Wartawan dan Kekerasan (2)

Posted by Jammes 4/03/2008 0 comments
SEJAK menjadi wartawan, saya tidak penah punya pos liputan. Jadi, ya meliput apa saja dijadikan berita. Satu yang saya catat, dunia wartawan adalah dunia yang keras. Butuh ketangguhan fisik, kekuatan mental dan kecerdasan otak sekaligus dalam menjalankan tugas.
Wartawan juga dekat dengan kekerasan. Baik melihat dan meliput kekerasan, maupun terkadang menjadi korban kekerasan. Pengalaman saya menyaksikan korban kekerasan ketika seorang wanita dibunuh dan mayatnya dibuang ke jurang. Saat tubuhnya dibalikkan polisi, ulat berloncatan dari perutnya.

Di Batam, saya menyaksikan bentrok antar suku yang menelan belasan korban jiwa. Padahal, pemicunya masalah sepele. Korban luka bacok dan darah berceceran, membuat saya bergidik.
Pernah terjadi kecelakaan maut korbannya seorang pelajar. Foto yang dibawa wartawan dan masuk ke komputer saya, korbannya digotong berlumur darah. Malamnya, saya tak bisa tidur. Terbayang korban yang akhirnya tewas. Keluar masuk ruang gawat darurat, ke kamar mayat akhirnya membuat saya terbiasa.
Saat pertikaian antar kelompok itu berakhir dengan acara perdamaian, saya memotret dan berdesakan dengan seorang fotografer asing. Ada acara pemotongan kerbau, babi dan kambing. Kerbau dipotong seperti biasa, namun kambing itu kepalanya ditebas! Saya merasa, jika foto tersebut dimuat di media luar negeri, bisa saja mereka menilai, betapa tak beradabnya bangsa kita.
Tindak kekerasan, teror dan intimidasi yang saya alami pernah terjadi beberapa kali. Mulai dari oknum tentara, pejabat, pengusaha hitam hingga warga biasa. Misalnya, saat saya dikejar-kejar beberapa oknum tentara yang disuruh pemilik cafe setelah saya menulis kisah pelayan yang nyambi jadi pelacur.
Yang paling seru, saat saya disuruh menghadap oknum pejabat militer yang marah karena pemberitaan mobil yang dikirim ke luar Batam. Dua rekan wartawan menemukan ada puluhan mobil dicat ulang dan siap dikirim ke Batam. Temuan itu, lalu dikonfirmasikan kepada petinggi militer yang datang ke Batam.
Keesokan harinya, ada orang tak saya kenal mencari saya ke kantor. Karena tak bertemu, ia mencari wartawan yang menulis berita itu, lalu mengajak ke kantornya. ''Bawa pimpinanmu kesini, kalau tidak kamu tidak boleh membawa motormu pulang,'' katanya kepada wartawan saya. Begitu informasi itu disampaikan kepada saya, sebagai bentuk tanggungjawab, saya pergi ke kantor orang tersebut. Lalu, kami disuruh ke ruang VIP bandara.
Saat itu pukul 16.00 WIB. Oknum pejabat militer itu lalu mengamuk. Ia memecahkah vas bunga. Lalu, tiga gelas kopi dilemparkan ke kaki kami. Melihat teman saya memandangnya, ia merasa ditantang. Ia lalu menyeret teman saya ke landasan pacu, sambil membuka baju. Teman saya ditempeleng dan di lehernya, ada bekas kuku setelah krah bajunya diangkat.
Jujur saja, kami ketakutan lantaran oknum pejabat itu sangat emosi. Semua nama di kebun binatang dilontarkan kepada kami. Tensinya baru agak reda setelah anak buahnya memberi tahu bahwa saya Ketua PWI. Lebih dua jam kami diteror dan diintimidasi di ruangan itu.
Setelah itu, seperti tak terjadi apa-apa, ia membolehkan kami pergi. Keesokan harinya, saya dipanggil ke Jakarta melaporkan kasus itu ke PWI Pusat. Masalahnya sampai ke DPR RI yang meminta penjelasan soal mobil-mobil tersebut. Untunglah, saya tidak terpancing untuk membeberkan masalah tersebut ke media. Padahal, ada beberapa wartawan yang juga pernah diancam dan diteror. Masalah ini baru selesai setelah beberapa wartawan mengadakan pertemuan dengan oknum pejabat tersebut.
Tindak kekerasan lain yang pernah saya hadapi adalah kekerasan massa yang dipicu oleh berita. Seorang tersangka penanam ganja kepada polisi mengaku di rumahnya ada beberapa orang yang terlibat menanam tanaman memabukkan itu. Siangnya, beberapa orang lelaki tak dikenal dengan tampang sangar, mengamuk di kantor saya. Tanpa ba, bi bu, langsung menggebrak meja dan memecahkan pintu kaca. Tujuh orang pelaku ditangkap polisi dan salah seorang mantan wartawan.
Kasus lainnya adalah ketika seorang wartawan yang mewawancarai anggota Komisi Pemilihan Umum menanyakan jumlah pemantau pemilu. Meski sudah disebutkan jumlahnya 150 orang, karena ditanya beberapa kali, anggota KPU itu menjawab,'' Jumlahnya 150 ekor,'' katanya, bercanda. Entah mengapa, dalam berita tersebut dari alinia pertama hingga berikutnya, tertulis 150 orang. Namun, di alinia terakhir, tertulis 150 ekor. Satu kata yang salah ini, memicu kemarahan massa.
Tanpa saya duga, sekitar pukul 20.30 malam, belasan orang datang mengamuk ke kantor. Masalahnya, ya satu kata yang salah itu. Ternyata, ucapan bercanda itu masuk ke benak si wartawan dan dia salah menulisnya. Dengan menyusun kedua belah tangan, saya meminta maaf. ''Ini tidak kami sengaja. Kalau disengaja, pasti semuanya menggunakan kata ekor. Ini hanya satu kata yang salah,'' kata saya meminta maaf dan pengertian massa yang marah. Satu hal yang saya khawatirkan, mereka merusak kantor saya. Untunglah, mereka mau menerima permintaan maaf saya dan saya berjanji menindak wartawan yang teledor dan gegabah itu.
Selain itu, entah berapa kali teror, ancaman bunuh dan intimidasi saya terima. Mulai dari yang halus, sampai yang kasar. Bisa berupa SMS gelap, maupun kemarahan dalam bentuk kata-kata. ''Tak selamanya ketajaman ujung pena bisa mengatasi masalah keamanan hidup Anda,'' kiriman SMS gelap yang pernah saya terima. Anda mungkin tak akan menyangka, seorang pejabat penting berkata kepada saya. ''Kenapa Anda tulis berita itu? Kan sudah saya bilang, jangan dimuat. Ternyata, benarlah kata orang Anda tidak suka pada saya,'' katanya dengan nada tinggi, lalu mematikan telepon.
Sebuah surat kaleng yang dikirim ke kantor, nyaris menghancurkan karir saya. Saat itu, saya menulis berkali-kali kasus mobil bodong di Batam. Kalau tidak salah, saya menulis sebanyak 14 kali. Suatu hari, saya diundang beberapa importir kakap ke sebuah hotel. Mereka bilang, gara-gara berita Anda, 160 mobil saya tertahan di Singapura. Saya jawab, saya tidak punya pretensi apa-apa dalam berita itu. Yang saya tahu, Anda melanggar peraturan. Mobil yang masuk ke Batam mestinya baru (brand new) tetapi teryata masuk yang bekas. Peraturan itu sudah dilanggar selama 10 tahun!
Ketika mereka berbisik-bisik dan saya menangkap mereka akan memberi sesuatu, agar saya berhenti menulis berita itu, saya berkata,'' Jangankan punya mobil, menyetir mobil pun saya tidak bisa. Jadi, kalau Anda mau memberi saya uang, saya minta Rp2 Miliar, setelah itu saya berhenti jadi wartawan,'' kata saya.
Mereka terdiam, lalu bertanya, bagaimana jalan keluarnya. Saya menyarankan, agar diadakan dialog terbuka dan mengundang semua pihak yang terkait. Mereka setuju dan meminta saya membuat proposalnya. Beberapa hari kemudian, tanpa saya duga sama sekali, ada surat kaleng yang dikirim melalui faks ke kantor saya.
Isinya, saya dituduh menerima uang dua kali dengan alasan uang itu saya bagikan kepada redaktur yang memegang halaman tersebut. Surat itu, juga dikirim ke bos saya di Pekanbaru. Saya kemudian membuat laporan tertulis dan menceritakan kronologis kenapa berita itu dibuat, siapa yang terlibat dan saya bersumpah tidak pernah menerima suap.
Saya juga menegaskan, jika saya terbukti menerima suap, saya siap dipecat sebagai wartawan. Bos saya menelepon dan menasehati saya agar saya berhati-hati menulis kasus tersebut. Saat ia masih menjadi reporter, bos saya juga pernah menulis kasus penyeludupan mobil.
Surat kaleng tersebut --sampai sekarang masih saya simpan-- saya baca berulang-ulang. Saya yakin, yang menulisnya pasti seorang wartawan, karena ada beberapa istilah yang hanya dimengerti orang-orang media. Beberapa tahun kemudian, keyakinan saya terbukti. Yang menulis surat itu seorang wartawan yang sudah menerima suap dan mencoba menghentikan saya menulis kasus tersebut.
Satu hal yang membuat saya sedih dan marah. Secara tidak sengaja, surat kaleng itu dibaca istri saya. Ia menangis berurai air mata. Saya merasa dituduh melakukan perbuatan tak terpuji itu, walaupun ia tidak bicara sepatahpun. Saya marah. ''Kalau saya seperti itu, kita tidak akan mengontrak rumah bertahun-tahun dan kemana-mana naik sepeda motor,'' kata saya, dengan nada keras.
Saya memang meniti karir dari bawah. Baru setelah tugas di Batam saya bisa menabung. Saat baru pindah, saya malah tujuh bulan tinggal di kantor, agar bisa hemat uang kos. Saya punya rumah tahun ke tujuh saya di Batam dan punya rumah tahun ke delapan. Syukurlah, mobil saya tidak bodong. Toyota Altis merah maron tahun 2001.
Kembali ke topik awal, kekerasan memang ada di sekitar wartawan. Berapa banyak wartawan yang tewas di medan perang, dibunuh dan kasusnya tak terungkap, diculik dan disiksa. Saya teringat kata-kata bijak. Bunyinya begini. ''Kebencian terhadap kritik, sama besarnya kehausan terhadap pujian.'' Dan, mana ada orang yang suka dikritik. Sementara, wartawan adalah tukang kontrol dan tukang kritik. Tapi, bukankah, kalau takut diterpa ombak, jangan berumah di tepi pantai? ***
























0 comments:

Post a Comment