Tragedi Kota Tambang yang Terbuang

Posted by Jammes 4/05/2008 0 comments
''Tanah air tinggal airnya,
Kolong berserakan.
Singapura Timbul
Singkep tenggelam....''

KALIMAT di atas bukan puisi. Tetapi jeritan hati warga Pulau Singkep. Dampak ekologi, sosial ekonomi dan perubahan yang terjadi pulau Singkep memang luar biasa. Socrates menuliskan reportasenya setelah menyusuri pulau paling ujung di Selatan Kepulauan Riau itu.

Pulau Singkep dalam pelajaran ilmu bumi anak sekolah dasar dulunya, namanya memang kesohor sebagai daerah penghasil timah. Sebab, di Indonesia hanya ada tiga pulau penghasil timah yaitu Bangka, Belitung dan Singkep.
Tapi, kini pelajaran itu harus diganti. Sebab, Pulau Singkep kini, bukan lagi penghasil timah. Pulau itu kini terlantar dan sudah ditinggalkan, dengan mengalami kerusakan lingkungan yang hebat dan perubahan sosial yang dashyat. Pulau yang berbentuk teko itu, yang dikuras isi perutnya lebih dari 150 tahun, kini menjadi pulau yang paling baik untuk bahan studi tentang ekologi, atau bahan renungan tentang tragedi sebuah kota tambang.
Tidak percaya? Silakan datang ke pulau ini. Akan segera dapat disaksikan bagaimana Singkep seolah tercabik-cabik dan terkoyak-koyak. Ratusan lubang bekas tambang timah menganga. Dan kini masih ditambah dengan lubang-lubang baru, bekas kerukan penambangan pasir untuk ekspor.(boleh dicatat: Kalau tambang timah, timahnya diambil, tapi pasirnya ditinggalkan, sehingga dapat menimbun kembali lubang yang
menganga. Tapi kalau penambangan pasir untuk ekspor, yang tinggal hanya kolong yang menganga seperti mulut singa-- walau pun kemudian ada upaya untuk menimbunnya kembali melalui program reklamasi).
Sementara hutan-hutannya sudah hampir gundul. Bahkan hutan lindung pun digasak oleh belasan kilang papan dan perusahaan penambangan pasir. Kondisi Singkep hari-hari ini, sebagai akibat kealpaan dan ketidakacuhan semua pihak dalam menangani jatuh bangunnya sebuah daerah pertambangan. ''Kami semua terlena. Tak ingat
bahwa timah itu bisa habis dan tanah itu bisa dijual ke luar negeri,'' keluh dan sesal seorang tokoh masyarakat di sana.
Ya, terlena, karena sejarah timah di Singkep,memang bukan sejarah pendek. Sekitar dua abad lalu, masa Sultan Lingga di Kota Daik berkuasa, timah sudah didulang secara tradisional. Perusahaan Belanda Singkep Tin Maatschaappij(SITEM) pada tahun 1934 menggarapnya secara besar-besaran. Tahun 1959, penambangan timah pun diambil alih pemerintah sampai akhirnya pulau itu ditinggalkan di awal tahun 90-an.
Sejarah panjang ini, membuat warga Singkep sudah sehati dengan timah. Biji timah membuat mereka hidup penuh kelimpahmewahan. Kota Dabo menjadi salah satu kota paling maju di Riau, bahkan lebih maju dari Tanjung Pinang, ibukota kabupatennya. Belum lagi kehidupan warga yang dapat menikmati langsung rezeki timah sebagai karyawan. ''Semua orangtua ingin bermenantu karyawan UPTS,'' kenang seorang pemuka Singkep.
Tapi, kini timah pula yang membuat mereka terpuruk dalam penderitaan berkepanjangan. Apalagi setelah era timah berakhir, ternyata perusahaan penambangan pasir ekspor dan kayu, juga membuat hati mereka luka dan berdarah.
''Lihatlah Singkep, seperti negeri dilanggar burung Garuda,'' kata mereka pahit.
Tahun 1985, merupakan tahun dimulainya kepedihan itu. Ketika itu terjadilah apa yang disebut tin crash atau malapetaka timah, yang ditandai dengan ambruknya harga timah di pasaran dunia. Harga timah anjlok dari 16.000 Dolar AS menjadi 8.000 Dolar AS per metrik ton.
Kemerosotan harga itu, membuat usaha penambangan, khususnya di Singkep menjadi lesu. Eksplorasi berkurang, laba menurun, dan mulailah dampak atas karyawan terasa. Pemutusan hubungan kerja dan lainnya. Seiring itu pula, penambangan timah di Singkep yang diusahakan. Semua akitifitas dipindahkannya ke Karimun dan Kundur.
Perubahan drastis langsung menerpa mereka yang mengantungkan hidupnya pada PT Timah. Berangsur-angsur, 2.400 karyawannya diberhentikan dan diberi ''uang tolak'' alias pesangon. Sebagian yang diberhentikan, pindah dari sana. Yang tak di-pehaka, pindah ke lokasi tambang lain di Bangka, Tanjung Batu dan Tanjungbalai, Karimun. Pulau Singkep, dan khususnya Kota Dabo mulai terjerembab.
Warganya mulai hengkang, terutama kalangan usahawan, banyak yang pindah ke Tanjungpinang atau Batam. Anak-anak mudanya berhamburan merantau, mencari pekerjaan. Akibatnya, Dabo Singkep jadi sepi. Wajah pulau seluas 829 km2 pun kusut masai dan porak poranda. Ratusan lubang yang menganga bekas tambang timah yang bertebaran di seantero Pulau Singkep yang dalamnya belasan meter, seperti nyanyian bisu dan pedih. Kolong-kolong yang menyerupai danau itu menjadi sarang empuk nyamuk anopheles,
penyebar malaria. Dan jika melihat Singkep dari udara, seakan pulau ini telah disayat-sayat dan dikoyak-koyak.
Rumah berarsitektur khas Belanda yang dulu ditempati para petinggi UPTS (Unit Penambangan Timah Singkep) yang menjadi ciri khas dan kebanggaan kota itu (karena terletak indah di atas bukit dilindungi pohon pisang kipas dan pohon rindang), kini sebagian sudah dijual dengan harga murah kepada yang mau membeli, dan kebanyakan eks karyawan UPTS dan pejabat setempat.
Sebuah bank dengan kantor lumayan megah, kini sudah tutup. Memang ada bank, tetapi statusnya berganti dengan kantor unit. Kantor-kantor bekas PT Timah kosong melompong. Gudang-gudang bengkel yang terlantar, ditumbuhi semak belukar. Lapangan terbang hanya sesekali disinggahi pesawat udara. Ruko-ruko yang berjejer di jalan
utamanya, boleh dihitung dengan jari yang masih buka dan diusahakan. Pukul lima sore, semuanya sudah tutup.
Sebuah rumah sakit yang cukup besar, yang dulunya punya perlengkapan yang canggih, kini tinggal mimpi. Bangunannya kini ditempati untuk puskesmas, namun peralatan kedokteran, seperti alat deteksi jantung dan perangkat operasi lainnya, tak ada lagi. Akibatnya, kalau ada pasien yang sakit berat terpaksa dikirim ke Tanjungpinang. Banyak yang tak mampu, karena jauh dan mahal biaya perjalanannya. ''Banyak yang mati di perjalanan,'' kata beberapa warga setempat.
Maka, tidak heran, kalau penduduk pelan-pelan menyusut. Pada tahun 1990, penduduk Singkep masih tercatat 39.000 jiwa. Lima tahun kemudian, tinggal 21.000 jiwa saja. Meskipun sekarang ada kecenderungan naik kembali, tetapi statistik tahun 1997 baru sekitar 35.000 jiwa.
Murjani Lelek, mantan pejabat Lingkungan Hidup PT Timah, yang kini menjadi ketua
persatuan mantan karyawan UPTS mengakui bahwa sendi-sendi sosial ekonomi warga terimbas langsung akibat perginya PT Timah dari Singkep. Terjadi kejutan kultural yang cukup keras pada warga. ''Mereka yang dulu berkehidupan serba wah, kini dihadapkan dengan kenyataan hidup yang keras. Karena terbiasa manja, warga kaget dengan perubahan itu,'' ujarnya.
Achmad Saleh (54) pegawai negeri sipil (PNS) di Dabo Singkep mengatakan, di masa jayanya, banyak PNS yang minder. Soalnya selain gaji besar, karyawan PT Timah mendapat segudang fasilitas. ''Kini mereka gigit jari,'' katanya sambil memasukkan telunjuknya di sela-sela giginya.
Sedangkan Erwin (24) putra Singkep mahasiswa Akademi Maritim di Yogyakarta mengatakan, banyak anak muda yang putus sekolah lantaran orang tuanya ''terpelanting'' dari PT Timah. ''Yang tak tahan dengan perubahan, keluarganya
berantakan. Ada yang bermabuk-mabukan, stres dan main judi sie jie,'' tuturnya miris.
Saat malam merambat, Dabo Singkep sunyi senyap. Pukul delapan, jalanan sudah sunyi senyap. Lampu jalan yang dulu gemerlapan dengan neon berwarna kuning, kini malap. Taman seni kebanggaan warga setempat, kini jadi tempat buang air seni. Wisma PT Timah yang lumayan megah, disulap jadi tempat karaoke. ''Kalau malam Minggu, kami turun (ajojing) sampai pagi,'' ungkap seorang cewek berpakaian seksi. Kini, tak sulit memboking cewek, karena banyak yang ingin cepat dapat uang. ''Boleh
pesan pak,'' bisik seorang tukang ojek yang mangkal di dekat Wisma Gapura Singkep, sebuah hotel kecil dengan tarif paling mahal Rp50.000 (konon inilah hotel terbaik di sana saat itu).
Pantai Batu Berdaun, yang dulu jadi pantai wisata, kini terlantar. Restoran makan lautnya sudah roboh dan tenggelam ke dalam danau. Jalan-jalan berlobang dan berdebu. ''Mobil penumpangnya mobil tahun 60-an. Pintunya saja tak bisa ditutup,'' sebut seorang tamu hotel.
Tragis, memang. Tapi inilah tragedi sebuah kota tambang yang kemudian nyaris terbuang.


Daun pun Berubah Jadi Putih Kelabu

Tambang timah tak ada lagi. Dabo Singkep seolah terjaga dari mimpi. Mimpi itu jadi kenyataan buruk setelah tak lama kemudian, pasir pun dikeruk. Pulau Singkep seperti dikelupas dan diobrak -abrik. Kolong-kolong makin menganga. Tanah menjadi danau yang sambung menyambung. Berikut lanjutan laporan Socrates yang meninjau pulau tersebut ini.
Di Dusun Pengambil Desa Kuala Raya, pasirnya diambil dan membuat pengusaha kaya raya. Sedikitnya, ada enam perusahaan pengeruk pasir beroperasi di sini. Truk-truk pengangkut pasir menderu-deru menyisakan abu berwarna kelabu.
Guratan kemiskinan sangat kentara dalam kehidupan warga Pengambil. Rumah semi permanen hanya satu-satu. Selebihnya, didominasi rumah panggung beratap rumbia dan berdinding papan seadanya. Tak tampak warga menikmati kekayaan negerinya berupa timah, kayu dan pasir. Mayoritas warga bekerja sebagai nelayan.
Berkubik-kubik pasir digali setiap hari. Caranya, dengan sistem bor yang disebut warga dengan ''tembak''. Dengan menggunakan mesin press dan alat yang disebut monitor, pasir diisap dan dialirkan ke bak pencucian. ''Katanya kedalamannya hanya 4-6 meter, kadang bisa lebih,'' ungkap seorang warga.
Danau-danau atau kolong makin menganga lebar. Daun pepohonan berubah warna menjadi putih kelabu tersiram debu. ''Kalau ada pejabat yang datang, debu di jalan disirami,'' ujar warga tersebut. Sisa pencurian pasir yang bercampur lumpur, mengalir lewat sungai ke muara. Akibatnya, pantai menjadi kian dangkal. ''Dulu
lumpurnya hanya semata kaki, kini sudah mencapai sepinggang orang dewasa. Jangankan mendapat kepah (kerang), kulitnya saja tak ada lagi,'' kata Rahman, warga desa Pengambil.
Bahkan dampak limbah lumpur itu menghantam jauh ke tengahlaut, dan menerpa laut tempat kelong-kelong (bagan) nelayan yang ada tak jauh di perairan itu, seperti di sekitar Pulau Berlas. Hasil tangkapan nelayan terus menyusut.
Meski beroperasi di dusun mereka, tidak mudah bagi warga setempat bekerja di sana. Sebab, selain tidak banyak butuh tenaga, perusahaan pasir itu lebih memprioritaskan orang sendiri. ''Melamar menjadi supir saja susahnya setengah
mati. Malah, ada yang dipecat dengan alasan proyek selesai. Ternyata mereka pindah ke lokasi lain,'' ujar Julizar, pemuda setempat.
Menurut warga yang bekerja di perusahaan pasir itu, pasir yang dikeruk dan
dijual ke Singapura memang tidak tanggung-tanggung. Sebuah perusahaan tambang
pasir mendapat lahan 50 hektar. Maka, tidak heran kalau lubang bekas galian pasir menganga lebar. Ganti rugi tanah penduduk yang digarap perusahaan penambangan pasir hanya Rp200 per meter. ''Kami disuruh tandatangani surat pernyataan ganti rugi tanah,'' tutur warga Pengambil.
Hitung-hitung, satu buah kapal tongkang yang mengangkut pasir untuk dijual di Singapura, bermuatan 320 sampai 350 truk pasir. dalam satu truk, berisi 7 m3 pasir. dalam sebulan, ada sekitar 14 trip tug boat yang berlayar mengangkuti pasir. ''Manifes pelayaran pengangkutan pasir hanya 12.000 m3. Namun yang diangkut mencapai 20.000 m3,'' ujar warga tersebut.
Warga menduga, meskipun kecil, pasir yang dikeruk masih mengandung timah. tambang terbuka tak bisa ditutup seluruhnya. PT Timah menggunakan pola gali tiga, tutup dua. Kalau tambang pasir, dengan apa mau ditutup lubangnya. ''Dengan kedalaman 10-15 meter timahnya terbawa, Singapura kan nggak bodoh,'' kata Murjani, mantan karyawan timah yang banyak pengalaman menangani lingkungan penambangan timah.
Laut dan muara sungai tercemar oleh limbah pasir. Pantai menjadi dangkal, dampak paling teruk dirasakan oleh nelayan. Padahal, hanya pada musim Selatan nelayan bisa melaut. Di Dusun Pasir putih Desa Marok Tua, bakal berdiri pula perusahaan penambangan pasir. Di sekitar perairan desa paling ujung di Singkep itu, sudah
diberi pembatas dan akan dikeruk untuk memudahkan dilewati tug boat.
Pulau Lalang merupakan ''lumbung ikan'' bagi nelayan. Kini, pulau tersebut terancam akan ditinggalkan ikan, jika limbah tambang pasir akan menyebar ke sana. Tetap saja nelayan yang merasakan akibatnya. Namun mereka tak tahu harus berbuat apa.
Konon, industri pasir dilakukan sebagai industri pemancing di Singkep paska timah. Maksudnya, agar kelak ada investor lain yang mau masuk ke sana. Misalnya, kelak bekas kolong yang menganga itu dapat dijadikan tempat memancing dan disekitarnya akan dibangun hotel. Namun sampai saat ini, baru sebatas rencana. ''Yang terjadi, umpan habis ikan pun tak dapat,'' kata Mustafa, seorang pengusaha di sana.
Tak hanya pasir, kayu-kayu pun dirambah. Belasan kilang papan beroperasi di Pulau
Singkep. Tersebar di berbagai desa. Dua di antara kilang papan itu bermarkas di hulu sungai Marok Tua. Diduga, kayu-kayu di hutan lindung Gunung Lanjut dan Gunung Muncung, ikut dibabat. ''Padahal, di situ ada sumber air minum yang bernama Air Gemuruh,'' papar Murjani, prihatin. Jadi, tidak aneh kalau warga mulai kesulitan air
bersih.
Masyarakat di sekitar lokasi penambangan pasir bukan tidak berusaha memaksa perusahaan untuk memperhatikan pencemaran. Bahkan di Desa Pengambil dan Raya, mereka pernah berunjuk rasa. Ratusan orang datang mendesak perusahaan agar menghentikan penambangan yang merusak sumber usaha mereka. Pihak perusahaan menanggapi, dengan antara lain memberi uang kompensasi. Tiap warga yang ada di sekitar lokasi mendapat dana sekitar Rp250.000 sebagai uang prihatin. Tetapi, uang secuil itu kemudian habis. Singkep kini, memang bak kata pepatah. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula.

Sikap Apatis dan Mendua

Meratapi dampak kerusakan lingkungan dan perubahan sosial yang terjadi di Pulau Singkep, boleh dikata tak ada gunanya. yang diperlukan saat ini adalah solusi untuk memberdayakan masyarakatnya. Perlu kesungguhan untuk menyuguhkan sesuatu
pada warga yang sudah terpuruk dan apatis itu, untuk mengangkat derajat kehidupan mereka, menggairahkan kembali semangat dan harapan mereka. ''Agar kami ini merasa seperti daerah yang terlantar dan ditinggalkan,'' kata mereka.
Memang berat. Sebab, sekalipun penduduknya masih di bawah 50 ribu jiwa, namun Singkep mempunyai wilayah yang cukup luas. Di kecamatan ini, sekarang terdapat satu kelurahan dan sembilan desa. Kelurahan Dabo, Desa Kuala Raya, Bakong, Sungai Buluh, Posek, Marok Kecil, Kota Marok Tua, lanjut dan Desa Berindat. Dengan Desa Kuala Raya sebagai kecamatan persiapan dan di sini terdapat kantor Perwakilan Kecamatan
Singkep.
Sekarang ini, selain Dabo Singkep yang relatif maju, kemiskinan, kertepencilan, begitu akrab di desa-desa lainnya. Tampaknya, tidak terlalu banyak desa yang secara langsung kecipratan rezekitimah selama masa eksploitasi lebih dari 150 tahun itu, kecuali desa Kuala raya, Lanjut , Berindat. Apalagi, dari rezeki penambangan pasir dan kayu, serta hasil alamnya.
Tampaknya, setelah PT Timah angkat kaki, Singkep memang benar-benar terpuruk, dan berkembang secara apa adanya. Tanpa pola pembangunan yang jelas, tanpa landasan pembangunan yang jelas tanpa landasan ekonomi yang kukuh. Istilah warga dan pemuka di sana, Singkep menjadi daerah yang meraba-raba. Perikanan potensial, tetapi laut
sekitarnya sudah punah ranah, Baik oleh akibat polusi penambangan pasir maupun akibat penghancuran batu karang oleh ratusan masyarakat.
Hutan dan industri ikutannya juga demikian. Singkep sudah menjadi belukar dan sumber kayunya sudah ditebang dengan serampangan sehingga menjadi sumber kerusakan air dan pendangkalan sungai-sungainya. Tanaman keras, seperti karet dan kelapa, sejak lama ditinggalkan, karena hempasan harga. Sedangkan jenis tanaman lain seperti kelapa sawit, coklat, atau merica. ''Baru kabar anginnya saja, realisasinya entah
kapan,'' keluh warga.
Ungkapan apatis ini, bisa dimaklumi. Sebab setelah dulu merasa dimanja oleh rahmat timah, dan dapat menikmati kehidupan modern jauh lebih cepat dari daerah lain di Riau, seperti melimpah ruahnya listrik, air bersih, bahan makanan, fasilitas kesehatan dan penidikan, serta kemajuan olahraga (siapa di Riau yang tak gentar
dengan tim tenis Singkep atau sepak bolanya, atau tim bola volinya) tiba-tiba kini menjadi daerah yang nyaris terbelakang, maka luapan rasa tak puas itu mengepul begitu deras.
Lihat, bagaimana respon mereka terhadap peran serta para pengusaha penambangan pasir atau hutan. Di desa Pengambil misalnya, nada marah dan geram nyaris muncul dari tiap mulut warganya. ''Tak usahkan seperti PT Timah mau membangun sekolah atau rumah sakit. Membantu membangun masjid saja mereka tak mau. Tak usahkan masjid, minyak untuk bahan bakar lampu colok di malam-malam Ramadan saja, mereka tak
mau membantu!'' hujat beberapa warga Desa Pengambil. Para pengusaha itu baru
terbirit-birit berbuat baik kalau ada kunjungan pejabat tingkat I atau anggota DPRD, atau pejabat lain. Setelah itu, kanal-kanal limbah mereka buka kembali, dan sungai Gelema (salah satu anak sungai di sana) pun butek bagai susu dan membunuh semua biota laut yang ada di dalamnya.
Itu baru soal lingkungan, soal sosial. Belum lagi kesempatan kerja untuk masyarakat setempat. ''Bayangkan saja Pak,'' cerita mereka, ''Supir truk saja mereka datangkan dari Bangka dan Belitung,''keluh warga Pengambil itu lagi. Menurut mereka, perusahaan penambangan pasir di sana, namanya saja milik pengusaha Indonesia yang berkedudukan di Tanjungpinang atau Pekanbaru. ''Tapi semua diatur oleh pemilik
modalnya orang Singapura, melalui kaki tangannya yang ada di lokasi,'' lanjut mereka.
Untunglah, setahun terakhir ini ada gairah baru di sana. terutama untuk mobilitas usaha masyarakat. Ini tidak lain berkat adanya upaya membuka isolasi antar desa di sana dengan membangun jaringan jalan aspal yang baru (harap dicatat: jalan aspal buat warga Singkep sudah dikenal 100 tahun lalu di zaman rahmat Timah. Cuma setelah timah pergi, jalannya jadi compang camping dan bagai kubangan kerbau).
Seperti dari Jagoh, pelabuhan kapal feri, ke Sungai Buluh, Pengambil, Kuala Raya, terus ke Dabo. Atau jalan lama dari Jagoh ke kota, Lanjut dan terus ke Dabo, sehingga urat nadi ekonomi mulai berdenyut. Para pedagang ikan dan barang-barang kebutuhan sehari-hari mulai mudah ke mana-mana, dan harga tidak lagi terlalu
mencekik leher masyarakat. ''Sekarang ini, di tengah krisis ekonomi, kami bisa hidup dari hasil penjualan ikan dan bahan pangan tidak terlalu tinggi,''kata beberapa warga desa Kuala Raya.
Tetapi, kehidupan masayrakat secara umum, benar-benar masih banyak yang terpuruk.
Tampaknya kebijakan Pemda yang membiarkan usaha merobek-robek punggung Singkep untuk penambangan pasir dan merambah hutan untuk industri kayu,bukan merupakan solusi yang tepat. Bahkan cenderung makin menghancurkan hari depan pulau itu. Lalu, bagaimana?
Jauh hari sebelum PT Timah angkat kaki, semasa Ir AE Batubara menjabat sebagai Kepala Unit Penambangan Timah Singkep, pernah ada gagasan untuk mengembangkan Singkep sebagai sentra perkebunan. AE Batubara seakan menyampaikan pesan penuh isyarat, kemungkinan cadangan timah habis atau stop sama sekali lantaran harganya anjlok, dan menawarkan alternatif perkebunan sebagai jalan keluar. ''Kalau timah habis, ada sawit atau tanaman keras lainnya sebagai alternatif.''
Seperti yang diceritakan Murjani Lelek, seorang mantan karyawan UPTS mengutip Batubara, kemudian merancang satu paket proyek perkebunan sawit yang dianggarkan akan menelan biaya sekitar Rp15 miliar yang dananya dari PT Timah sendiri. Pulau Singkep dinilai selain cocok untuk kebun kelapa sawit, juga untuk coklat, cengkih, dan merica (lada hitam), di samping tanaman keras tradisional yang sudah dikenal di
sana yaitu karet dan kelapa. Namun proyek senilai Rp15 miliar itu gagal menyusul
ditariknya Batubara. ''Penanaman kelapa sawit sudah dimulai di Marinip dan Suar Bandung, tapi gagal lantaran kesulitan pupuk,'' kenang Murjani.
Batubara juga mencoba gagasan lain, yaitu upaya pemulihan lahan bekas penambangan dengan melakukan reklamasi. Reklamasi lahan, ujar Murjani, pernah dilakukan melalui kebun percobaan bekerjasama dengan Litbang Departemen pertanian Bogor. hasil survei menunjukkan, tanah di Pulau Singkep yang berjenis Alluvial, Regasal, Hydromorp kelabu dan Podsolik merah kuning dapat dipulihkan melalui program tanaman perkebunan.
Memang, kebun percobaan itu tidak terlalu berhasil, karena memang tidak ada yang
mengurusnya. Tetapi, program pemulihan lingkungan oleh masyarakat sendiri, dengan
mengambil konsep kebun percobaan, dengan membuat pemukiman baru dan menanaminya ternyata berhasil. Seperti di Bukit Kabung, Sergang, Tanah Putih, Pasir Kuning dan lainnya. Upaya Batubara, kabarnya juga dilakukan untuk pemanfaatan bekas kolong-kolong untuk budi daya ikan, seperti sepat, nila, dan lainnya dengan kerjasama Universitas Riau (Unri), meskipun hasilnya hampir sama. Secara teknis berhasil,
tetapi kemudian tidak terurus dan tidak pernah dikembangkan lagi.
Itulah sebabnya, ketika PT Timah angkat kaki dan kemudian menghibahkan dana sekitar Rp1 miliar untuk memperbaiki kehidupan pulau itu yang oleh warga Dabo Singkep disebut ''dana pampasan'' banyak pihak yang menyarankan agar dana itu dikonsentrasikan ke pembangunan sektor perkebunan dalam skala kecil, tetapi melibatkan banyak masyarakat. ''Paling tidak Rp1 miliar itu bisa jadi modal selebihnya diusahakan dana dari perbankan,'' kata mereka yang disuarakan melalui beberapa tokoh LSM (lembaga swadaya masyarakat) Singkep.
Tapi, tampaknya para pejabat daerah di Tanjungpinang dan Pekanbaru lebih suka berpikir pendek dan menggunakan dana itu untuk membangun berbagai prasarana, seperti pelabuhan atau lainnya. Bahkan konon dibeli juga untuk tempat-tempat sampah. Memang ada dampak positifnya, seperti pelabuhan Jagoh yang kini menjadi pelabuhan andalan karena pelabuhan Dabo dalam pembangunan baru. Tetapi tak mampu memberi arah kepada kehidupan pulau itu di masa depan.
Belakangan, kabarnya muncul kembali upaya untuk menjadikan Singkep sebagai daerah
perkebunan, khususnya sawit dan coklat. ''Kabarnya grup Surya Dumai sudah berminat dan survey,'' cerita seorang kepala desa gembira. Kalau benar, katanya lagi, dan kelak dengan pola PIR misalnya ini akan memberi harapan. ''Paling tidak, mau jadi apa Singkep ini, lebih jelas,'' tukasnya.
Namun bersamaan dengan itu, berhembus kabar bahwa Surya Dumai dan juga beberapa pengusaha lain yang ingin menanam modal di sana (termasuk kabarnya membangun pabrik kertas dengan bahan baku kayu sengon), kesulitan mmeperoleh lahan usaha karena tak ada lagi lahan yang bisa diperoleh dengan mudah untuk perkebunan dan usaha industri lainnya. ''Sudah habis dibagi-bagi dan dikapling-kapling,'' papar warga. Oleh siapa?. ''Tanyalah sendiri ke Tanjungpinang atau Pekanbaru, pak!,'' sergah seorang pemuka masyarakat Dabo dengan nada marah.
Sayang memang, padahal ini merupakan solusi yang jauh lebih baik ketimbang terus diberi izin penambangan pasir yang akan menghancurkan pulau itu dan kehidupan perikanan di sana. Solusi lainnya adalah bekas kompleks perkantoran dan pergudangan PT Timah di sana untuk industri, seperti moulding atau garmen. Dan inilah dulu yang kabarnya menjadi salah satu pilihan jika program pembangunan pulau ini disejalankan
dengan pembangunan Batam dan Bintan, untuk menyambung gagasan Barelang (Batam, Rempang dan Galang) sebagai salah satu relokasi industri Singapura yang harus out dari sana.
Memang, mengubah orientasi warga dari pertambangan dan nelayan, tidaklah mudah. Sebab, kalau dari tambang timah, pasir dan kilang kayu serta melaut, warga tinggal memetik hasilnya. Sedangkan di sektor pertanian, perlu proses waktu samapi panen. Bagi warga yang dalam kondisi sulit dan apatis itu, memang harus ada usaha perantara. Pilihannya tak lain adalah budidaya perikanan laut dan air tawar, serta
tanaman pangan, seperti padi yang untuk pulau ini juga sudah pernah dilakukan penduduk. ''Tapi siapa yang mau peduli,'' ungkap seorang pemuka masyarakat di sana.
Itu sebabnya, sangat kentara sikap warga yang terus apatis dan mendua. Di satu sisi, mereka rela lahan yang ada digarap sedemikian rupa. Baik untuk pengerukan pasir maupun kayu-kayu yang dirambah. Namun, kalau berurusan dengan uang ganti rugi mereka oke-oke saja. ''Karakter masyarakat Singkep mudah dibaca. Kalau mereka sudah mendapatkan apa yang diinginkan mereka akan diam. Dan ini dimanfaatkan oleh pengusaha,'' kata Murjani pula.
Hal ini diakui oleh sebagian warga. ''Kalau dikasih duit untuk ganti rugi pembebasan lahan, tentu warga akan menerima,'' sebut mereka. Sebab, belitan kemiskinan membuat warga mau saja tanahnya diuruk dan dikeruk. Tapi kalau uang ganti rugi sudah habis, kemudian melihat sumber perikanan mereka punah dan pulau terkoyak-koyak, maka mereka pun kembali teriak.
Artinya, melihat Singkep yang terkoyak-koyak dan tanahnya bolong-bolong warga tak rela. Walau akhirnya mereka pasrah karena mereka tidak tahu harus berbuat apa. ''Kalau saya masih muda, mau rasanya angkat kaki dari sini lantaran tidak tahan melihat eksploitasi yang terjadi,'' tutur seorang di antara warga. Tapi siapa yang peduli dengan keluhan mereka, kalau ternyata menjual pasir lebih banyak menghasilkan untung dan devisa?
Kasarnya, biarlah Singkep buntung asal pengusaha untung. Atau dalam nyanyian pedih warga di sana : Singkep tenggelam, Singapura timbul. (socrates)


0 comments:

Post a Comment