Merajut Fakta dengan Feature

Posted by Jammes 6/08/2008 0 comments

ADA berita, ada feature. Sebenarnya, apakah beda antara keduanya? Feature adalah juga berita. Unsur-unsur 5 W + 1 H harus ada padanya. Tetapi, Feature adalah berita yang sudah dikreasikan sedemikian rupa, sehingga fungsinya tidak sekadar menyampaikan informasi.

Ketika seorang tokoh meninggal dunia, berita biasa hanya akan memuat data dimana dia meninggal, pada usia berapa, apa penyebabnya, apa yang membuat dia jadi tokoh, dimakamkan di mana, dan seterusnya. Te-tapi, pada sebuah feature, ketokohannya bisa digali lagi lebih dalam. Kisah-kisah hidupnya, yang unik, menarik dan bisa memberikan iktibar bagi pembaca diceritakan lagi. Komentar kerabat dekatnya diberi tempat.
Itulah fungsi feature. Bentuk tulisan ini leluasa menam-pilkan sosok manusia, menampilkan warna-warni hidup, memberi pencerahan, sekaligus menghibur. Fungsi ini terlalu berat kalau harus diemban oleh berita yang sudah dikenali perangainya sebagai sesuatu yang harus hadir dengan cepat.
Feature juga pas ketika dipakai untuk menulis hal-hal yang kecil, tetapi menarik, yang tak akan pernah jadi berita besar kalau ditulis dalam bentuk berita. Misalnya, minuman ringan paling populer saat ini, yaitu Coca Cola, ternyata lahir setelah John Pemberton, si peraciknya, sakit kepala. Sejarah lahirnya es krim, juga menarik ditu-lis dalam bentuk Feature. Tulisan ilmiah populer sering-kali – atau bahkan selalu – ditulis dalam bentuk feature.
Karena itu, dalam persaingan berbagai bentuk media sekarang, terutam dengan televisi, maka media cetak mau tak mau harus menampilkan kedua bentuk tulisan ini: berita dan feature. Lalu bagaimana menuliskan feature itu?

Jauhi piramida terbalik
Feature, jarang sekali ditulis dalam bentuk piramida terbalik. Feature kebanyakan ditulis dalam bentuk naratif yang kronologis dan berakhir pada klimaks di akhirnya. Atau bisa juga dipakai bentuk penulisan jam pasir.

Pilih Tema.
Pertanyaan yang harus diajukan sebelum memilih dan memutuskan tema feature kita adalah: Apakah tema ini sudah pernah ditulis orang lain sebelumnya? Apakah ceritanya menarik bagi sebagian besar pembaca? Apakah ceritanya bisa menarik emosi pembaca? Apa yang membuat cerita itu menjadi berharga untuk ditu-liskan?

Lead yang menohok.
Tulislah lead yang mengundang pembaca. Sebuah le-ad ringkasan atau rangkuman bukan pilihan yang ter-baik. Lead sebuah feature fungsinya memang sepe-nuhnya untuk menggoda pembaca, maka hindari me-nempatkan unsur-unsur berita yang kering di lead itu. Hingga paragraf ketiga pada sebuah feature yang baik, pembaca harus benar-benar dipikat untuk terus tergoda membaca hingga tulisan selesai. Nah, barulah pada pa-ragraf keempat, apa yang ingin kita kisahkan mulai dima-inkan.

Isi Berita
Informasi penting dalam sebuah feature disajikan sese-dap-sedapnya dalam isi berita. Kelihaian menyusun ka-ta, menghibur dan memainkan emosi pembaca berda-sarkan fakta-fakta yang sudah kita kumpulkan diperta-ruhkan disini. Itulah sebabnya, maka kadang, seorang penulis terjebak memasukkan opininya di sini. Ketimbang beropini, kita bisa mendukung tema feature kita dengan kutipan, data, dialog, dan informasi pendu-kung lainnya.

Penutup Istimewa.
Akhirilah feature kita dengan penutup yang istimewa. Itu bisa dilakukan dengan merujuk ke lead, sehingga pembaca diberi kejutan atau bisa menyimpulkan sen-diri. Penutup feature bisa juga berupa klimaks dari kro-nologi yang sudah dikisahkan sebelumnya.
Seperti Rajutan
Karena feature biasanya ditulis panjang, maka buat-lah tulisan kita seperti rajutan: saling bersambung tak putus! Karena itu penting dilatih keterampilan meng-hu-bungkan lead, isi dan akhir cerita dengan kalimat-kalimat transisi yang tidak kaku. Selang seling antara kutipan ucapan dalam kalimat langsung dengan paraf-rase bisa sangat membantu. Juga kalau kita lengkapi feature kita dengan dialog antara tokoh-tokoh yang men-jadi tema tulisan kita.

Feature, Enaknya Pakai Contoh

Misalnya kita pulang dari peliputan di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Hari itu dibahas Laporan Pertanggungjawaban Wali Kota. Salah satu yang menjadi sorotan anggota DPRD adalah pening-katan jumlah penduduk miskin. Jika kita memberitakan itu apa adanya sesuai dengan apa yang kita dapatkan dalam sidang DPRD itu, kita mendapatkan sebuah berita yang bagus dan menarik perhatian. Bisa jadi ma-salah itu akan jadi pembicaraan selama berhar-hari.
Mestinya kita tidak berhenti pada data saja. Kita bisa membuat berita lain dari isu kemiskinan itu dengan tuli-san yang lebih menyentuh perasaan pembaca. Kita perlu menuliskan beritanya dalam bentuk feature. Istilah ini dipakai untuk tulisan khas di surat kabar atau maja-lah yang bentuknya bukan berita biasa. Bukan straigth news. Tulisan yang disusun seperti kisah. Karena itu, tulisan ini kerap kali mengambil tema yang menyentuh hati manusia, human interest.
Untuk contoh isu kemiskinan tadi, apabila kita ingin membuatnya jadi feature, kita bisa melengkapi bahan-bahan tulisan dengan mengamati, mewawancarai, men-deskripsikan salah satu penduduk kota atau salah satu keluarga yang miskin atau kalau bisa yang paling miskin. Berapa kali dia makan sehari, bagaimana mereka men-cari nafkah, dari mana asalnya, dll. Lalu yakinlah kisah keluarga miskin tadi menjadi contoh yang pasti lebih me-nyentuh ketimbang sekadar berita yang memuat angka-angka statistik tentang kemiskinan yang kita dapatkan dari rapat di kantor DPRD. Apalagi kalau isinya cuma ungkapan-ungkapan keprihatinan dari pejabat.
Tak ada cara lain yang lebih manjur untuk melatih ben-tuk tulisan ini selain mencoba dan mencoba. Apa yang dilakukan Sultan Yohana berikut ini bisa jadi contoh. Baca juga bahasan Farid Gaban, moderator milis jurnalisme atas feature itu. Banyak hal bisa dipelajari. Ini Beritanya:
Saat Perang Aceh Terus Berkecamuk
(Derita Suami Istri Pengedar Ganja)
Wajah Yusnidar (34 th) begitu kentara menyiratkan ketakutan luar biasa. Saat beberapa kamera beserta mikrophone disodorkan tepat di wajahnya, oleh beberapa reporter televisi.”Sudahlah mas, saya mohon, cukup-cukup,” katanya sambil mencoba menyembunyi-kan wajahnya di tubuh suaminya, Hendra (37 th).
Suami istri itu Jumat (1/8) sekitar pukul 15.00 WIB, ditangkap jajaran Satuan Narkoba Poltabes Barelang, di depan Supermarket Kawi Jaya Nagoya Batam. Dugaan awal, keduanya adalah pengedar ‘daun surga’. Dari tangan wanita asal Aceh tersebut, polisi berhasil menyita 10 paket hemat ganja, yang masing-masing dijualnya dengan harga Rp5 ribu.
Bahkan, saking takutnya saat proses penankapan diri dan suaminya, celana warna hijau sepanjang lutut yang dikenakannya itu, basah oleh air kencing. Sesaat sete-lah digeladang ke kantor polisi, keduanya duduk di lan-tai keramik putih pojok ruang tamu. Sementara anak-nya, Putri (3,5) mulutnya sibuk mengemot susu botol, erat berada di dekapan sang ayah. Tak tahu bahwa ke-dua orang tuanya sedang menghadapi masalah besar.
Sesekali gadis berpipi montok itu ikut nangis, melihat bapak dan ibunya menangis,” Sudahlah pak jangan menangis,” kata Yusnidar sambil mengusap air mata suaminya dengan telapak tangan kanannya, se-men-tara tangan kirinya berusaha meraih sang buah
hati dari dekapan sang suami.
Namun masih saja beberapa kamera televisi menga-rahkan lensanya ke wajah ketiga orang itu. Sambil tak henti-hentinya mencecar berbagai pertanyaan dan ber-usaha mengambil gambar yang paling menjual . Meli-hat itu, tak pelak, tangis Hendra semakin berderai. Dibi-arkan saja air mata meleleh dengan deras dari kedua matanya yang memerah. Hendra hanya bisa melawan situasi yang demikian dengan menutupi wajahnya de-ngan kedua telapak tangan.
Yusnidar mengaku terpaksa menerima profesi se-bagai pengedar ganja, saat Ali (tersangka yang meni-tipkan ganja untuk mereka jual,red) menawari keluar-ga yang baru dua bulan datang ke Batam. ‘’ Kami tak ada pekerjaan lagi mas,” kata wanita yang kelihatan berusia lebih tua dari aslinya.
Mereka terpaksa datang ke pulau ini, karena merasa di tempat asalnya, sudah tak lagi mempunyai masa depan yang menjanjikan. Perang saudara terus saja bergejolak di bumi rencong itu. ‘’Di sana tak henti-hen-tinya perang,” tambah Yusnidar sambil terus mem-bu-juk suaminya agar berhenti menangis.
Dari penjualan ganja mereka mengaku, tiap hari ber-hasil menjual kurang lebih 10 paket. Per paket mereka mendapatkan untung sebesar Rp3 ribu. ‘’Semuanya itu untuk makan kami dan membeli susu anak saya,” timpalnya lagi.
Profesi kepepet itu, dilakukan baru satu bulan, Nidar, demikian wanita dipanggil, tahu bahwa apa yang dila-kukan ini adalah hal yang melanggar hukum. Namun bagaimana lagi, sang suami yang berbekal tamatan sekolah dasar, sudah berusaha semampunya untuk mencari kerja yang layak. Karena apa yang diharap-kan ketika datang ke Batam ini, tak menjadi kenya-taan, dan akhirnya terpaksa menjadi pengedar ganja, keduanya memutuskan dia untuk kembali ke Aceh.
‘’Rencananya besok kami pulang. Lebih baik di kampung halaman dari pada menjadi pengedar seperti ini. Kami terpaksa berjualan itu, juga untuk mencari ongkos pulang,” kali ini tangisnya bertambah deras. ‘’ Mas bisakah polisi melepas kami kalau kami langsung pulang,” tanyanya lagi kepada wartawan koran ini dengan wajah polosnya. [sultan]
Berikut ini pembahasan Farid Gaban.
Tema Tulisan
“Pasangan muda yang terpaksa mengungsi dari pe-rang di Aceh dan menjadi pengedar ganja di Batam ka-rena mengganggur.” Kisah seperti ini sangat sarat de-ngan nuansa “human interest”. Tak salah jika Sultan me-milihnya sebagai tema feature, ketimbang sekadar berita langsung (straight-news). Ada perang. Ada pengungsian. Ada pengangguran/kemiskinan.

Pentingnya Feature
Tidak sekadar kisah “human interest”, tulisan seperti ini sangat kuat mengajak pembaca merenungkan beta-pa perang memiliki implikasi yang luas dan mendalam, terutama bagi kehidupan orang per orang. Tulisan seperti ini sangat menggugah dan potensial mempengaruhi perubahan kebijakan [misalnya mengilhami gerakan perdamaian dan bahkan perundingan damai].
Kita mungkin masih mengingat Perang Vietnam. Ra-tusan ribu tewas dalam perang itu, namun salah satu a-degan powerfull yang diingat banyak orang tentang ke-jamnya perang ini adalah sebuah foto yang menggam-barkan seorang anak perempuan telanjang menangis meninggalkan ledakan di latar belakangnya, atau seo-rang polisi tengah menembakkan peluru ke kepala kor-bannya. Dua foto itu bicara tentang manusia bukan ten-tang perang yang impersonal, dan sangat berpe-ngaruh pada munculnya gerakan anti-perang di Amerika.
Ketimbang hanya memfokuskan diri pada berita dan statistik perang, Sultan di sini mencoba menyodorkan “wajah manusia”—bukan sekadar angka. [Masih ingat kata Lenin: “Seratus ribu orang tewas adalah statistik, satu tewas adalah tragedi.”?]
Hal yang sama saya coba dalam liputan Perang Bos-nia [Dor! Sarajevo, Mizan, 1994]. Membaca ulang kumpulan tulisan itu, saya harus katakan tidak seluruh eksperimen tadi berhasil. Namun, yang ingin saya tun-jukkan, saya tidak sekadar meliput dar-der-dor, tapi me-rekam kehidupan sehari-hari penduduk Sarajevo yang selama setahun lebih terkepung oleh blokade—lengkap dengan ketakutan dan kegilaannya.Meski memakai pendekatan feature, Sultan belum mengerahkan semua elemen feature dalam tulisan ini, dan terutama dalam penggalian bahannya.

Kedalaman
Berita ini hanya bersumber pada adegan di kantor po-lisi. Sultan di sini bahkan tidak melakukan wawancara sendiri terhadap obyek tulisannya. Dia hanya melihat dan mendengar. Dia tidak bertanya.Jika kita ingin mem-buat feature yang bagus, wawancara yang lebih menda-lam merupakan keharusan.

Personal.
Jika Sultan bisa melakukan wawancara yang lebih pan-jang, pembaca mungkin akan mengetahui secara lebih lengkap profil keluarga yang malang ini, termasuk menguji fakta benarkah mereka hanya “pengedar yang terpaksa” atau “pengedar profesional”.
Dari Aceh bagian mana mereka datang? Kenapa me-reka memutuskan mengungsi? Kapan mereka meng-ungsi ke Batam? Apa pekerjaan mereka di Aceh sebe-lum operasi militer? Bagaimana pula gambaran hidup sehari-hari mereka di sana? Dengan cara bagaimana mereka datang dan hidup di Batam? Seperti apa kesu-litan sehari-hari yang mereka hadapi di Batam?

Konteks dan Signifikansi
Tulisan yang bagus adalah seperti kerja kamera tele-visi yang bagus. Kamera bergerak hidup dari narasi, close-up, kutipan dan wide-angle. Kisah tentang Yus-nindar dan Hendra adalah “close-up”. Sultan perlu me-lengkapinya dengan “wide-angle”, menempatkan kisah mereka dalam latar yang lebih luas; untuk memper-lihatkan betapa kasus mereka ini memang signifikan (penting) untuk ditulis. Di sini Sultan perlu menambahkan informasi dasar tentang konflik di Aceh dan implikasinya (meski tidak perlu berpanjang lebar):
— Sedikit kilas balik tentang operasi militer terakhir.
— Data pengungsi Aceh (versi pemerintah atau LSM).
— Berapa banyak kira-kira pengungsi Aceh di Batam?
— Bagaimana hidup rata-rata mereka?
— Apakah Batam menjadi tujuan utama?
— Bagaimana pengungsi di Batam diurus pemerintah?
Masih menyangkut konteks, Sultan mungkin perlu sedikit menambahkan data yang bisa menunjukkan apakah menjual 10 bungkus ganja sehari itu merupakan kejaha-tan kecil-kecilan atau kejahatan besar, terutama dalam lingkup Batam. Sultan bisa tanya polisi, berapa banyak penjahat yang ditangkap basah mengedarkan ganja; apakah ada kecenderungan meningkat; dan berapa ra-ta-rata ganja yang berhasil dirampas dari seorang penjahat di sana?
Show it, don’t tell it. Jangan katakan! Tunjukkan! Dalam feature sebaiknya kita menghindari kata sifat (bagus, cantik, luar biasa, marah). Jangan katakan mereka me-ngalami “ketakutan luar biasa”. Tunjukkan betapa mereka memang benar-benar takut (“kencing di celana” adalah ilustrasi yang kuat untuk menunjukkannya).
Lead tulisan ini bahkan lebih kuat jika Sultan memakai ilustrasi tadi, dibanding memakai narasi subyektif (“ken-tara menyiratkan ketakutan luar biasa”). Tapi, di sini mesti hati-hati; bagaimana Sultan tahu celana itu basah karena air kencing, bukan karena tumpahan air?
Sultan telah membuat deskripsi dan kutipan secara efektif. Ini merupakan modal penulis feature yang bagus.
“Setelah digelandang, pasangan suami-istri itu dibi-arkan duduk di lantai keramik ruang tamu kantor polisi. Celana hijau Yusnindar sepanjang lutut nampak ba-sah. Bau pesing menguap ke udara. Hendra, sang su-ami, menangis berurai air mata, sambil mendekap bayi mereka yang baru berusia tiga tahun, yang sesekali merengek dan menyedot botol susu. Beberapa kali Hendra menutup wajahnya dengan dua telapak tangan untuk menghindari terkaman kamera televisi.”Semu-anya itu untuk makan kami dan membeli susu anak saya,” kata Yusnindar. “Kami juga terpaksa ber-jualan [ganja] untuk mencari ongkos pulang [ke Aceh].” kuti-pan yang sangat menyentuh.

Penulisan Nama
Meski ada orang Indonesia yang punya nama dengan satu kata (Soeharto, Slamet), kebanyakan nama mereka terdiri atas dua kata (nama depan dan nama belakang/nama keluarga). Bagaimana dengan Yusnindar dan Hendra ini? Saya khawatir Sultan tidak menanyakan dan mencatat nama lengkap mereka.
Apakah itu penting? Penting. Menanyakan nama leng-kap tidak hanya menunjukkan sikap teliti sebagai warta-wan, tapi juga menunjukkan kepedulian. Banyak warta-wan tidak terlalu peduli pada orang miskin (atau penjahat kecil-kecilan), sehingga berpikir nama mereka tidaklah penting. Jika soal nama kita tak peduli, bisakah diharap kita peduli dengan nasib mereka (termasuk kemungki-nan tersangka itu tidak bersalah)?

Angka dan Ukuran
Sultan menulis: “...polisi berhasil menyita 10 paket he-mat ganja, yang masing-masing dijualnya dengan harga Rp 5 ribu.” Istilah “paket hemat” perlu penjelasan lebih lanjut. Apa yang dimaksud? Berapa gram? Adakah “pa-ket yang tidak hemat”? Apakah Rp 5 ribu itu murah, atau mahal untuk ukuran Batam?

Ending Tulisan
Kalimat ini tidak terlalu jelas bagi saya [‘’Mas, bisakah polisi melepas kami kalau kami langsung pulang?” ta-nyanya.] Sultan bisa menemukan kutipan yang lebih bagus untuk mengakhiri tulisan ini secara meyakinkan jika, seperti awal sudah dikemukakan, Sultan lebih banyak menggali pertanyaan dari obyek tulisannya.

0 comments:

Post a Comment