Wartawan Bodong

Posted by Jammes 4/10/2008 0 comments
CUKUP banyak cap negatif seorang wartawan. Mulai dari wartawan bodrek (bisa bikin sakit kepala?) wartawan tanpa surat kabar (WTS) wartawan gadungan, wartawan bodong, wartawan CNN (cuma nengok-nengok) wartawan tempo (tempo-tempo terbit, tempo-tempo tidak) dan wartawan amplop.

Ada lagi? Kini berkembang pula julukan wartawan copy paste dan wartawan kloning. Atau fotografer bingkai dot.com, yakni setelah jepret sana sini, lalu menjual foto tersebut kepada pengusaha atau pejabat yang terekam dalam foto tersebut.
Kalau di jakarta ada wartawan infotainment, di Batam ada wartawan antar pulau. Maksudnya, ngaku-ngaku wartawan, bikin ulah di Batam, lalu menyeberang ke Tanjungpinang atau Tanjungbalai Karimun. Mereka keliling pulau-pulau di Kepulauan Riau.
Sejak reformasi, koran, majalah dan tabloid serta televisi, tumbuh bak jamur di musim hujan. Akibatnya bisa ditebak. Jumlah wartawan bodong makin banyak. Muncul lebih 2.000 penerbitan. Lalu, satu persatu mati. Tahun 2007, tinggal 826 media cetak. Itupun,hanya 30 persen yang sehat secara bisnis.
Organisasi wartawan pun marak. Sebelumnya hanya ada Persatuan Wartawan Indonesia sebagai wadah tunggal, muncul lebih 40 organisasi wartawan. Sebab,orang bebas bikin koran dan membentuk organisasi wartawan. Tahun 2006, hanya tiga organisasi yang lolos verifikasi Dewan Pers, yakni PWI,AJI dan IJTI.
Jadi, wartawan jadi banyak. Bukan hanya dua seperti Nagabonar. Nah, yang banyak itulah sebagian jadi bodong. Ada karena korannya tutup, tapi masih punya kartu pers, ya ngakunya wartawan. Ada yang dulunya loper, agen, preman, bahkan supir, ngakunya wartawan. Para bodong itu, tidak hanya muncul dari Batam, juga berdatangan dari kota lain. Modalnya, kartu pers dan kartu nama. Kadang dilengkapi dengan surat tugas segala. Kalau ada berita kasus, mereka datang ''menggarap'' narasumber. Muncullah istilah: kapal pecah, hiu kenyang. Wartawan bodong sudah menjadi ikan hiu.
Maraknya wartawan bodong lantaran Batam memang kota ''basah'' dan banyak penyimpangan. Sejumlah pejabat korup, pengusaha hitam jadi sasaran empuk mereka. Malah, mafia-mafia judi, bos-bos hiburan malam dan bisnis lendir, memelihara wartawan bodong dengan cara memberi jatah tiap bulan.
Dengan modal gertak, datang ramai-ramai, mereka bisa dapat uang dengan mudah. Seorang pengusaha Singapura yang marah lantaran difoto tanpa izin, dijadikan bulan-bulanan. Uang yang diberikan pengusaha itu, dibagi ramai-ramai.
Begitu pula pejabat yang dianggap sumber uang. Mereka menyebutnya ''kapal gula.''
Berita sebuah karaoke di Sekupang membuat bosnya resah. Ia minta pada seorang wartawan agar mempertemukan dengan yang menulis berita. Ternyata, lain yang menulis, lain yang dibawa kesana. Keduanya ditraktir habis. Disuguhi minuman, uang dan wanita. Keesokan harinya, datang wartawan yang menulis berita itu. Pengusaha itu pening. Yang mana satu wartawannya?
Ada pula wartawan yang memboking cewek diskotek. Setelah dipakai, wartawan itu tak mau bayar. Malah, ia menakut-nakuti wanita muda itu dan mengeluarkan kartu nama. Jabatannya: Redaktur Pelaksana. Si perempuan,ternyata punya kenalan polisi. Ia melapor dan wartawan itu ditangkap dan dituduh memperkosa.
Di kota seperti Batam, siapa menyangka tercatat 526 orang wartawan. Baik yang beneran maupun yang bodong. Ketika judi ditutup, tempat hiburan makin sepi, wartawan bodong itu secara perlahan, hilang dari peredaran. Apakah yang bukan bodong tidak bermasalah?
Tidak juga. Ada wartawan yang punya media jelas, juga bertindak seperti wartawan bodong. Malah, sawerannya lebih besar. Jadi, ada wartawan baik, tapi bekerja di media yang tidak jelas. Ada media yang mapan, tapi mental wartawannya bobrok. Ya, sama saja.
Alasan klasik minta uang, mau pulang kampung, istri melahirkan, bikin buku, proposal kegiatan, atau menagih uang dari berita yang dikatakan advertorial. ''Dapat untung Rp2 juta sampai Rp5 juta sekali bikin koran, kan lumayan. Pendapatannya dari iklan tembak. Pokoknya, pasang saja, setelah terbit ditagih. Korannya? dibagikan gratis saja.
Namun, meski bodong daya penciuman dan jelajah wartawan bodong ini, hebat juga. Mereka tahu kasus-kasus dan berita panas tentang pejabat dan pengusaha. Masalahnya, borok pejabat seperti korupsi dan punya wanita simpanan, menjadi makanan empuk wartawan bodong.
Wartawan bodong ini sungguh bikin stres. Seorang pejabat humas, sampai mencret tiga hari lantaran ulah wartawan. Saat ia mau turun lift, dicegat empat orang wartawan bodong dan terang-terangan minta uang.
''Saya buka dompet dan bilang, uang saya hanya Rp180 ribu. Eh, bukannya kasihan, mereka malah merampas semua uang saya,'' cerita pejabat humas itu. Ia kapok berurusan dengan wartawan. Ada pejabat yang ketika tahu dipindahkan ke bagian humas, langsung menepuk keningnya sambil berkata,'' Alamak!.''
Biasanya, wartawan bodong ini, bangga jadi wartawan. Kemana-mana, pakai topi atau rompi bertuliskan: PERS dan mangkal berkelompok. Kadang di sebuah warung di Nagoya yang mereka sebut DPR (Di bawah Pohon Rindang) atau di kedai kopi, membahas berbagai isu dan masalah.
Kenapa mereka senang jadi wartawan, meski bodong? Mungkin karena dapat kemudahan tertentu, gampang dapat uang atau amplop, dan bisa dekat dengan pejabat atau pengusaha. Wartawan memang dikenal punya powerfull dan terkesan arogan.
Kadang, sedih juga dengan berbagai julukan miring terhadap wartawan. Padahal, konon dulu wartawan dihormati dan disegani serta dijuluki Ratu Dunia. Selain pintar, mereka berasal dari golongan menengah ke atas. Sekarang, masyarakat malah lebih pintar dari wartawan. Langganan beberapa majalah dan koran, punya uang dan akses terhadap informasi global dan berpendidikan.
Lalu, kita mau bilang apa? Tidak hanya wartawan yang menerima suap dan itupun nilainya relatif kecil. Anggota dewan yang terhormat,jaksa, pejabat juga terlibat korupsi. Benarlah kata proklamator kita. Korupsi di negeri ini sudah membudaya. ***

0 comments:

Post a Comment