dengan memanfaatkan sumber-sumber anonim dari dalam perusahaan negara tersebut. Pertamina mau-pun pemerintahan Presiden Suharto menolak adanya korupsi. Walaupun Indonesia Raya terkesan agak cru-sading dalam liputannya namun beberapa tahun ke-mudian terbukti bahwa Pertamina memang penuh de-ngan korupsi hingga hampir membangkrutkan peme-rintahan Suharto.
Dalam lima tahun terakhir ini, saya pikir liputan in-vestigasi skala internasional yang dilakukan oleh war-tawan Indonesia adalah investigasi tentang skandal e-mas Busang yang dibuat oleh wartawan lepas Bondan Winarno. Ia melanglang buana, pergi ke Calgary dan Toronto di Kanada, Manila di Filipina serta hutan rimba Busang di Kalimantan untuk menelusuri investigasinya yang dituangkan dalam bentuk sebuah buku. Bondan juga menelusuri berbagai dokumen tentang pertambangan mineral dan cara-cara untuk “meracuni” mata bor dengan “emas luar” sedemikian rupa sehingga dibuat kesim-pulan ada cebakan emas yang luar biasa besarnya di bawah permukaan hutan Busang.
Intinya Bondan menganggap Michael de Guzman, geolog senior Bre-X, “meracuni” sample hasil pemboran mereka dan melakukan kejahatan canggih untuk mem-perkaya diri mereka. Bondan secara mengejutkan juga memperkirakan bahwa de Guzman masih hidup, tidak mati bunuh diri seperti diberitakan. Bondan melaporkan bahwa mayat yang ditemukan di tengah hutan Busang itu tidak memiliki gigi palsu di rahang atasnya seperti yang dimiliki de Guzman. Geolog Filipina ini juga mem-punyai gaya hidup mewah, suka berfoya-foya, main pe-rempuan, yang tidak cocok dengan tipe orang yang me-miliki kecenderungan untuk melakukan bunuh diri. Aneh juga bahwa de Gusman tidak duduk di samping pilot he-likopter namun di belakang. Bondan mewawancarai dua orang dokter yang melakukan autopsi terhadap jasad tersebut serta seorang dari empat isteri de Guzman.
Dari gambaran sekilas atas pekerjaan Bondan mau-pun Nate Thayer sudah bisa kita ketahui bahwa inves-tigative reporting memang lebih berat dari rata-rata pe-kerjaan jurnalisme sehari-hari. Bondan butuh waktu dua bulan penuh untuk mengerjakan investigasinya. Thayer bahkan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menyakinkan Khmer Merah bahwa ia layak untuk mewa-wancarai Pol Pot.
Goenawan Mohamad dari majalah Tempo menyebut investigative reporting sebagai jurnalisme “membongkar kejahatan.” Ada suatu kejahatan yang biasanya ditutup-tutupi. Wartawan yang baik akan mencoba mempelajari dokumen-dokumen bersangkutan dan membongkar keberadaan tindak kejahatan di belakangnya.
Namun pemahaman ini perlu dibedakan antara inves-tigasi yang dikerjakan oleh seorang wartawan atau se-buah tim wartawan dengan liputan media atas hasil inves-tigasi pihak lain. Ketika mingguan Panji Masyarakat me-muat rekaman pembicaraan antara Presiden B.J. Habi-bie and Jaksa Agung Andi M. Ghalib pada pertengahan Februari 1999, banyak dosen komunikasi yang mengata-kan bahwa itulah investigative reporting. Ahli hukum me-dia Abdul Muis dari Universitas Hasanuddin mengatakan secara etis Panji tidak bisa disalahkan karena pemuatan itu bagian dari investigative reporting. Muis mengatakan bahwa Panji melakukan investigasi. Terlepas dari kebe-ranian Panji dalam menu-runkan pembicaraan itu de-ngan pertimbangan adanya public interest dalam perbin-cangan tersebut, Prof. Muis lupa bahwa rekaman ter-sebut bukan dikerjakan Panji sendiri. Yang melakukan investigasi bukan Panji karena majalah itu hanya menda-patkan kaset rekamannya saja. Bukan menyadap pembi-caraan telpon itu sendiri.
Robert Greene dari Newsday —beberapa kali disebut sebagai “Bapak Jurnalisme Investigasi Modern”— mem-batasi liputan investigasi sebagai karya seorang atau beberapa wartawan atas suatu hal yang penting buat ke-pentingan masyarakat namun dirahasiakan oleh mereka yang terlibat. Liputan investigasi ini minimal memiliki tiga elemen dasar: bahwa liputan itu adalah ide orisinil dari wartawan, bukan hasil investigasi pihak lain yang ditin-daklanjuti oleh media; bahwa subyek investigasi me-rupakan kepentingan bersama yang cukup masuk akal untuk mempengaruhi kehidupan sosial mayoritas pembaca suratkabar atau pemirsa televisi bersangkutan; bahwa ada pihak-pihak yang mencoba menyembunyikan kejahatan ini dari hadapan publik.

Dua Bagian Proses Investigasi
Mula-mula seorang wartawan investigator adalah war-tawan yang tidak menerima mentah-mentah pernyataan sumber-sumber resmi. Seorang wartawan yang mau me-lakukan pekerjaan riset yang dalam, tekun mere-konstruksi suatu kejahatan dan tidak kenal lelah untuk mengejar sumber-sumber yang penting, kira-kira itulah bayangan pekerjaan dalam jurnalisme investigasi.
Sumber-sumbernya banyak. Dokumen-dokumennya bertumpuk. Jelas bahwa sebuah karya investigasi tidak bisa dibuat hanya dengan mengandalkan sebuah lapo-ran pemeriksaan polisi atau keterangan pers sebuah lembaga swadaya masyarakat. Walaupun ukuran waktu bersifat sangat nisbi, namun sebuah laporan investigasi biasanya makan waktu cukup lama. Bisa setengah tahun namun bisa juga setahun tergantung pada ukuran dan cakupan investigasi tersebut.
Menyelidiki perdagangan senjata antar-negara dan penggunaannya oleh para serdadu bayaran tentu lebih lama daripada investigasi penyalahgunaan dana pemba-ngunan Pasar Pagi di kota Tegal. Perdagangan senjata biasanya melibatkan kejahatan terorganisasir di bebe-rapa negara. Serdadu bayaran juga beroperasi lintas batas. Namun ukuran waktu memang nisbi. Kalau me-reka yang dianggap melakukan penyalahgunaan reno-vasi Pasar Pagi ternyata sudah melarikan diri ke luar negeri, tentu waktu yang dibutuhkan lebih lama daripada sekedar mengejar sumber-sumber antara Tegal dan Ja-karta (dalam negeri).
Dalam skala internasional, investigasi memang keba-nyakan berkaitan dengan perdagangan senjata, operasi militer rahasia, operasi kelompok-kelompok bisnis rak-sasa berbau korupsi-kolusi, penyelundupan obat bius maupun penyelundupan tenaga manusia secara global (baik dalam bisnis pelacuran maupun perbudakan mo-dern). Bondan menyelidiki manipulasi contoh emas Bus-ang hingga ke kantor Bre-X di Calgary maupun situs Busang di dalam hutan-hutan Kalimantan Timur. Bondan juga pergi ke Manila untuk menemui saudara perempuan Michael de Guzman untuk mencari jejak ke arah dental record geolog Bre-X tersebut. Thayer harus mondar-mandir antara Bangkok, Phnom Penh dan hutan-hutan perbatasan Thailand-Kamboja untuk mengejar sumber-sumbernya di kalangan Khmer Merah.
Coronel secara singkat membagi proses investigasi ke dalam dua kali tujuh bagian. Pembagian ini untuk mempermudah seorang investigator dalam mengatur sistematika pekerjaannya. Bagian pertama merupakan bagian penjajakan dan pekerjaan dasar. Sedangkan ba-gian kedua sudah berupa penajaman dan penyelesaian investigasi:

Bagian Pertama
· Petunjuk awal (first lead)
· Investigasi pendahuluan (initial investigation)
· Pembentukan hipotesis (forming an investigative hypothesis)
· Pencarian dan pendalaman literatur (literature search)
· Wawancara para pakar dan sumber-sumber ahli (interviewing experts)
· Penjejakan dokumen-dokumen (finding a paper trail)
· Wawancara sumber-sumber kunci dan saksi-saksi (interviewing key informants and sources)
Petunjuk awal bisa berupa apa saja. Ia bisa berupa sebuah berita pendek di suratkabar. Ia juga bisa berupa sebuah surat kaleng yang menunjuk adanya ketidak-beresan dalam suatu lembaga tertentu. Ia juga bisa be-rupa telpon dari seseorang tak dikenal. Atau petunjuk ini juga bisa berupa suatu peristiwa besar yang sudah ba-nyak diberitakan media namun masih menyimpan teka-teki yang kelihatannya menarik untuk dikejar. Teka-teki ini bakal menarik kalau si investigator menemukan sum-ber penting yang bisa membuka ke arah terbongkarnya teka-teki tersebut.
Indonesia memiliki banyak sekali peristiwa-peristiwa menarik untuk diselidiki. Katakanlah mulai dari isu ke-terlibatan oknum-oknum berseragam dalam huru-hara 14-16 Mei 1998. Sebuah petunjuk bisa saja muncul dari berbagai arah yang bisa dipakai untuk menyelidiki peris-tiwa tragis tersebut. Atau pembunuhan mereka yang ditu-duh sebagai dukun santet di daerah Banyuwangi dan Jember. Mengapa tiba-tiba bupati yang memerintahkan pendaftaran para dukun santet diganti sebelum masa jabatannya berakhir? Huru-hara juga meledak di mana-mana. Dari Ketapang di Jakarta hingga Karawang hing-ga Kupang dan Ambon. Benarkah ada provokator dan kejahatan terorganisir di balik huru-hara tersebut? Seo-rang investigator seyogyanya sudah mengetahui latar belakang suatu kasus sebelum bisa mencium adanya petunjuk yang berharga.
Investigasi pendahuluan bisa berupa penggalian data lebih jauh, wawancara maupun peninjauan lapangan. Ri-set dikerjakan dengan teliti sebelum hipotesis ditetapkan. Pekerjaan yang terarah dan tajam praktis baru diker-jakan setelah hipotesis terbentuk. Bondan Winarno menggunakan metode deduksi untuk mencari data dan membuktikan hipotesisnya. Mula-mula dengan penca-rian dan pendalaman literatur. Lantas dikombinasi de-ngan wawancara para pakar dan sumber-sumber ahli agar si investigator mendapatkan latar-belakang teknik yang memadai sebelum melangkah lebih jauh.
Coronel menekankan pentingnya pencarian dokumen-dokumen maupun wawancara sumber-sumber kunci dan saksi-saksi. Dokumen ini penting karena di sanalah bia-sanya ketentuan-ketentuan yang mengikat bisa dijadikan barang bukti. Dokumen juga bisa dipakai untuk mem-pertentangkan pernyataan-pernyataan nara sumber yang berbohong. Di Indonesia banyak sekali pejabat atau pe-mimpin perusahaan yang setengahnya “berbohong” de-ngan cara menjawab pertanyaan wartawan secara diplo-matis atau bahkan dengan memutar-balikkan logika. Dokumen tertulis akan membantah semua kebohongan.
Pekerjaan terakhir dalam tahap pertama ini adalah wawancara dengan orang-orang kunci. Pekerjaan ini se-ringkali makan waktu lama karena jarak maupun waktu. Orang-orang kunci tidak harus orang-orang dengan jabatan tinggi. Seorang tukang perahu dekat Samarinda bisa menjadi sumber penting dalam investigasi Bre-X untuk membuktikan bahwa “peracunan emas” tidak dila-kukan di gudang Loa Duri (seperti dilaporkan Asian Wall Street Journal). Atau seorang isteri yang bisa mene-gaskan bahwa suaminya memiliki gigi palsu di rahang atas. Memang sumber-sumber kunci dalam Bre-X juga termasuk John Felderhof, geolog senior yang juga atasan Michael de Guzman, namun yang sering terjadi orang macam ini keberatan untuk bicara dengan wartawan.

Bagian Kedua
· Pengamatan langsung di lapangan (first hand observation)
· Pengorganisasian file (organizing files)
· Wawancara lebih lanjut (more interviews)
· Analisa dan pengorganisasian data (analyzing and organizing data)
· Penulisan (writing)
· Pengecekan fakta (fact checking)
· Pengecekan pencemaran nama baik (libel check)
Pengamatan langsung di lapangan seyogyanya dilaku-kan dengan berbekal peta geografis dari lokasi di mana investigasi dipusatkan. Wartawan seringkali melupakan tinjauan dari aspek geografis. Padahal banyak keputusan militer maupun dagang yang dibuat berdasarkan pertim-bangan geografis. Ahli penginderaan jarak jauh Christo-pher Simpson dari American University berpendapat bahwa 80 persen keputusan bisnis maupun dagang di-tentukan oleh pertimbangan geografis.
Pengorganisasian file akan mempermudah investigator untuk menganalisai dan mencari benang merah atau pola dari berbagai data temuannya. Investigasi akan pembu-nuhan dukun santet, misalnya, akan lebih mudah bila di-buat matriks yang mencatat kecenderungan-kecende-rungan korban pembunuhan. Entah lokasinya, metode pembunuhan atau pola penyebaran desas-desus. Dalam kasus korupsi yang canggih yang melibatkan banyak orang juga akan terbentuk suatu pola bisa semua data yang ada dimasukkan dalam database dengan rapi.
Penulisan laporan merupakan teknik tersendiri yang tentu tidak meninggalkan teknik pembuatan angle, focus dan outline. Data yang sedemikian banyaknya tentu me-merlukan seleksi yang ketat untuk memilih mana yang perlu dan mana yang kurang perlu. Walaupun media elek-tronik di Indonesia belum pernah punya reputasi harum dalam hal investigasi, namun ini lebih disebabkan ma-salah sejarah dan kepemilikan media elektronik. Cepat atau lambat, investigasi juga akan masuk ke media yang pengaruhnya luas sekali ini. Alat-alatnya pun men-jadi lebih rumit. Entah dalam bentuk kamera tersem-bunyi atau alat rekam ultra sensitif.
Pengecekan fakta (fact checking) sangat penting wa-lau banyak diremehkan wartawan. Apalah arti kerja ke-ras berbulan-bulan bila seorang sumber dengan enteng mengatakan, “Investigasi apa itu? Menulis ejaan nama saya saja salah!” Banyak sekali kesalahan yang keliha-tannya remeh namun bisa merusak penilaian orang akan laporan tertentu. Nama orang, tanggal kejadian, hubungan darah antar satu sumber dengan yang lain, jumlah anak, nilai transaksi dan sejuta data lain, harus disisir satu demi satu agar semua data akurat.
Wartawan Richard Lloyd Parry dari harian Inde-pen-dent (London) membuat laporan yang luar biasa soal terjadinya pembunuhan orang-orang Madura oleh o-rang Dayak di Kalimantan Barat antara Desember 1996 hingga Januari 1997. Parry menulis laporan se-panjang 40 halaman pada majalah Granta terbitan Lon-don. Data-datanya luar biasa. Peristiwa penjagalan manusia digambarkan dengan detail. Kuburan-kuburan dibongkar dan tengkorak-tengkorak dihitung. Namun pada halaman awal karangannya, Parry mem-buat ke-salahan kecil: Partai Demokrasi Indonesia dise-butnya sebagai partai dengan nomor kontestan dua sedang-kan Golongan Karya nomor tiga!
Pengecekan fakta ternyata tidak cukup. Dalam jaman di mana kebebasan pers makin terbuka, anca-man seringkali datang dari tuntutan dengan dasar pen-cemaran nama baik (libel check). Bondan mengatakan bahwa ia digugat pencemaran nama baik masing-masing Rp 1 triliun oleh mantan menteri pertambangan Ida Bagus Sudjana dan putranya Dharma Yoga Sudjana. Hingga kini kasus itu masih ada dalam proses hukum. Kedua belah pihak tidak mau mundur atau melakukan penyelesaian di luar hukum. Bondan harus membayar pengacara untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Namun ongkos pengacara tidak murah bukan? Bahkan menurut Bondan, biaya untuk melalang buana ke Kanada dan Filipina masih lebih murah di-banding biaya yang sudah dikeluarkannya untuk mem-bayar pengacara. Sebuah penerbitan bisa bangkrut bila tuntutan pencemaran nama baik terbukti benar. Se-mentara buat wartawan semacam Bondan, mundur berarti membiarkan reputasinya sebagai wartawan dipertanyakan.
Kesimpulannya, tidak ada cara lain yang bisa dila-kukan seorang wartawan daripada melakukan konsul-tasi hukum dengan ahli hukum perdata secara benar sebelum laporannya naik cetak atau disiarkan. Editor juga banyak berperan untuk mengantisipasi kemung-kinan munculnya gugatan pencemaran nama baik. Prin-sip cover both side seringkali sangat membantu untuk menghindar dari jeratan tuntutan pencemaran nama baik. Dalam kasus Bondan, ia memang beberapa kali men-coba mewawacarai Sudjana, namun kurang berhasil hingga naik cetak.

Hipotesis dan Teknik
Salah satu hal yang banyak membedakan antara in-depth reporting dan investigative reporting adalah ada atau tidaknya hipotesis dalam penelusuran tersebut. Saya berpendapat bahwa dalam batasan tertentu inves-tigative reporting adalah fase kelanjutan dari in-depth reporting. Majalah Panji Masyarakat jelas tidak memiliki hipotesis ketika mereka menurunkan laporan pembicaraan telpon Habibie-Ghalib. Namun keadaan ini akan berbeda bila Panji memutuskan untuk melanjutkan pekerjaan itu dan melakukan investigasi sendiri. Dalam melakukan in-depth reporting seorang wartawan bisa be-rangkat praktis dari nol atau dari sekedar membaca kliping-kliping koran. Ketika wartawan itu sudah jauh lebih banyak mengetahui duduk persoalan sebenarnya —se-telah melakukan banyak wawancara, membaca tum-pukan dokumen serta mendatangi tempat-tempat yang berhubungan dengan liputannya— saat itulah ia pada titik hendak melakukan kegiatan lanjutan atau tidak. Liputan lanjutan inilah yang lebih bersifat investigatif. Membongkar kejahatan. Mencari tokoh-tokoh jahat dan merekonstruksi kejahatan-kejahatan mereka. Hipotesis sangatlah penting untuk membantuk wartawan mem-fokuskan dirinya dalam suatu investigasi.
Jakob Oetama dari harian Kompas mengatakan ke-pada saya bahwa salah satu halangan kegiatan inves-tigasi di harian tempatnya bekerja adalah iklim ewuh-pekewuh terhadap mereka yang dianggapnya terlibat da-lam kejahatan tersebut. Keadaan ini yang membuat ha-rian terbesar di Indonesia ini mengalami kesulitan untuk mengejar dan menyelidiki hipotesis-hipotesis yang me-reka pikirkan.
Bondan Winarno dalam investigasinya soal Busang mengajukan hipotesis bahwa kematian Michael de Guz-man tidak wajar dan aneh. Ia juga curiga bahwa de Guzman adalah otak dari “peracunan” sample emas Busang sehingga harga-harga saham Bre-X naik ber-kali-kali lipat di mana de Guzman juga sangat diuntung-kan. Bondan curiga bahwa mayat yang ditemukan di hutan Busang itu bukanlah mayat de Guzman. Bagaimana mungkin mayat orang yang jatuh dari ke-tinggian 800 kaki masih utuh?
Untuk membuktikan hipotesis tersebut, Bondan mula-mula bicara dengan dokter-dokter yang memeriksa ja-sad tersebut. Ia menemukan bahwa para dokter Indo-nesia yang mengatakan bahwa mayat itu mayat de Guz-man hanya mendasarkan pengamatannya dari pakaian yang dilaporkan dikenakan oleh de Guzman. Sementara itu dari salah seorang isteri maupun teman-temannya, Bondan menemukan bahwa de Guzman memiliki gigi palsu. Sementara mayat itu tidak ada gigi palsunya.
Bondan juga terbang ke Filipina untuk mencari sau-dara-saudara de Guzman maupun mantan pembantu-pembantunya di Busang —Cesar M. Puspos dan Jerome Alo— yang semuanya menolak menemui Bondan. Ke-luarga de Guzman bahkan menolak untuk memberikan alamat dokter gigi yang biasa merawat Michael. Semen-tara pembantu-pembantunya seolah-olah raib tertelan bumi. Tidakkah ini indikasi bahwa ada yang aneh de-ngan “kematian” Michael de Guzman?
Bondan tentu memakai seperangkat teknik untuk mem-buktikan hipotesisnya. Selain wawancara panjang lebar di beberapa sudut dunia, ia juga mengadakan riset yang panjang, bahkan belajar tentang teknik pertambangan, untuk mendukung investigasinya. Salah satu kelebihan Bondan adalah sikapnya yang sopan. “Sikap santun itu penting. Ini sikap yang penting dalam investigasi,” ujar-nya. Dengan modal sopan-santun ini pula Bondan mene-gaskan prinsipnya bahwa ia tidak mau mencuri.
Soal mencuri atau tidak memang jadi isu yang sulit se-kali. Banyak wartawan yang berpendapat bahwa dalam investigasi, segala cara dibenarkan, termasuk mencuri dana, mencuri pembicaraan orang maupun mencuri infor-masi. Panda Nababan, wartawan senior majalah Forum Keadilan, berada pada kubu yang membenarkan pencurian data. Nababan memakai teknik apa saja untuk mendapatkan data. Ia pernah “menipu” petugas bandara Jakarta dengan mengaku dirinya sebagai seorang peja-bat tinggi militer dalam kasus pembajakan pesawat Ga-ruda Woyla. Dalam kesempatan lain Nababan juga per-nah mencuri dokumen di mobil seorang pejabat tinggi yang hendak menyerahkan dokumen itu kepada Presi-den Suharto.
Perdebatan antara boleh tidaknya mencuri data ini me-mang sangat erat terkait dengan masalah etika dan hu-kum. Namun secara umum ada beberapa teknik yang biasanya dipakai seorang investigator:
· Riset dan reportase yang mendalam dan berjangka waktu panjang untuk membuktikan kebenaran atau kesa-lahan hipotesis;
· Paper trail (pencarian jejak dokumen) yang berupa upaya pelacakan dokumen, publik maupun pribadi, untuk mencari kebenaran-kebenaran untuk mendukung hipotesis;
· Wawancara yang mendalam dengan pihak-pihak yang terkait dengan investigasi, baik para pemain langsung maupun mereka yang bisa memberikan background ter-hadap topik investigasi;
· Pemakaian metode penyelidikan polisi dan peralatan anti-kriminalitas. Metode ini termasuk melakukan penya-maran. Sedangkan alat-alat bisa termasuk kamera ter-sembunyi atau alat-alat komunikasi elektronik untuk me-rekam pembicaraan pihak-pihak yang dianggap tahu persoalan tersebut. Ini memang mirip kerja detektif;
· Pembongkaran informasi yang tidak diketahui publik maupun informasi yang sengaja disembunyikan oleh pi-hak-pihak yang melakukan atau terlibat dalam kejahatan.
Hipotesis biasanya disusun dengan beberapa perta-nyaan dasar. Pertama-tama adalah pertanyaan tentang aktor pelaku kejahatan. Siapa yang bertang-gungjawab atas penyalahgunaan dana masyarakat tersebut? Siapa yang memicu huru-hara? Siapa yang mula-mula menye-barkan sentimen anti-etnik atau anti-agama tertentu? Siapa yang melakukan insider trading? Siapa yang mula-mula berkepentingan agar dukun-dukun santet dibunuh?
Dalam investigasi Bondan, ia berteori bahwa kasus Bre-X itu dilakukan oleh Michael de Guzman dan anak-anak buahnya yang dari Filipina. Bukan oleh al-marhum David Walsh, orang nomor satu Bre-X, maupun John Fel-derhof, geolog senior Bre-X yang juga atasan de Guz-man. Walaupun kedua orang itu juga diuntungkan oleh ulah de Guzman, namun mereka tidak terlibat dalam skandal ini. Felderhof boleh jadi mengetahuinya namun tidak mencegahnya. Bondan mendapatkan jawaban tertulis dari Felderhof.
Selain hipotesis tentang aktor pelaku, juga perlu ditanyakan cara-cara suatu kejahatan dilakukan. Bagaimana penyalahgunaan itu dilakukan? Bagaimana cara sample mata bor lubang-lubang Busang dicampur dengan emas luar agar ada kesan temuannya memang besar sekali? Bagaimana cara Michael de Guzman menipu sekian ba-nyak konsultan independen yang memperkuat hasil temuan Bre-X? Apa konsekuensi dari penyalahgunaan tersebut? Apa yang bisa dilakukan untuk memper-baikinya?
Hipotesis ini yang terus-menerus diteliti, diuji dan di-simpulkan benar-tidaknya. Kalau kemudian terbukti bah-wa hipotesis itu salah, seorang investigator harus de-ngan besar hati mengakui bahwa tidak terjadi kejahatan di sana. Kasus ditutup. Setiap investigasi memang me-ngandung kemungkinan bahwa hasilnya ternyata tidak sedramatis yang diperkirakan. Dan hasil yang negatif ini juga seringkali disertai dengan keputusan bahwa hasil investigasi tersebut tidak layak diteruskan.
Kesannya memang sia-sia. Mungkin biaya besar dan waktu lama juga sudah dikeluarkan. Selain itu, seringkali pekerjaan investigasi ini memancing mereka yang diru-gikan untuk mengajukan tuntutan hukum. Alasannya pen-cemaran nama baik. Hipotesis Bondan, misalnya, bisa saja salah kalau suatu saat ia mene-mukan bukti baru bahwa mayat itu ternyata benar mayat de Guzman. Bon-dan tentu tidak bisa dibenarkan bila salahnya hipotesis itu tidak diungkapkan namun fakta-fakta yang menye-satkan yang justru dipakai. Padahal ia sudah bekerja keras dan mengeluarkan uang cukup banyak untuk mela-kukan investigasi itu. Ironisnya, dalam kasus buku “Se-bungkah Emas di Kaki Langit” ini Bondan justru tidak mendapat gugatan hukum dari keluarga de Guzman. Ia justru mendapat gugatan pencemaran nama baik dari keluarga Ida Bagus Sudjana. Bondan masih beruntung! Dalam banyak kasus, taruhannya bahkan nyawa.

Penulisan dalam Sistem Memo
Investigasi yang baik perlu didukung oleh sistem pela-poran yang baik pula. Apalah artinya investigasi yang mahal dan makan waktu bila hasil akhirnya disajikan dengan buruk? Penulisan perlu dibuat menarik. Untuk itu metode penulisan dari pekerjaan besar ini harus didukung oleh sebuah sistem memo.
Sistem ini pada dasarnya adalah sebuah alat bantu buat wartawan untuk meng-atur pekerjaan mereka seca-ra lebih sistematis. Sistem ini membantu reporter be-kerja lebih mudah dan lebih cepat untuk mencari data dan menyusun arsip. Sistem memo terutama sangat berguna untuk membantu sebuah tim (bahkan seorang wartawan) untuk bekerja sama secara rapi dalam mengerjakan proyek mereka.
Seorang koordinator tim juga bisa memetik keuntungan dari sistem ini. Ia bisa mengetahui setiap perkembangan dari proyek yang sedang dipimpinnya. Ia misalnya dengan teratur bisa membaca laporan-laporan dari anggota-anggota timnya dan dengan cepat bisa memutuskan materi apa yang harus dikembangkan.
Sistem memo ini juga mempermudah penulisan draft final. Alasannya sederhana saja. Dengan secara teratur dan disiplin membuat memo, proses penulisan jadi sebu-ah proses yang dinamis. Penulisan laporan final, entah dalam bentuk buku atau artikel, menjadi sebuah proses kerja yang lebih sederhana karena semua bahan sudah tersedia dan secara teratur diperbarui terus-menerus. Pekerjaan final hanya tinggal dilakukan dengan menyu-sun blok demi blok sesuai dengan outline laporan yang hendak dibuat.
Sistem memo lagi-lagi diperkenalkan oleh Bob Greene dari Newsday. Ia pada mulanya membuat sistem ini untuk keperluan investigasi di mana pengecekan data-data dibuat dengan sangat hati-hati dan menyeluruh. Sistem memo yang diperkenalkannya sekarang diadopsi oleh banyak organisasi berita di seluruh dunia termasuk International Consortium of Investigative Journalists.
Pertama-tama, ada dua tip yang diperkenalkan oleh Greene. Nama orang senantiasa diketik dengan huruf besar. Hal ini akan mempermudah editor, koordinator tim atau reporter dalam membaca memo-memo yang berdatangan setiap hari. Seperti tertera dalam artikel ini, penyebutan nama pertama kalinya senantiasa ditam-bah dengan date of birth (dob). Ini penting karena sebuah sumber boleh jadi baru berumur 68 tahun ketika diwawancarai. Namun ketika naskah diterbitkan umurnya sudah 69 tahun.
Memo ini pada dasarnya adalah produk kerja seorang wartawan; ia merupakan kompilasi dari apa yang dilihat sang wartawan, didengarnya, dibacanya, dibauinya, dira-sakannya dan dicicipinya. Seorang wartawan harian atau wire service tidak memakai memo. Laporan harian itu sendiri sudah merupakan kumpulan memo. Mereka yang pernah bekerja di Reuters atau Associated Press tentu mengetahui bagaimana rasanya membuat berita yang diturunkan hampir setiap hari kalau tidak setiap jam.
Memo hanya dipakai untuk mereka yang bekerja dalam periode waktu yang panjang. Bisa mingguan dan yang penting yang terlibat dalam penulisan buku atau investigasi skala besar. Cara tradisional untuk meng-gunakan jolt note sebelum seorang wartawan menulis laporannya jelas tidak efisien. Ini cara yang kuno. Berapa dari kita yang masih bisa membaca tulisan tangan kita sendiri setelah seminggu? Dan berapa banyak orang yang bisa mengerti tulisan tangan kita? Apabila seorang koordinator membutuhkan jolt note anggotanya, seberapa besar kemungkian bagi si koordinator untuk memahami semua coretan tangan reporternya?
Kalau anggota tim hanya dua orang, dengan mudah keduanya bisa duduk berdua dan membandingkan jolt note. Namun kalau anggota lebih dari empat dan tinggal di tempat-tempat yang berbeda?
Sekedar contoh. Investigasi huru-hara Kebumen. Ada cukup banyak reporter yang bekerja dari Kebumen. Na-mun mereka merasa tidak cukup. Perlu ada pekerjaan yang dilakukan di Jakarta, Yogyakarta, Semarang dan Ambarawa. Bahkan mereka membutuhkan bantuan tenaga luar untuk terjun di Kebumen. Berapa dana yang harus dikeluarkan bila setiap kali semua anggota tim harus rapat dan diskusi bersama? Greene membagi memo dalam dua macam: “copy ready” dan “procedural.”
Memo copy ready meliputi semua fakta yang sudah diverifikasi dan bisa diatribusikan dengan jelas (beda-kan antara ‘off the record’ atau ‘background’ dengan ‘at-tribution’ and ‘not to be quoted’ dan beri kotak dalam jolt note). Memo jenis ini disusun dalam blok-blok yang kelak bisa dipakai dengan mudah dalam sebuah laporan.
Memo ini jelas bukan cerita. Ia bukan cerita jadi karena blok-blok tersebut masih harus diatur dalam komposisi yang siap untuk publikasi. Ia belum memiliki jembatan, lead atau detail lain. Namun memo juga tidak perlu me-ngikuti aturan ‘awal, tengah dan akhir.’ Memo ini secara sederhana hanya sekumpulan blok-blok yang dibuat berdasarkan perkembangan harian atau dua harian untuk dipakai dalam konstruksi laporan lebih lanjut.
Memo prosedural meliputi semua fakta yang belum diverifikasi. Teori, spekulasi dan tip termasuk dalam ka-tegori ini. Sebuah sumber bisa menghasilkan dua ma-cam memo. Dalam kasus Kebumen misalnya. Seorang perwira militer mengatakan bahwa Prabowo Subianto ada di Kebumen pada saat yang hampir bersamaan de-ngan terjadinya huru-hara untuk menengok kuburan ka-keknya. Ini fakta yang sudah diverifikasi. Namun ketika perwira ini berspekulasi bahwa Prabowo terlibat keru-suhan, kita harus memasukkannya dalam memo pro-sedural.
Semua memo ini disentralisasikan pada suatu lokasi yang disepakati bersama. Karena ini sudah jaman internet, memo sebaiknya dikirimkan lewat internet ke-pada koordinator tim bersangkutan. Ia akan menge-ditnya menjadi memo ‘copy ready’ yang lebih baik dan nantinya akan menyimpannya di database.
Pengiriman memo harus memenuhi jadwal yang telah ditentukan bersama. Bersama dengan datangnya me-mo-memo ini, koordinator tim bisa melakukan diskusi dengan anggota-anggota timnya. Kalau perlu ada perba-ikan atau pengejaran hal tertentu bisa segera diputuskan. Syukur bila database memo ini bisa diletakkan dalam web server yang dilengkapi dengan password. Server ini sebaiknya dilengkapi dengan search engine sehingga bisa diakses oleh semua anggota tim tanpa harus mene-rima email setiap hari.
Bila semua bahan sudah lengkap dan penulisan final sudah siap dilakukan, wartawan yang bertugas menulis dengan mudah bisa memanfaatkan memo-memo ter-sebut. Kalau ia harus menulis laporan sepanjang 10,000 kata, katakanlah, ia harus membaca memo-memo se-panjang 100,000 kata. Sistem ini juga dengan mudah bisa mengatasi proyek yang terbengkalai gara-gara reporternya mengundurkan diri. Database ini sebaiknya disimpan. Database ini jangan dibuang setelah proyek berakhir. Greene memiliki database sejak tahun 1972. Dan dalam banyak hal, blok-blok yang semula tidak kita pakai, lima atau sepuluh tahun lagi, ternyata menjadi sangat berguna.
Investigasi memang akhirnya menjadi sebuah pekerjaan yang bukan saja makan waktu, sulit, penuh disiplin tapi juga berbahaya. Namun resiko besar ini yang tam-paknya justru membuat investigasi makin diminati oleh wartawan yang suka tantangan, maupun masyarakat pembaca suratkabar, pendengar radio maupun pemirsa televisi. Kompetisi media yang makin ketat membuat ke-mungkinan untuk membuat investigasi makin meningkat. Namun kompetisi ini bisa jadi lunak apabila pola kepemilikan media justru didominasi kelompok-ke-lompok bisnis yang lebih cenderung mengejar hardnews daripada analisa dan kedalaman suatu berita. Apapun yang terjadi, investigative reporting adalah salah satu pengembangan jurnalisme yang paling memikat, paling menantang, paling mahal dan paling tinggi resikonya. Singkat kata, selamat berpetualang dan bersenang-senang dengan investigasi!