Pak Rida

Posted by Jammes 7/16/2008 0 comments

Tanggal 17 Juli adalah hari kelahiran Rida K Liamsi, bos saya. Sudah dua belas tahun saya bekerja dengannya sebagai wartawan. Ia menjadi sumur inspirasi dan mata air kebijaksanaan yang tak pernah kering. Di usianya yang ke 65 tahun, Pak Rida tetap energik dan dinamis. Tulisan ini saya posting sebagai kado ulang tahun buat Pak Rida.

Saat mulai bekerja, saya baru tahu siapa bos saya. Seorang lelaki bertubuh tinggi dan kebapakan dan tak banyak bicara. Tapi, ia seorang pekerja keras. Orang-orang dan saya memanggilnya Pak Rida. Belakangan, saya baru tahu, nama aslinya Ismail Kadir. Pertama kali saya bicara dengan Pak Rida, saat saya gelisah dengan pekerjaan sebagai wartawan.
Baru dua minggu bekerja, saya ditugaskan di Perawang, sekitar 60 km dari kota Pekanbaru. Tiap hari, saya bolak-balik ke sana. Kawasan itu hanya sebuah desa, namanya Desa Tualang. Tapi, penduduknya lebih 15.000 karena desa itu lokasi PT Indah Kiat Pulp and Paper. Awalnya, sulit sekali menembus perusahaan itu. Saya hanya bisa wawancara dengan Kepala Desa dan Pembantu Camat. Lalu, soal pencemaran lingkungan, dan berbagai masalah sosial di sana. Merasa banyak tulisan saya berbau kritik, saya didekati oleh humas perusahaan itu. Pernah juga saya berdebat dengan dua orang yang saya kira pegawai humas. Ternyata, dia adalah Njau Kwit Mien, dirut perusahaan itu. Saya merasa, mereka mencoba mendekati dan mempengaruhi saya.
Pernah saya ditraktir makan, atau diberi uang ongkos pulang. Inilah yang membuat saya gelisah. Untuk mengatasi kegalauan hati saya, saya menemui Pak Rida. Saya ceritakan semua yang saya alami. ''Kenapa orang-orang itu begitu memperhatikan saya, kenapa tidak perusahaan saja yang memperhatikan saya?,''tanya saya kepada Pak Rida. Pak Rida menatap saya. ''Kau ini, sama seperti ketika pertama kali aku jadi wartawan. Tapi, kalau orang mau berteman, kan tidak apa-apa,'' jawab Pak Rida.
Empat bulan kemudian, saya pindah tugas ke Bukittinggi. Tak lama, mendadak saya mau dipindahkan lagi ke Batam. Sadar tugas wartawan siap dimana saja, saya pun pamit dengan rekan-rekan wartawan di kota wisata itu. Saya ke Pekanbaru, mengurus kepindahan dan minta tiket ke Batam.
Saat saya di kantor, Pak Rida datang. Melihat saya membawa barang, ia bertanya,'' Mau kemana kau?,'' katanya. ''Kan mau ke Batam, Pak,'' jawab saya. Saya kira, Pak Rida tahu saya bakal pindah ke Batam. Tanpa saya sangka, Pak Rida bilang,'' Kau balik lagilah ke Bukittinggi dan jadi Kepala Perwakilan di sana.''
Saya kaget. Apalagi, saya baru 8 bulan jadi wartawan. Spontan, saya bertanya,'' Apa tak buru-buru mengambil keputusan, Pak,'' kata saya.Perintah sekaligus pesan Pak Rida. ''Kau coba sajalah. Dulu aku juga tak tahu apa-apa soal koran,'' katanya, memberi semangat. Saya terdiam dan tetap tak habis pikir. Akhirnya, saya kembali dan
menjadi kepala perwakilan Riau Pos di Sumatera Barat. Perwakilan ini menjadi cikal bakal Padang Ekspres. Tiga perwakilan lainnya adalah Batam, Tanjungpinang dan Dumai.
Saya setahun menjadi Kepala Perwakilan. Lalu, saya mendapat kesempatan mengikuti pendidikan dan lokakarya redaktur di Jawa Pos Surabaya. Begitu selesai, selembar surat tugas baru sudah menanti. Pindah tugas ke Batam.
Pengalaman paling berkesan bersama Pak Rida adalah ketika saya diajak meliput ke kampung halamannya di Desa Bakung, Dabo Singkep selama empat hari. Mungkin saya satu-satunya karyawannya yang pernah ke sana. ''Baru dua wartawan yang pernah ke kampungku, kau dan Taufik Ikram Jamil,'' katanya. Taufik adalah mantan wartawan Kompas.
Perjalanan ke Dabo melewati Tanjungpinang. Saat di perjalanan, saya banyak bertanya pada Pak Rida. Misalnya, kenapa ia mengganti namanya. ''Aku ini dulu kan guru. Jadi, terpaksa memakai nama pena,'' katanya. Nama yang pernah digunakannya Iskandar Leo dan Rida K Liamsi.
Yang membuat saya heran, ternyata Pak Rida sudah 26 tahun tidak pulang ke tanah kelahirannya.Ia bercerita, saat masih remaja, ia seorang pemain sepakbola. Posisinya kiper, lantaran tubuhnya memang tinggi. Kami tiba di pelabuhan Jagoh, setelah menempuh perjalanan selama 1,5 jam. Lalu, saya dan Pak Rida naik bus dari Kuala Raya menuju desa Pengambil, ke rumah saudaranya dan menginap di sana.
Desa itu memang cocok dengan namanya, Pengambil. Apa saja hasil bumi diambil.
Sejak PT Timah angkat kaki,Pulau Dabo Singkep seperti diobrak-abrik. Tanah berlubang bekas galian timah yang disebut warga setempat kolong. Pasirnya diambil dan dijual ke Singapura. Hutannya dibabat.
Nah, warga desa Pengambil, termasuk saudara perempuan Pak Rida, protes keras pada perusahaan penggali pasir di desa itu. Pasalnya, ikan menjauh dari pesisir pantai lantaran bekas cucian pasir dialirkan ke laut.
Dengan nada putus asa, saudara Pak Rida mengadu. ''Bang, bilanglah pada Pak Gubernur,''katanya. Apa jawaban Pak Rida. Saya tidak yakin Pak Rida bicara begitu lantaran dekat saya. ''Aku kan bukan orang berpengaruh juga,'' katanya. Sebuah sikap rendah hati yang luar biasa. Tak terbayangkan bagi saya, kampung halaman sendiri ekologinya rusak begitu parah.
Keesokan hari, dari Pengambil kami naik sampan pancung menuju Desa Bakung, selama satu jam lebih. Desa yang indah itu, berbentuk teluk. Sebuah batu cadas besar, mencuat dari dasar laut, menjelang masuk ke mulut teluk. Pancung itu sampai terangkat karena pusaran air dan gelombang. Kamera saya sembunyikan dibawah kolong perahu, takut terkena air.
Saya dan Pak Rida berkeliling sebentar. Desa Bakung siang itu agak sepi karena banyak warga sedang melaut. Saking lamanya tak pulang kampung, kalau tidak Pak Rida yang lupa dengan orang kampungnya, orang yang lupa dengannya. Ia dipanggil Pak Mail disana.
Kami bertemu dengan mantan murid Pak Rida. Siang itu, bertiga kami salat di mesjid kecil. Setelah itu, Pak Rida ziarah ke makam ayahnya. Pak Rida menemui sahabat karibnya, seorang warga Tionghoa. Saat ia masih kecil, ia pernah ikut kapal ke Jambi membawa arang, lalu kembali ke Bakung membawa beras. Desa Bakung juga banyak diproduksi kapal-kapal kayu.
Melewati sebuah jembatan kayu, tempat bermain Pak Rida waktu kecil, kami menuju rumah seorang seorang kakek tua tempat ia biasa bermain. Mata Pak Rida berbinar-binar, mengingat masa kecilnya. Ia bercerita, betapa ia sangat gugup ketika seorang camat yang datang ke sekolahnya menyuruhnya tampil ke depan kelas.
Sorenya, kami kembali ke Dabo dan menginap di rumah seorang keponakannya. Di Pulau paling ujung Kepulauan Riau itu, saya menemukan kerusakan lingkungan yang dahsyat. Berlalunya masa kejayaan timah, membuat warga di Pulau itu terhenyak. Dulu, anak-anak warga yang bekerja di PT Timah, naik pesawat dan kuliah gratis. Kini bandaranya ditutup. Sebuah bank juga ditutup. Kalau biasanya, Puskesmas naik status jadi rumah sakit, yang terjadi di Dabo sebaliknya. Rumah sakit yang pernah punya alat pacu jantung itu, turun kelas menjadi Puskesmas. Cukup banyak warga Dabosingkep yang akhirnya pergi ke Tanjungpinang dan Batam.
Malam terakhir di Dabo, kami menginap di sebuah hotel kecil. Pak Rida menyuruh saya memeriksa kamarnya. ''Bagus tak? Inilah hotel terbaik di Dabo,''katanya, tersenyum. Paginya, kami sarapan makan nasi dagang. Nasi yang dibungkus daun dengan lauk ikan teri, sambal dan telor. Nikmat sekali.
Kendati usianya sudah tidak muda lagi, fisik Pak Rida tergolong tangguh. Terbang ke berbagai kota, mengontrol anak-anak perusahaan. Kalau rapat, Pak Rida bisa berbicara berjam-jam, sementara kami yang muda-muda, kadang terkantuk-kantuk kecapekan.
Pak Rida juga orang yang berpikiran maju. Kepada para pimpinan perusahaan saat berkunjung ke Genting Highland dan Thailand, ia mengatakan, menyaksikan negara lain, akan menambah wawasan kita. Selain banyak belajar dari Pak Rida, baik secara langsung maupun diam-diam, saya terkesan dengan sikapnya yang bijaksana. Pak Rida orang yang punya pertimbangan matang, dan kadang mengejutkan.

Kalau bertemu saya, ia selalu membaca buku baru atau sebuah novel. Sikap bijak itu, mungkin lantaran latar belakangnya seorang guru. Ia selalu yakin, orang kalau belajar, lama-lama pasti pintar. Ibarat pedang,kalau diasah akan tajam juga. Saat seorang karyawan yang mengadopsi anak meminta cuti cukup lama, saya bingung. Sebab, ia bukan cuti melahirkan dan kalau saya beri cuti, itu melanggar peraturan.
Pesan Pak Rida membuat saya teguh mengambil keputusan. ''Ia sudah menikah sepuluh tahun dan tidak punya anak. Berarti, ia tidak pernah mengambil cuti yang tiga bulan itu. Berikan saja cuti, demi kemanusiaan,'' katanya kepada saya.
Kalau Pak Rida ke Batam, saya suka menemaninya. Biasanya, diajak makan seafood kesukaannya. Kalau orang lain takut kolesterol, Pak Rida cuek saja. ''Makan sajalah, tak usah dipikirkan,''katanya.
Kadang saya menganggapnya tidak sebagai bos, tetapi sebagai guru dan orang tua. Bagi saya, Pak Rida tempat bertanya, kalau saya ragu dalam mengambil keputusan, termasuk masalah-masalah dalam perusahaan.
Ada yang membuat saya juga heran. Biasanya, kalau ada teman-teman yang diberi kepercayaan menjabat, Pak Rida akan memanggil dan bicara empat mata. Tapi, saya tidak mengerti, saya tidak pernah seperti itu. Memberi kepercayaan begitu besar seperti menjadi pemimpin perusahaan, mendadak dan tanpa pembicaraan sebelumnya. Satu hal yang ingin saya lakukan, saya akan menjaga kepercayaan itu. ***

0 comments:

Post a Comment