Jika Saya Wali Kota Batam

Posted by Jammes 4/17/2008 0 comments
TIBA-TIBA orang -orang mengelu-elukan saya sebagai walikota Batam. Saya berhasil mengumpulkan suara terbanyak setelah terjadi voting yang menegangkan. Sekaligus mengalahkan lawan-lawan politik saya selama ini. Ucapan selamat berdatangan. Ada karangan bunga, ada pula iklan satu halaman. Astaga? Saya kini jadi walikota..!


Rasanya, saya boleh bangga. Sebab, sayalah walikota pertama yang dipilih berdasarkan aspirasi masyarakat Batam. Dua walikota sebelumnya, hanya seorang pejabat karir yang ditunjuk atasan. Yang satu dinilai suka melawan instansi lain, sedangkan yang satu koordinasi hanya di tingkat elit birokrasi.
Perjalanan saya menjadi walikota memang tidak gampang. Betapa berat perjuangan saya sebelum ini. Modal saya hanya kejujuran, antusiasme, semangat kemasyarakatan, akal sehat serta kemampuan memimpin. Tetapi, itu saja tidak cukup.
Saya tahu betul, rival-rival saya sesama kandidat walikota, selain terkenal, juga punya uang. Mereka sering bicara di koran sehingga warga pulau ini tahu siapa calon mereka. Kadang ada fotonya. Begitu namanya disebut, orang segera tahu siapa dia.
Apalagi, kabarnya mereka punya tim sukses. Tugasnya hanya satu. Bagaimana mengegolkan calonnya menjadi walikota. Mereka inilah yang kasak-kusuk melobi ke sana kemari agar orang-orang, baik secara pribadi maupun kelompok memberikan dukungannya terhadap bakal calon walikota.
Sedangkan saya? Ah, pusing kepala saya memikirkannya. Konon, di luar negeri orang punya kekayaan dulu, baru menjadi pejabat. Tapi di negeri saya, terbalik. Jadi pejabat dulu, baru mengumpulkan kekayaan. Saya tidaklah kaya dan juga bukan pejabat. Makanya, saya jadi bingung begitu ada yang mencalonkan saya.
Tapi, sudahlah. Kini saya seorang walikota. Saya mulai bekerja semampu saya. Tugas pertama saya memimpin rapat di kantor walikota. Saya panggil asisten, kepala-kepala dinas serta kabag-kabag. Saya tanyakan, apa masalah yang dihadapi. Dengan mendengarkan anak buah saya, sekaligus saya belajar menutupi kebodohan saya sebagai orang baru.
Ternyata, jadi walikota tidak semudah yang saya duga. Masalah utama adalah, selama ini tidak ada komitmen jangka panjang dan investasi kepada masyarakat kota ini. Orientasi pembangunan hanya ke soal fisik dan bisnis belaka. Namun masalah sosial kemasyarakatan terlupakan dan jadi tumpang tindih.
Penduduknya bertambah tak terkendali. Harapan orang terhadap pulau ini bertambah tinggi. Padahal, kemampuannya menerima pendatang makin melemah. Akibatnya, banyak yang nganggur. Kriminalitas tinggi dan membuat warga kota kehilangan rasa aman. Sebagian besar warga saya tinggal di ruli.
Kesenjangan sosial makin menjadi-jadi. Ini bisa dilihat dari disparitas penda-patan yang menganga lebar. Seperti syair lagu dangdut, yang kaya makin kaya, yang miskin tambah melarat. Bisnis dikendalikan orang-orang tertentu, yang bisa berkolusi dengan pejabat dan memberi upeti serta tidak mengungkit-ungkit kekuasaan mereka.
Saya kini jadi tahu, partisipasi warga kota sangat rendah. Siapa lu, siapa gue. Budaya yang berkembang adalah ketidakpastian dari kaum urban. Hukum tak jelas kemana berpihak. Siapa yang kuat, itu yang menang. Primordialisme menjadi-jadi.
Kesempatan buat warga tidak sama. Ketidakadilan ada dimana-mana. Akibatnya, warga kota saya gampang marah. Mereka frustrasi karena setelah jauh-jauh merantau ke sini, belum juga berhasil. Mau kembali ke daerah asal, malu sama orang sekampung. Saya pening memikirkan semua ini. Seperti lingkaran yang tak berujung.
Sebagai walikota, saya harus bekerja keras mengurus masyarakat saya. Saya merasa antusias, kota ini akan maju seperti Singapura. Saya punya keberanian dan bekerja sesuai prioritas tanpa kompromi dengan mengembangkan keya-kinan dan membuat komitmen. Badan saya memang tidak tinggi besar, tapi se-mangat saya menyala-nyala
Saya menginginkan warga Batam punya antusiasme, akal sehat, kerja keras, semangat kemasyarakatan serta komitmen untuk maju dalam zaman yang penuh persaingan ini. Dengan begitu, saya yakin bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat secara dramatis.
Masalah-masalah di kota pulau ini, tanpa saya sadari membuat saya menjadi lebih sabar. Sabar menghasilkan kegigihan, kegigihan menghasilkan watak, watak menghasilkan harapan dan harapan menghasilkan kekuatan.
Sebagai walikota, saya sering datang ke pasar-pasar, pusat keramaian dan juga ke pemukiman liar. Saya berdialog dengan mereka. Mencoba memahami warga saya dari kaca mata mereka. Ternyata, selain miskin, warga saya yang tinggal di rumah beratap getah dan dinding seadanya itu, merasa betah-betah saja.
Mereka datang ke pulau ini menyeberangi lautan dengan harapan merubah nasib dan masa depan. Dan, mereka hanya berniat tinggal sementara. Namun, sadar atau tidak, mereka sudah bertahun-tahun berlidung dari panas dan terik matahari di ruli. Dan sudah beranak pinak pula.
Di pasar-pasar, warga saya berdagang kaki lima. Sebab, mereka tak sanggup menyewa ruko pakai dolar Singapura. Jangankan punya dolar, mengumpulkan rupiah demi rupiah saja, mereka sudah bekerja mati-matian. Apalagi, tak ada tempat bagi mereka di los pasar yang sempit. Pasar Rakyat yang dijanjikan, entah kapan selesainya.
Saya temui buruh-buruh yang bekerja di pabrik-pabrik. Saya bercakap-cakap dengan supir taksi gelap dan yang terang. Saya bertemu dengan pemulung, penjaga malam, kuli bangunan, sampai pengangguran dan wanita yang menjajakan cinta sesaat. Pokoknya, saya ingin menyerap secara langsung aspirasi masyarakat saya.
Saya tidak mau dan tidak betah duduk berlama-lama di kantor yang ber-AC, menerima tamu dari pagi sampai petang, atau keliling-keliling kota dengan alasan urusan dinas. Yang saya lakukan, mengurus masyarakat kota saya dan menjadi kepala pelayan bagi mereka. Toh, karena merekalah saya bisa duduk di kursi empuk ini sebagai wali kota.
Sebagai orang nomor satu di Batam, saya sedang menunggu dengan penuh harap pelaksanaan otonomi daerah. Apalagi, sudah terlalu lama daerah dihisap pusat seperti lintah. Pendapatan Asli Daerah saya ini, dulu harus disetor ke pusat. Setelah itu, kami tidak tahu kemana uang itu. Entah masuk kas negara yang makin bangkrut, atau masuk ke kantong bapak-bapak semalam.
Kini, sayalah yang menentukan penggunaan lahan. Sebab, tidak ada artinya saya jadi walikota, tapi semua diatur oleh Otorita Batam. Kalau masih seperti dulu juga, itu berarti saya hanya sebagai walikota boneka. Saya tidak mau, ah...
Sebagai walikota di zaman otonomi ini, saya akan mewujudkan persamaan hak politik (political equalitiy) untuk berpartisipasi bagi warga saya. Sebab, saya menyadari, masyarakat Batam sangat heterogen, yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial dan masing-masing akan memperjuangkan kepentingannya.
Saya juga akan membuka kran kebebasan berpolitik (political liberty) bagi warga Batam. Pemda bisa mengambil kebijakan tanpa campur tangan pusat, tidak seperti selama ini. Setiap kebijakan saya, sesuai dengan tuntutan masyarakat. Dan yang lebih penting, saya mengembangkan apa yang disebut local responsiveness dimana Pemda akan lebih responsif terhadap komunitas masyarakat Batam.
Saya sadar benar, saya mesti bersedia berbeda pendapat dan dikritik masyarakat serta mengorbankan kepetingan saya dan kelompok saya demi orang banyak. Klise memang. Tapi, walikota sebagai bos di Pemda, prilaku walikotanya akan mempengaruhi pemerintahnya. Itulah sebabnya, yang pertama kali saya benahi adalah jajaran birokasi sebagai pelayan masyarakat.
Pelan tapi pasti, saya berhasil membangun ekonomi rakyat Batam. Memang tidak sehebat Singapura, tapi lumayanlah. Sebab, selama ini sudah dimotori oleh Otorita Batam. Kerja keras saya mulai menampakkan hasil dengan tumbuhnya rasa memiliki warga kota terhadap pulau ini.
Konflik-konflik sosial, bisa ditangani berkat kerjasama yang harmonis antara komponen masyarakat. Sebab, saya menyadari betul, konflik dan integrasi ibarat dua sisi mata uang, tergantung kita memeneejnya. Saya juga mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan Otorita Batam yang kini mengurusi investasi yang mengalir ke pulau ini. Tapi, soal masyarakat, itu urusan saya.
Sebagai pemimpin yang didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting, saya merasa dicintai masyarakat saya. Mereka menyampaikan dukungannya agar saya kembali mencalonkan diri untuk periode kedua sebagai walikota. Tapi saya menolak. Sudah cukuplah rasanya. Yang penting, saya sudah meletakkan tatanan hidup bermasyarakat dalam pulau ini.
Tiba-tiba saya terbangun. Hari sudah hampir pagi. Mata saya mengerjap-ngerjap, lalu saya gosok dengan punggung tangan. Tak ada siapa-siapa, selain istri saya di tempat tidur kami. Astaga? Ternyata saya bermimpi menjadi walikota.
Lama saya merenung. Ternyata saya hanya bermimpi panjang. Tapi saya tak habis pikir, kenapa mimpi seperti itu yang datang. Lalu saya teringat, sorenya saya membaca berita tentang penjaringan aspirasi masyarakat tentang walikota. Sampai-sampai terbawa dalam mimpi.
Saya teringat satu hal. Memang baik menjadi orang penting, tetapi lebih penting menjadi orang baik. Saya memang bukan walikota, saya hanya seorang wartawan. ***

0 comments:

Post a Comment