Wartawan dan Amplop

Posted by Jammes 4/07/2008 1 comments

ENTAH sejak kapan, ada istilah wartawan amplop. Padahal, yang satu sebuah profesi, dan satunya kertas pembungkus surat dan kadang-kadang pembungkus uang. Wartawan dan amplop mengindikasikan betapa praktek suap sudah membudaya di negeri ini.
Dulu, saat kuliah saya tidak pernah menerima amplop--maksudnya amplop berisi uang-- malah saya memberi amplop. Saat saya mengurus surat veteran bapak saya agar bisa bebas biaya kuliah, saya lihat orang-orang memberi amplop, setelah suratnya ditandatangani dan distempel.

Saya tidak tahu, berapa saya harus memberi uang bapak petugas administrasi itu. Saya masukkan uang lembaran kertas Rp100 yang berwarna merah itu, lalu saya masukkan ke dalam amplop.Saya agak ragu memberikannya. Sebab, isinya hanya Rp1.000.
Lalu, amplop itu saya lem rapat-rapat. Saya yakin, bapak itu tidak akan membuka amplop di depan saya. Ternyata benar. Urusan saya jadi lancar, saat saya menyodorkan amplop yang kelihatan agak tebal itu kepadanya. Saya tertawa dalam hati, dan menebak apa yang terjadi ketika ia membuka amplop tersebut. Mungkin bapak tua itu menyumpah-nyumpah.
Saya baru menerima amplop setelah jadi wartawan yang diberikan seorang humas. Saya menolak menerimanya. Tapi, ia terus memaksa. Dengan ragu, saya terima amplop itu, lalu saya simpan di bawah tumpukan pakaian di lemari plastik di kamar saya.
Beberapa bulan kemudian, humas itu lagi-lagi memberi saya amplop. Padahal, amplop pertama belum saya buka. Tapi, saya sudah menduga, isinya sejumlah uang. ''Hanya sekedar uang transpor,'' katanya, saat saya menolak. Saat kedua amplop itu saya buka, isinya masing-masing Rp50 ribu. Bagi saya, saat itu nilainya besar, karena honor (gaji?) saya hanya Rp150 ribu.
Dari situ, saya jadi tahu, wartawan menerima amplop. Tak lama kemudian, saya pindah tugas ke Bukittinggi. Saya tidak pernah menerima amplop. Malah, pernah kami diajak meliput ke kota lain dari pagi sampai sore, tidak ada amplop yang dibagikan. Hanya ucapan terima kasih dari humasnya. Saya tidak tahu wartawan lain. Entah karena wartawan baru, atau karena medianya tak begitu berpengaruh, hanya sekali saya menerima amplop. Saat itu, ada konferensi pers bersama Kapolres.
Teman saya, saat membuka amplop tersebut, spontan berkata,''Ha? sudah tiga bulan aku disini, hanya dapat Rp10 ribu,'' katanya. Memang, isi amplop itu masing-masing Rp10 ribu.
Setelah itu, tak pernah lagi saya menerima amplop.
Saat pindah tugas ke Batam, ternyata amplop sudah menjadi sesuatu yang biasa. Baru tiga bulan bertugas, seorang pengusaha bercerita, bahwa ia sudah tak percaya lagi dengan wartawan. Pasalnya, ia pernah dikerjai wartawan lantaran berita yang tidak berimbang. Saya hanya bisa bilang, tidak semua wartawan seperti yang dikiranya.
Ia menyodorkan keputusan pengadilan, soal perseteruannya dengan seorang pengusaha. Sebuah amplop warna coklat yang cukup tebal, juga diberikan kepada saya. Saya menolak amplop itu dan berkata,'' Anda bilang tidak percaya sama wartawan, tapi Anda beri amplop,''kata saya menolak.
Putusan itu saya pelajari. Lalu, karena saya tidak tahu telepon pengusaha lawannya, saya cari alamatnya di buku telepon. Saya disuruh datang. Begitu saya sampai di kantornya, ia meminta tunggu sebentar. Saat ia kembali, pengusaha itu meletakkan segepok uang di atas meja. ''Ini, ambil dan jangan beritakan,''katanya.
Terus terang, saya tergoda. Tapi saya melihat, pengusaha ini terbiasa memberi uang kepada wartawan. ''Terima kasih atas perhatian Anda, tapi saya kesini untuk wawancara,''kata saya.
Mukanya merah padam. ''Jadi, mau diberitakan juga?,''katanya. Ia lalu menyampaikan bantahan soal putusan pengadilan itu.
Lagi-lagi, saat saya pamit, ia memberikan segepok uang itu. Saya bersikukuh menolak. Perseteruan dua pengusaha itu, tetap saya beritakan. Saya merasa, karena saya menulisnya berimbang, mereka tidak menyalahkan saya. Malah, kedua pengusaha itu sampai saat ini menjadi teman saya.
Godaan menjadi wartawan di Batam memang hebat. Apalagi, biaya hidup di kota pulau ini sangat mahal. Tapi, itu bukan alasan wartawan menerima amplop. Ada yang menerima, tentu karena ada yang memberi. Malah, bagi sebagian wartawan, ada istilah ''kapal pecah, hiu kenyang.'' Maksudnya, kalau ada berita miring tentang seorang pengusaha, setelah diberitakan media, mereka beramai-ramai mendatangi pengusaha atau narasumber tersebut.
Tujuannya, meminta uang. Ada yang berpura-pura wawancara mau melanjutkan dan memblow-up kasusnya, ada pula yang menawarkan diri menjadi penghubung atau makelar dengan wartawan dan media yang menulis kasus itu. ''Bapak tenang saja, nanti wartawan itu saya yang ngatur,''katanya. Kapal pecah artinya berita yang meledak dan wartawan bodrek atau bodong itulah hiunya.
Pengalaman saya, saya mendapatkan sesuatu yang lebih tinggi nilainya daripada isi amplop. Misalnya, setelah saya menolak amplop, orang tersebut jadi makin dekat dan jadi sahabat. Ada pula yang selalu rajin memberi informasi, setelah ia tahu, saya bukan wartawan yang mau menggadaikan profesi saya.
Cukup lama saya menjadi wartawan kriminal. Bagi sebagian wartawan, pos kriminal dianggap ''kering'' dari amplop. Apalagi, saban hari memberitakan soal kejahatan. Mana ada penjahat memberi wartawan uang? Berita pejabat pun yang berkasus. Apalagi, bagi wartawan kriminal, kasus adalah berita.
Pernah saya katakan, zaman sekarang orang makin tak tulus dan berpamrih. Kita memberi uang pengemis seratus perak, berharap masuk surga. Apalagi kalau ada yang memberi uang, tentu ia akan berharap sesuatu pula. Kalau pada wartawan, ya agar jangan diberitakan boroknya.
Jika kita kategorikan, setidaknya ada tiga jenis wartawan yang berkaitan dengan amplop. Pertama, wartawan yang mencari amplop. Artinya, ia sengaja mencari korban, pengusaha hitam, pejabat korup dan siapa saja yang bisa digarap sehingga ia memperoleh uang dalam amplop. Biasanya, wartawan bodrek, wartawan tanpa suratkabar (WTS) wartawan bodong, masuk kategori ini.
Kedua, wartawan setengah amplop.Kalau diberi amplop diterima, kalau tidak pun tidak masalah. Kadang-kadang, amplop tersebut tidak berkaitan langsung dengan berita, tapi diberikan pada saat tertentu seperti, menjelang lebaran, atau angpau saat tahun baru.
Ketiga, wartawan yang pernah menerima amplop, lalu bertobat tidak mau lagi menerima amplop. Artinya, pada saat ia menjadi reporter yang harus keluar banyak biaya dengan mobilitas yang tinggi, gaji kecil dan terpaksa ngutang kiri kanan, setelah karirnya meningkat, ia tobat tak mau lagi menerima amplop.
Dan yang keempat, yang tidak menerima amplop. Kode Etik Jurnalistik pasal 6 berbunyi: Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Artinya, segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum. Dan suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau
fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.
Bagi wartawan yang menerima amplop, pembenaran yang dilakukan dengan alasan gaji kecil. Sementara, yang memberi amplop merupakan budaya korup dan mencoba menutupi aib dengan membungkam pers dengan cara ''berbuat baik'' kepada wartawan. Wartawan dan perusahaan media harus diyakinkan bahwa menerima amplop adalah meracuni pikiran. Sebab, dampak amplop itu sendiri, selain sang wartawan ketagihan amplop dan menganggap sebagai sesuatu yang wajar. Independensinya akan melorot dan kualitas media akan menurun karena berita berisi pesan sponsor, corong penguasa dan pengusaha, menurunnya kebenaran universal dan pada akhirnya membohongi pembacanya dengan berita sampah.
Terakhir saya menerima amplop pada saat menjelang Tahun Baru Imlek lalu. Amplop warna putih yang diberikan dua orang wartawan kepada saya, saya buka. Isinya bukan uang. Tapi beberapa amplop kecil berwarna merah yang biasa dijadikan pembungkus angpao. Saya tertegun. Teman pengusaha yang memberi amplop kosong itu seperti meminta saya, agar saya memberi angpau.
Saya ambil kertas, lalu saya masukkan ke amplop merah itu, lalu saya berikan lagi kepada seorang wartawan. Di kertas itu tertulis: Anda belum beruntung! ***

1 comments:

Bangsari said...

anda belum beruntung!

hahaha. macam undian berhadiah saja.

moga makin berkibar bung!

Post a Comment