Bang Mawi

Posted by Jammes 7/14/2008 0 comments

Kendati usianya jauh lebih tua, saya memanggilnya abang. Ia seorang seniman yang piawai soal cetak mencetak koran. Belakangan, ia juga mengurus gedung. Penikmat kopi dan perokok berat itu nyaris kalah melawan serangan jantung.


Namanya Darmawi Kahar. Namun, ia sering memakai nama Armawi KH sebagai nama samaran. Kami biasa menyapanya dengan sebutan Bang Mawi. Saya mengangapnya tidak saja sebagai orang tua, juga teman bicara dan berbagi cerita.
Kadang-kadang, ia bercerita soal masa lalunya. Ia pernah menjadi pegawai negeri, lalu memutuskan berhenti. Ia juga pernah punya mesin offset sehingga ia sangat memahami teknologi mesin cetak.
Kadang-kadang, ia mengungkapkan keresahan dan kegalauannya soal berbagai masalah. Tapi, tak ada nada keluh kesah. Hanya sekedar cerita, sambil menyeruput kopi hitam kegemarannya.
Di saat lain, saya yang menjadikan Bang Mawi tempat berdialog, bertanya dan bercerita. Meski ia sering menasehati, namun tak ada kesan menggurui. Kalau sarannya diterima oke, kalau tidak ya sudah.
Saya makin akrab setelah Bang Mawi ditugaskan ke Batam. Dari atas gedung, kadang saya melihat Bang Mawi mondar-mandir, dari percetakan ke gedung Graha Pena. Ia memang menjadi direktur utama kedua perusahaan itu.
Pernah saya bertanya, kenapa Bang Mawi mondar mandir dan sendirian. ''Ya mau kemana lagi. Di Batam ini, kaulah teman aku,''katanya. Saat gedung graha pena sedang tahap finishing, saya dan Bang Mawi naik ke lantai sepuluh. Nafasnya ngos-ngosan. Wajahnya membiru. Saya sempat khawatir. Tapi Bang Mawi bilang, tidak apa-apa.
Sejak Graha Pena Batam masih kosong, Bang Mawi yang menata ruangannya. Cita rasa seninya yang tinggi, digabung dengan kemampuan desain dengan komputer, sehingga ruangan di gedung paling megah di Kepulauan Riau itu, tertata apik.
Tidak banyak yang tahu kemampuan Bang Mawi soal desain ini. Pak Rida pernah bilang kepada saya, mestinya bagian lay-out atau desain iklan, bertanya kepada Bang Mawi. Soalnya, kalau tak ditanya, Bang Mawi juga enggan mengajari. ''Bak kata orang Melayu, Mawi ini tidak mau seperti hidung tak mancung, pipi disorong-sorong.''
Di saat lain, Bang Mawi berlama-lama di ruangannya yang terus berpindah-pindah. Sebab, kalau ruangan yang ditata disewa tenant, ia mengalah dan pindah ke ruangan lain. Ia juga suka melukis. Kanvas dan cat minyak di ruangannya menjadi tempat ia mencurahkan idenya.
Bang Mawi juga suka bunga dan tanaman. Ia yang memilih tanaman di pekarangan di gedung Graha Pena. Suatu hari, ia tertarik melihat sebatang pohon yang berbunga merah, tanpa daun sama sekali. Kami berhenti dan meminta beberapa dahannya untuk dibibitkan.
Soal makan, Bang Mawi tak banyak pantang. Setelah saya ajak makan di rumah makan Padang di Seraya, ia merasa cocok dan kembali lagi datang ke sana menikmati makanan itu. Pemilik rumah makan itu kemudian ditawari berjualan di kantin percetakannya.
Sejak lama saya khawatir dengan kesehatan Bang Mawi. Namun, ia orang yang optimis. Kalau tertawa, bahunya terguncang-guncang. Saat ngobrol, kadang-kadang Bang Mawi menekan dan memijit dadanya. Beberapa kali, ia pergi ke Melaka Malaysia memeriksakan kesehatannya.
Atau sesekali ia memegang tengkuknya. Bang Mawi memang menderita darah tinggi dan sejak lama mengonsumsi obat darah tinggi tensi plas. Kadar gula darahnya juga di atas normal. Namun, saat dicek, paru-parunya bersih. Padahal, ia perokok berat dan suka rokok merek Marlboro.
''Dokter di Melaka juga heran. Mungkin karena merokok dan banyak dahak, sehingga paru-paru aku bersih,'' kata Bang Mawi membuat analisa sendiri sambil tertawa-tawa.
beberapa bulan lalu, keluhannya ginjal yang kata dokter sudah rusak separuh. Bang Mawi pergi lagi ke Melaka. Kebetulan, saya juga berlibur ke Afamosa, Melaka. Kami sempat saling telepon, tapi tak bertemu. Beberapa minggu kemudian, Bang Mawi balik lagi ke Melaka. Kabarnya, ginjalnya mulai membaik.
Sejak itu, Bang Mawi mengurangi minum kopi. Ia memilih minum teh tanpa gula. Tapi, asap rokoknya tetap mengepul. Saya masih sempat mengajak Bang Mawi terapi Ceragem di Puri Legenda dan ngobrol sampai malam tentang berbagai masalah.
Saya terkejut mendengar kabar Bang Mawi masuk rumah sakit kena serangan jantung. Untunglah Mang Mawi yang sudah sering keluar masuk rumah sakit tidak panik dan kehilangan akal. Ia masih sempat menelepon dan minta diantar ke rumah sakit. Saya baru bisa bertemu setelah Bang Mawi tiga hari dirawat. ''Aduh, kacau. Kena jantung aku,'' kata Bang Mawi, seperti biasa, tanpa beban dengan nada datar.
Ia mengajak saya ngobrol. Padahal, malam itu sudah hampir jam 12 malam. Saya katakan, Bang Mawi harus beristirahat. Setahu saya, ada tiga faktor resiko penyakit jantung. Merokok, kolesterol dan stres. Apalagi, sebulan belakangan kesibukan Bang Mawi bertambah dan makin sering terbang ke luar kota. Terakhir, ia mengurus percetakan buku murah.
Sehari setelah bertemu, besoknya ada miscall dari Bang Mawi. Saya telepon balik, tak diangkat. Saya dengar, Bang Mawi dibawa ke Johor untuk mengobati jantungnya. Saya hanya bisa berdoa, semoga Bang Mawi lekas sembuh. ***

0 comments:

Post a Comment