Wartawan dan Buku
4/15/2008
0
comments
Menulis buku adalah mahkota buat wartawan, begitu Pemimpin Umum Kompas Jakob Oetama pernah mengatakan untuk menyemangati para jurnalis muda. Wartawan senior Kompas JB Kristanto pernah mengatakan lain lagi, "Karier wartawan itu bukan meninggi, tapi meluas dan mendalam."
Mengacu pada ungkapan ini, maka pencapaian seorang jurnalis bukan untuk mengejar posisi sebagai redaktur pelaksana atau pemimpin redaksi, tetapi dari pencapaian jurnalistik untuk suatu bidang tertentu yang dikuasai oleh si wartawan tersebut.
Pernyataan-pernyataan ini patutlah dicamkan dalam-dalam karena dunia jurnalistik sebagai suatu profesi juga harus menunjukkan bahwa memang ada pencapaian tertentu yang bisa menjadi bukti bagaimana para profesionalnya menunjukkan keunggulannya. Kita bisa melihat ada banyak wartawan yang telah puluhan tahun menekuni dunia jurnalistik ini, tetapi sayang, ketika mereka pensiun, tak banyak jejak pengalaman yang
ditinggalkan dalam rupa buku.
Untuk menunjukkan "meluas dan mendalam" wawasan seorang wartawan, maka buku adalah ujud yang paling sah. Wartawan kawakan di Amerika berkaliber pemenang Pulitzer seperti Bob Woodward ataupun David Halberstam tak perlu menjadi seorang pemimpin redaksi atau redaktur pelaksana koran mana pun untuk membuktikan karier jurnalistiknya.Buku-buku yang dihasilkan dua jurnalis ini telah menunjukkan luas dan
dalamnya pengetahuan mereka. Woodward hingga tahun 2004 tercatat telah menulis 12 buku, sementara Halberstam telah menulis 18 buku!
Para jurnalis di Indonesia jangan berkecil hati karena wartawan dari generasi sebelumnya, seperti Adinegoro atau Abdul Rivai, juga telah menorehkan pengetahuan dan pengalamannya dalam rupa buku yang mereka tulis. Adinegoro, misalnya, menulis dua jilid buku Melawat ke Barat (Balai Pustaka, 1931, 1950) yang mungkin menjadi salah satu buku tulisan generasi awal pers Indonesia, atau juga tulisan dari Abdul
Rivai, yang menulis tentang para mahasiswa Indonesia di Belanda.
Para wartawan Indonesia generasi awal umumnya banyak menulis buku, dan utamanya adalah buku-buku pengantar tentang dunia jurnalistik, kewartawanan, ataupun publisistik. Generasi wartawan seperti Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, BM Diah, Wonohito, Djawoto telah menghasilkan karya-karya yang menandai awal mula perkembangan dunia jurnalistik di Indonesia yang mereka pelajari secara otodidak—kecuali Adinegoro yang mungkin menjadi orang Indonesia pertama yang mendapatkan pendidikan
jurnalistik di luar negeri, Jerman.
Sekolah jurnalistik di Indonesia baru muncul tahun 1953, dan wartawan generasi berikut barulah "orang-orang sekolahan", yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Baru pada pertengahan tahun 1980-an perusahaan media mencantumkan syarat "lulus sarjana" kepada para calon reporter baru.
Dalam deretan wartawan masa kini yang menulis buku, kita bisa menyebut di antaranya adalah Bondan Winarno, PK Ojong, Trias Kuncahyono, dan JB Kristanto. Trias Kuncahyono, Redaktur Pelaksana Harian Kompas, misalnya, pada bulan Agustus ini telah mengeluarkan buku ketiganya yang merupakan bagian dari liputannya atas negara-negara di Timur Tengah.
Sementara itu, JB Kristanto menulis sebuah buku sumber berjudul Katalog Film Indonesia 1926-2005 (Nalar, 2005) yang juga menandai suatu pencapaian dari seorang wartawan terhadap bidang liputan yang ia tekuni selama puluhan tahun. Buku ini pertama kali terbit sepuluh tahun lalu, dan kini edisi kedua buku tersebut memperluas serta mengaktualkan data tentang film Indonesia yang terus berkembang.
Secara khusus ada juga daftar para wartawan yang menuliskan perjalanannya ke wilayah-wilayah konflik. Daftar yang pendek itu mencakup karya Kustigar Nadeak & Atmadji (Revolusi Damai, Rekaman Kemelut di Filipina, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta: 1986), Farid Gaban dan Zaim Uchrowi, (Dor! Sarajevo, Sebuah Rekaman Jurnalistik
Nestapa Muslim Bosnia, Mizan, 1993), Satrio Arismunandar (Di Bawah Langit Jerusalem, Yayasan Abu Dzarr Al-Giffari, 1995; Catatan Harian dari Baghdad, Gramedia Pustaka Utama, 1991), Hendro Subroto (Saksi Mata Perjuangan Integrasi Timor-Timur, Sinar Harapan, 1997), Nasir Tamara (Revolusi Iran, Pustaka Sinar Harapan, 1980), Nasir Tamara dan Agnes Samsuri (Perang Iran Perang Irak, 1981), juga Mustafa Abd Rahman, koresponden Kompas yang banyak meliput di wilayah Timur Tengah, dan telah menulis di antaranya, Afganistan di Tengah Arus Perubahan, Laporan Dari Lapangan, 2002.
Sayangnya, wartawati perang Indonesia, Yuli Ismartono, walaupun telah banyak meliput wilayah perang pada dekade 1980-an, tetapi belum menuliskan bukunya sendiri meski ia telah kerap diwawancarai tentang pengalaman perangnya, mulai dari Jurnal Perempuan, majalah Harper's Bazaar, dan juga stasiun televisi CNN. Bagaimanapun, wartawan yang meliput wilayah konflik memiliki banyak cerita yang menarik tentang
negara dan bangsa lain, yang memiliki permasalahan unik di daerah
tersebut.
Bagaimanapun, menulis dalam bentuk buku lebih awet daripada menulis laporan dalam bentuk harian atau mingguan. Buku lebih memberi ruang untuk detail tentang peristiwa yang dilihat dan dialami wartawan, unsur perasaan si wartawan juga kerap muncul dalam tulisan di buku. Semakin banyak wartawan menulis buku, semakin tinggilah prestasi para jurnalis tersebut, dan semakin tinggi pula kredibilitas medianya.
Oleh Ignatius Haryanto Peneliti di LSPP
0 comments:
Post a Comment