Investigative Reporting

Posted by Jammes 6/08/2008 0 comments

Apakah semua wartawan menjalankan fungsi investigasi? Jawabnya bisa ya bisa tidak. Sebagian wartawan mengatakan setiap reporter juga seorang investigator. Namun ada yang mengatakan tidak setiap wartawan me-lakukan investigasi. Wartawan yang ikut pertemuan pers, menyodorkan tape recorder dan sekali-kali menerima amplop, pasti bukan seorang investigator.

Namun ada juga yang berpendapat setiap wartawan seyogyanya menjadi seorang investigator. Atau di-pertajam lagi, ada yang mengatakan bahwa setiap war-tawan harus bisa menjadi seorang investigator. Entah itu wartawan di kota atau reporter bisnis. Bahkan warta-wan yang bertugas meliput pakaian mode baru juga bisa menjadi investigator. Logikanya, kejahatan tak mengenal bidang-bidang liputan. Di mana-mana bisa terjadi keja-hatan.
Sebagian wartawan juga mengatakan bahwa inves-tigasi adalah pekerjaan jurnalisme yang dikaitkan dengan upaya membongkar apa-apa yang salah dan diraha-siakan. Namun apakah membongkar skandal antara se-orang manajer dengan mantan sekretarisnya juga dika-tegorikan investigasi? Apakah membong-kar skandal seorang politikus dan seorang aktivis perempuan bisa dikategorikan investigasi? Berhakkah media masuk hingga ke ruang pribadi ini? Apa beda investigative re-porting dan in-depth reporting?

Dari Muckraking hingga investigative Reporting
Sebelum masuk ke perdebatan-perdebatan tersebut, ada baiknya kita melihat apa yang terjadi di negara-negara lain yang tradisi persnya, setidaknya di bidang investigasi, lebih tua dari Indonesia. Di Amerika Serikat istilah investigative reporting mulai populer pada tahun 1975 ketika di Columbia didirikan Investigative Reporters and Editors Inc. Tapi ini bukan berarti sesuatu yang baru sama sekali. Sebelumnya ada istilah muc-kraking journalism, antara tahun 1902 hingga 1912, ketika majalah McClure’s menerbitkan laporan-laporan yang membongkar politik uang elit Washington. Sekarang IRE jadi salah satu organisasi terkemuka dalam masalah investigasi dengan anggaran $800,000 per tahun.
Setiap tahun IRE mengadakan seminar teknik-teknik baru dalam investigasi, baik dalam pengelolaan data-base maupun spesialisasi tertentu (lingkungan hidup mi-salnya), serta memberikan hadiah buat karya-karya in-vestigasi yang bagus di seluruh Amerika Serikat. Ia memperkenalkan sistem riset lewat internet maupun pe-makaian penginderaan jarak jauh.
Di Asia Filipina yang pertama kali memiliki organisasi semacam Philippines Center for Investigative Journalism ketika sekelompok wartawan muda pada tahun 1989 mendirikan lembaga itu sesaat setelah diktator Fer-di-nand Marcos melarikan diri dari Filipina. Direktur PCIJ Sheila Coronel datang ke Indonesia dan memberikan ceramah di Jakarta, Surabaya, Bandung, Yogyakarta dan Ujungpandang pada 1-11 Oktober 1999.
Menurut Coronel, mereka mendirikan PCIJ karena me-dia di mana mereka bekerja tak menyediakan suasana yang memungkinkan bagi wartawan-wartawan muda itu untuk membuat in-depth reporting maupun investigative reporting. Budaya newsroom di Filipina lebih banyak di-habiskan meliput breaking news daripada analisa yang mendalam.
Pada November 1998 di Cambridge, Amerika Serikat, juga diadakan pertemuan perdana dari International Consortium of Investigative Journalists yang memberi-kan penghargaan buat wartawan-wartawan dari seluruh dunia yang berkarya dengan baik di bidang investigasi. Untuk pertama kali penghargaan ini diberikan kepada Nate Thayer dari mingguan Far Eastern Economic Review yang berpangkalan di Hongkong atas jerih-payah dan prestasi Thayer dalam mewa-wancarai tokoh Khmer Merah Pol Pot.
Di Indonesia sendiri kurang jelas mulai kapan istilah li-putan investigasi mulai menjadi populer. Namun setidak-nya ada beberapa majalah yang secara eksplisit pada tahun 1990-an menggunakan kata “investigasi” dalam liputan mereka. Dwi-mingguan Tajuk yang didirikan tahun 1996 memposisikan dirinya sebagai majalah “berita, investigasi dan entertainmen”. Majalah Tempo juga me-nambahkan satu rubrik “Investigasi” ketika terbit kembali 6 Oktober 1998.
Namun apa yang dinilai sebagai “investigasi” yang mungkin paling terkenal di Indonesia adalah liputan ha-rian Indonesia Raya atas kasus korupsi di Pertamina dan Badan Logistik antara 1969 dan 1972. Harian itu melaporkan dugaan ko-rupsi besar-besaran di Perta-mina dengan memanfaatkan sumber-sumber anonim dari dalam perusahaan negara tersebut. Pertamina mau-pun pemerintahan Presiden Suharto menolak adanya korupsi. Walaupun Indonesia Raya terkesan agak cru-sading dalam liputannya namun beberapa tahun ke-mudian terbukti bahwa Pertamina memang penuh de-ngan korupsi hingga hampir membangkrutkan peme-rintahan Suharto.
Dalam lima tahun terakhir ini, saya pikir liputan in-vestigasi skala internasional yang dilakukan oleh war-tawan Indonesia adalah investigasi tentang skandal e-mas Busang yang dibuat oleh wartawan lepas Bondan Winarno. Ia melanglang buana, pergi ke Calgary dan Toronto di Kanada, Manila di Filipina serta hutan rimba Busang di Kalimantan untuk menelusuri investigasinya yang dituangkan dalam bentuk sebuah buku. Bondan juga menelusuri berbagai dokumen tentang pertambangan mineral dan cara-cara untuk “meracuni” mata bor dengan “emas luar” sedemikian rupa sehingga dibuat kesim-pulan ada cebakan emas yang luar biasa besarnya di bawah permukaan hutan Busang.
Intinya Bondan menganggap Michael de Guzman, geolog senior Bre-X, “meracuni” sample hasil pemboran mereka dan melakukan kejahatan canggih untuk mem-perkaya diri mereka. Bondan secara mengejutkan juga memperkirakan bahwa de Guzman masih hidup, tidak mati bunuh diri seperti diberitakan. Bondan melaporkan bahwa mayat yang ditemukan di tengah hutan Busang itu tidak memiliki gigi palsu di rahang atasnya seperti yang dimiliki de Guzman. Geolog Filipina ini juga mem-punyai gaya hidup mewah, suka berfoya-foya, main pe-rempuan, yang tidak cocok dengan tipe orang yang me-miliki kecenderungan untuk melakukan bunuh diri. Aneh juga bahwa de Gusman tidak duduk di samping pilot he-likopter namun di belakang. Bondan mewawancarai dua orang dokter yang melakukan autopsi terhadap jasad tersebut serta seorang dari empat isteri de Guzman.
Dari gambaran sekilas atas pekerjaan Bondan mau-pun Nate Thayer sudah bisa kita ketahui bahwa inves-tigative reporting memang lebih berat dari rata-rata pe-kerjaan jurnalisme sehari-hari. Bondan butuh waktu dua bulan penuh untuk mengerjakan investigasinya. Thayer bahkan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menyakinkan Khmer Merah bahwa ia layak untuk mewa-wancarai Pol Pot.
Goenawan Mohamad dari majalah Tempo menyebut investigative reporting sebagai jurnalisme “membongkar kejahatan.” Ada suatu kejahatan yang biasanya ditutup-tutupi. Wartawan yang baik akan mencoba mempelajari dokumen-dokumen bersangkutan dan membongkar keberadaan tindak kejahatan di belakangnya.
Namun pemahaman ini perlu dibedakan antara inves-tigasi yang dikerjakan oleh seorang wartawan atau se-buah tim wartawan dengan liputan media atas hasil inves-tigasi pihak lain. Ketika mingguan Panji Masyarakat me-muat rekaman pembicaraan antara Presiden B.J. Habi-bie and Jaksa Agung Andi M. Ghalib pada pertengahan Februari 1999, banyak dosen komunikasi yang mengata-kan bahwa itulah investigative reporting. Ahli hukum me-dia Abdul Muis dari Universitas Hasanuddin mengatakan secara etis Panji tidak bisa disalahkan karena pemuatan itu bagian dari investigative reporting. Muis mengatakan bahwa Panji melakukan investigasi. Terlepas dari kebe-ranian Panji dalam menu-runkan pembicaraan itu de-ngan pertimbangan adanya public interest dalam perbin-cangan tersebut, Prof. Muis lupa bahwa rekaman ter-sebut bukan dikerjakan Panji sendiri. Yang melakukan investigasi bukan Panji karena majalah itu hanya menda-patkan kaset rekamannya saja. Bukan menyadap pembi-caraan telpon itu sendiri.
Robert Greene dari Newsday —beberapa kali disebut sebagai “Bapak Jurnalisme Investigasi Modern”— mem-batasi liputan investigasi sebagai karya seorang atau beberapa wartawan atas suatu hal yang penting buat ke-pentingan masyarakat namun dirahasiakan oleh mereka yang terlibat. Liputan investigasi ini minimal memiliki tiga elemen dasar: bahwa liputan itu adalah ide orisinil dari wartawan, bukan hasil investigasi pihak lain yang ditin-daklanjuti oleh media; bahwa subyek investigasi me-rupakan kepentingan bersama yang cukup masuk akal untuk mempengaruhi kehidupan sosial mayoritas pembaca suratkabar atau pemirsa televisi bersangkutan; bahwa ada pihak-pihak yang mencoba menyembunyikan kejahatan ini dari hadapan publik.

Dua Bagian Proses Investigasi
Mula-mula seorang wartawan investigator adalah war-tawan yang tidak menerima mentah-mentah pernyataan sumber-sumber resmi. Seorang wartawan yang mau me-lakukan pekerjaan riset yang dalam, tekun mere-konstruksi suatu kejahatan dan tidak kenal lelah untuk mengejar sumber-sumber yang penting, kira-kira itulah bayangan pekerjaan dalam jurnalisme investigasi.
Sumber-sumbernya banyak. Dokumen-dokumennya bertumpuk. Jelas bahwa sebuah karya investigasi tidak bisa dibuat hanya dengan mengandalkan sebuah lapo-ran pemeriksaan polisi atau keterangan pers sebuah lembaga swadaya masyarakat. Walaupun ukuran waktu bersifat sangat nisbi, namun sebuah laporan investigasi biasanya makan waktu cukup lama. Bisa setengah tahun namun bisa juga setahun tergantung pada ukuran dan cakupan investigasi tersebut.
Menyelidiki perdagangan senjata antar-negara dan penggunaannya oleh para serdadu bayaran tentu lebih lama daripada investigasi penyalahgunaan dana pemba-ngunan Pasar Pagi di kota Tegal. Perdagangan senjata biasanya melibatkan kejahatan terorganisasir di bebe-rapa negara. Serdadu bayaran juga beroperasi lintas batas. Namun ukuran waktu memang nisbi. Kalau me-reka yang dianggap melakukan penyalahgunaan reno-vasi Pasar Pagi ternyata sudah melarikan diri ke luar negeri, tentu waktu yang dibutuhkan lebih lama daripada sekedar mengejar sumber-sumber antara Tegal dan Ja-karta (dalam negeri).
Dalam skala internasional, investigasi memang keba-nyakan berkaitan dengan perdagangan senjata, operasi militer rahasia, operasi kelompok-kelompok bisnis rak-sasa berbau korupsi-kolusi, penyelundupan obat bius maupun penyelundupan tenaga manusia secara global (baik dalam bisnis pelacuran maupun perbudakan mo-dern). Bondan menyelidiki manipulasi contoh emas Bus-ang hingga ke kantor Bre-X di Calgary maupun situs Busang di dalam hutan-hutan Kalimantan Timur. Bondan juga pergi ke Manila untuk menemui saudara perempuan Michael de Guzman untuk mencari jejak ke arah dental record geolog Bre-X tersebut. Thayer harus mondar-mandir antara Bangkok, Phnom Penh dan hutan-hutan perbatasan Thailand-Kamboja untuk mengejar sumber-sumbernya di kalangan Khmer Merah.
Coronel secara singkat membagi proses investigasi ke dalam dua kali tujuh bagian. Pembagian ini untuk mempermudah seorang investigator dalam mengatur sistematika pekerjaannya. Bagian pertama merupakan bagian penjajakan dan pekerjaan dasar. Sedangkan ba-gian kedua sudah berupa penajaman dan penyelesaian investigasi:

Bagian Pertama
· Petunjuk awal (first lead)
· Investigasi pendahuluan (initial investigation)
· Pembentukan hipotesis (forming an investigative hypothesis)
· Pencarian dan pendalaman literatur (literature search)
· Wawancara para pakar dan sumber-sumber ahli (interviewing experts)
· Penjejakan dokumen-dokumen (finding a paper trail)
· Wawancara sumber-sumber kunci dan saksi-saksi (interviewing key informants and sources)
Petunjuk awal bisa berupa apa saja. Ia bisa berupa sebuah berita pendek di suratkabar. Ia juga bisa berupa sebuah surat kaleng yang menunjuk adanya ketidak-beresan dalam suatu lembaga tertentu. Ia juga bisa be-rupa telpon dari seseorang tak dikenal. Atau petunjuk ini juga bisa berupa suatu peristiwa besar yang sudah ba-nyak diberitakan media namun masih menyimpan teka-teki yang kelihatannya menarik untuk dikejar. Teka-teki ini bakal menarik kalau si investigator menemukan sum-ber penting yang bisa membuka ke arah terbongkarnya teka-teki tersebut.
Indonesia memiliki banyak sekali peristiwa-peristiwa menarik untuk diselidiki. Katakanlah mulai dari isu ke-terlibatan oknum-oknum berseragam dalam huru-hara 14-16 Mei 1998. Sebuah petunjuk bisa saja muncul dari berbagai arah yang bisa dipakai untuk menyelidiki peris-tiwa tragis tersebut. Atau pembunuhan mereka yang ditu-duh sebagai dukun santet di daerah Banyuwangi dan Jember. Mengapa tiba-tiba bupati yang memerintahkan pendaftaran para dukun santet diganti sebelum masa jabatannya berakhir? Huru-hara juga meledak di mana-mana. Dari Ketapang di Jakarta hingga Karawang hing-ga Kupang dan Ambon. Benarkah ada provokator dan kejahatan terorganisir di balik huru-hara tersebut? Seo-rang investigator seyogyanya sudah mengetahui latar belakang suatu kasus sebelum bisa mencium adanya petunjuk yang berharga.
Investigasi pendahuluan bisa berupa penggalian data lebih jauh, wawancara maupun peninjauan lapangan. Ri-set dikerjakan dengan teliti sebelum hipotesis ditetapkan. Pekerjaan yang terarah dan tajam praktis baru diker-jakan setelah hipotesis terbentuk. Bondan Winarno menggunakan metode deduksi untuk mencari data dan membuktikan hipotesisnya. Mula-mula dengan penca-rian dan pendalaman literatur. Lantas dikombinasi de-ngan wawancara para pakar dan sumber-sumber ahli agar si investigator mendapatkan latar-belakang teknik yang memadai sebelum melangkah lebih jauh.
Coronel menekankan pentingnya pencarian dokumen-dokumen maupun wawancara sumber-sumber kunci dan saksi-saksi. Dokumen ini penting karena di sanalah bia-sanya ketentuan-ketentuan yang mengikat bisa dijadikan barang bukti. Dokumen juga bisa dipakai untuk mem-pertentangkan pernyataan-pernyataan nara sumber yang berbohong. Di Indonesia banyak sekali pejabat atau pe-mimpin perusahaan yang setengahnya “berbohong” de-ngan cara menjawab pertanyaan wartawan secara diplo-matis atau bahkan dengan memutar-balikkan logika. Dokumen tertulis akan membantah semua kebohongan.
Pekerjaan terakhir dalam tahap pertama ini adalah wawancara dengan orang-orang kunci. Pekerjaan ini se-ringkali makan waktu lama karena jarak maupun waktu. Orang-orang kunci tidak harus orang-orang dengan jabatan tinggi. Seorang tukang perahu dekat Samarinda bisa menjadi sumber penting dalam investigasi Bre-X untuk membuktikan bahwa “peracunan emas” tidak dila-kukan di gudang Loa Duri (seperti dilaporkan Asian Wall Street Journal). Atau seorang isteri yang bisa mene-gaskan bahwa suaminya memiliki gigi palsu di rahang atas. Memang sumber-sumber kunci dalam Bre-X juga termasuk John Felderhof, geolog senior yang juga atasan Michael de Guzman, namun yang sering terjadi orang macam ini keberatan untuk bicara dengan wartawan.

Bagian Kedua
· Pengamatan langsung di lapangan (first hand observation)
· Pengorganisasian file (organizing files)
· Wawancara lebih lanjut (more interviews)
· Analisa dan pengorganisasian data (analyzing and organizing data)
· Penulisan (writing)
· Pengecekan fakta (fact checking)
· Pengecekan pencemaran nama baik (libel check)
Pengamatan langsung di lapangan seyogyanya dilaku-kan dengan berbekal peta geografis dari lokasi di mana investigasi dipusatkan. Wartawan seringkali melupakan tinjauan dari aspek geografis. Padahal banyak keputusan militer maupun dagang yang dibuat berdasarkan pertim-bangan geografis. Ahli penginderaan jarak jauh Christo-pher Simpson dari American University berpendapat bahwa 80 persen keputusan bisnis maupun dagang di-tentukan oleh pertimbangan geografis.
Pengorganisasian file akan mempermudah investigator untuk menganalisai dan mencari benang merah atau pola dari berbagai data temuannya. Investigasi akan pembu-nuhan dukun santet, misalnya, akan lebih mudah bila di-buat matriks yang mencatat kecenderungan-kecende-rungan korban pembunuhan. Entah lokasinya, metode pembunuhan atau pola penyebaran desas-desus. Dalam kasus korupsi yang canggih yang melibatkan banyak orang juga akan terbentuk suatu pola bisa semua data yang ada dimasukkan dalam database dengan rapi.
Penulisan laporan merupakan teknik tersendiri yang tentu tidak meninggalkan teknik pembuatan angle, focus dan outline. Data yang sedemikian banyaknya tentu me-merlukan seleksi yang ketat untuk memilih mana yang perlu dan mana yang kurang perlu. Walaupun media elek-tronik di Indonesia belum pernah punya reputasi harum dalam hal investigasi, namun ini lebih disebabkan ma-salah sejarah dan kepemilikan media elektronik. Cepat atau lambat, investigasi juga akan masuk ke media yang pengaruhnya luas sekali ini. Alat-alatnya pun men-jadi lebih rumit. Entah dalam bentuk kamera tersem-bunyi atau alat rekam ultra sensitif.
Pengecekan fakta (fact checking) sangat penting wa-lau banyak diremehkan wartawan. Apalah arti kerja ke-ras berbulan-bulan bila seorang sumber dengan enteng mengatakan, “Investigasi apa itu? Menulis ejaan nama saya saja salah!” Banyak sekali kesalahan yang keliha-tannya remeh namun bisa merusak penilaian orang akan laporan tertentu. Nama orang, tanggal kejadian, hubungan darah antar satu sumber dengan yang lain, jumlah anak, nilai transaksi dan sejuta data lain, harus disisir satu demi satu agar semua data akurat.
Wartawan Richard Lloyd Parry dari harian Inde-pen-dent (London) membuat laporan yang luar biasa soal terjadinya pembunuhan orang-orang Madura oleh o-rang Dayak di Kalimantan Barat antara Desember 1996 hingga Januari 1997. Parry menulis laporan se-panjang 40 halaman pada majalah Granta terbitan Lon-don. Data-datanya luar biasa. Peristiwa penjagalan manusia digambarkan dengan detail. Kuburan-kuburan dibongkar dan tengkorak-tengkorak dihitung. Namun pada halaman awal karangannya, Parry mem-buat ke-salahan kecil: Partai Demokrasi Indonesia dise-butnya sebagai partai dengan nomor kontestan dua sedang-kan Golongan Karya nomor tiga!
Pengecekan fakta ternyata tidak cukup. Dalam jaman di mana kebebasan pers makin terbuka, anca-man seringkali datang dari tuntutan dengan dasar pen-cemaran nama baik (libel check). Bondan mengatakan bahwa ia digugat pencemaran nama baik masing-masing Rp 1 triliun oleh mantan menteri pertambangan Ida Bagus Sudjana dan putranya Dharma Yoga Sudjana. Hingga kini kasus itu masih ada dalam proses hukum. Kedua belah pihak tidak mau mundur atau melakukan penyelesaian di luar hukum. Bondan harus membayar pengacara untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Namun ongkos pengacara tidak murah bukan? Bahkan menurut Bondan, biaya untuk melalang buana ke Kanada dan Filipina masih lebih murah di-banding biaya yang sudah dikeluarkannya untuk mem-bayar pengacara. Sebuah penerbitan bisa bangkrut bila tuntutan pencemaran nama baik terbukti benar. Se-mentara buat wartawan semacam Bondan, mundur berarti membiarkan reputasinya sebagai wartawan dipertanyakan.
Kesimpulannya, tidak ada cara lain yang bisa dila-kukan seorang wartawan daripada melakukan konsul-tasi hukum dengan ahli hukum perdata secara benar sebelum laporannya naik cetak atau disiarkan. Editor juga banyak berperan untuk mengantisipasi kemung-kinan munculnya gugatan pencemaran nama baik. Prin-sip cover both side seringkali sangat membantu untuk menghindar dari jeratan tuntutan pencemaran nama baik. Dalam kasus Bondan, ia memang beberapa kali men-coba mewawacarai Sudjana, namun kurang berhasil hingga naik cetak.

Hipotesis dan Teknik
Salah satu hal yang banyak membedakan antara in-depth reporting dan investigative reporting adalah ada atau tidaknya hipotesis dalam penelusuran tersebut. Saya berpendapat bahwa dalam batasan tertentu inves-tigative reporting adalah fase kelanjutan dari in-depth reporting. Majalah Panji Masyarakat jelas tidak memiliki hipotesis ketika mereka menurunkan laporan pembicaraan telpon Habibie-Ghalib. Namun keadaan ini akan berbeda bila Panji memutuskan untuk melanjutkan pekerjaan itu dan melakukan investigasi sendiri. Dalam melakukan in-depth reporting seorang wartawan bisa be-rangkat praktis dari nol atau dari sekedar membaca kliping-kliping koran. Ketika wartawan itu sudah jauh lebih banyak mengetahui duduk persoalan sebenarnya —se-telah melakukan banyak wawancara, membaca tum-pukan dokumen serta mendatangi tempat-tempat yang berhubungan dengan liputannya— saat itulah ia pada titik hendak melakukan kegiatan lanjutan atau tidak. Liputan lanjutan inilah yang lebih bersifat investigatif. Membongkar kejahatan. Mencari tokoh-tokoh jahat dan merekonstruksi kejahatan-kejahatan mereka. Hipotesis sangatlah penting untuk membantuk wartawan mem-fokuskan dirinya dalam suatu investigasi.
Jakob Oetama dari harian Kompas mengatakan ke-pada saya bahwa salah satu halangan kegiatan inves-tigasi di harian tempatnya bekerja adalah iklim ewuh-pekewuh terhadap mereka yang dianggapnya terlibat da-lam kejahatan tersebut. Keadaan ini yang membuat ha-rian terbesar di Indonesia ini mengalami kesulitan untuk mengejar dan menyelidiki hipotesis-hipotesis yang me-reka pikirkan.
Bondan Winarno dalam investigasinya soal Busang mengajukan hipotesis bahwa kematian Michael de Guz-man tidak wajar dan aneh. Ia juga curiga bahwa de Guzman adalah otak dari “peracunan” sample emas Busang sehingga harga-harga saham Bre-X naik ber-kali-kali lipat di mana de Guzman juga sangat diuntung-kan. Bondan curiga bahwa mayat yang ditemukan di hutan Busang itu bukanlah mayat de Guzman. Bagaimana mungkin mayat orang yang jatuh dari ke-tinggian 800 kaki masih utuh?
Untuk membuktikan hipotesis tersebut, Bondan mula-mula bicara dengan dokter-dokter yang memeriksa ja-sad tersebut. Ia menemukan bahwa para dokter Indo-nesia yang mengatakan bahwa mayat itu mayat de Guz-man hanya mendasarkan pengamatannya dari pakaian yang dilaporkan dikenakan oleh de Guzman. Sementara itu dari salah seorang isteri maupun teman-temannya, Bondan menemukan bahwa de Guzman memiliki gigi palsu. Sementara mayat itu tidak ada gigi palsunya.
Bondan juga terbang ke Filipina untuk mencari sau-dara-saudara de Guzman maupun mantan pembantu-pembantunya di Busang —Cesar M. Puspos dan Jerome Alo— yang semuanya menolak menemui Bondan. Ke-luarga de Guzman bahkan menolak untuk memberikan alamat dokter gigi yang biasa merawat Michael. Semen-tara pembantu-pembantunya seolah-olah raib tertelan bumi. Tidakkah ini indikasi bahwa ada yang aneh de-ngan “kematian” Michael de Guzman?
Bondan tentu memakai seperangkat teknik untuk mem-buktikan hipotesisnya. Selain wawancara panjang lebar di beberapa sudut dunia, ia juga mengadakan riset yang panjang, bahkan belajar tentang teknik pertambangan, untuk mendukung investigasinya. Salah satu kelebihan Bondan adalah sikapnya yang sopan. “Sikap santun itu penting. Ini sikap yang penting dalam investigasi,” ujar-nya. Dengan modal sopan-santun ini pula Bondan mene-gaskan prinsipnya bahwa ia tidak mau mencuri.
Soal mencuri atau tidak memang jadi isu yang sulit se-kali. Banyak wartawan yang berpendapat bahwa dalam investigasi, segala cara dibenarkan, termasuk mencuri dana, mencuri pembicaraan orang maupun mencuri infor-masi. Panda Nababan, wartawan senior majalah Forum Keadilan, berada pada kubu yang membenarkan pencurian data. Nababan memakai teknik apa saja untuk mendapatkan data. Ia pernah “menipu” petugas bandara Jakarta dengan mengaku dirinya sebagai seorang peja-bat tinggi militer dalam kasus pembajakan pesawat Ga-ruda Woyla. Dalam kesempatan lain Nababan juga per-nah mencuri dokumen di mobil seorang pejabat tinggi yang hendak menyerahkan dokumen itu kepada Presi-den Suharto.
Perdebatan antara boleh tidaknya mencuri data ini me-mang sangat erat terkait dengan masalah etika dan hu-kum. Namun secara umum ada beberapa teknik yang biasanya dipakai seorang investigator:
· Riset dan reportase yang mendalam dan berjangka waktu panjang untuk membuktikan kebenaran atau kesa-lahan hipotesis;
· Paper trail (pencarian jejak dokumen) yang berupa upaya pelacakan dokumen, publik maupun pribadi, untuk mencari kebenaran-kebenaran untuk mendukung hipotesis;
· Wawancara yang mendalam dengan pihak-pihak yang terkait dengan investigasi, baik para pemain langsung maupun mereka yang bisa memberikan background ter-hadap topik investigasi;
· Pemakaian metode penyelidikan polisi dan peralatan anti-kriminalitas. Metode ini termasuk melakukan penya-maran. Sedangkan alat-alat bisa termasuk kamera ter-sembunyi atau alat-alat komunikasi elektronik untuk me-rekam pembicaraan pihak-pihak yang dianggap tahu persoalan tersebut. Ini memang mirip kerja detektif;
· Pembongkaran informasi yang tidak diketahui publik maupun informasi yang sengaja disembunyikan oleh pi-hak-pihak yang melakukan atau terlibat dalam kejahatan.
Hipotesis biasanya disusun dengan beberapa perta-nyaan dasar. Pertama-tama adalah pertanyaan tentang aktor pelaku kejahatan. Siapa yang bertang-gungjawab atas penyalahgunaan dana masyarakat tersebut? Siapa yang memicu huru-hara? Siapa yang mula-mula menye-barkan sentimen anti-etnik atau anti-agama tertentu? Siapa yang melakukan insider trading? Siapa yang mula-mula berkepentingan agar dukun-dukun santet dibunuh?
Dalam investigasi Bondan, ia berteori bahwa kasus Bre-X itu dilakukan oleh Michael de Guzman dan anak-anak buahnya yang dari Filipina. Bukan oleh al-marhum David Walsh, orang nomor satu Bre-X, maupun John Fel-derhof, geolog senior Bre-X yang juga atasan de Guz-man. Walaupun kedua orang itu juga diuntungkan oleh ulah de Guzman, namun mereka tidak terlibat dalam skandal ini. Felderhof boleh jadi mengetahuinya namun tidak mencegahnya. Bondan mendapatkan jawaban tertulis dari Felderhof.
Selain hipotesis tentang aktor pelaku, juga perlu ditanyakan cara-cara suatu kejahatan dilakukan. Bagaimana penyalahgunaan itu dilakukan? Bagaimana cara sample mata bor lubang-lubang Busang dicampur dengan emas luar agar ada kesan temuannya memang besar sekali? Bagaimana cara Michael de Guzman menipu sekian ba-nyak konsultan independen yang memperkuat hasil temuan Bre-X? Apa konsekuensi dari penyalahgunaan tersebut? Apa yang bisa dilakukan untuk memper-baikinya?
Hipotesis ini yang terus-menerus diteliti, diuji dan di-simpulkan benar-tidaknya. Kalau kemudian terbukti bah-wa hipotesis itu salah, seorang investigator harus de-ngan besar hati mengakui bahwa tidak terjadi kejahatan di sana. Kasus ditutup. Setiap investigasi memang me-ngandung kemungkinan bahwa hasilnya ternyata tidak sedramatis yang diperkirakan. Dan hasil yang negatif ini juga seringkali disertai dengan keputusan bahwa hasil investigasi tersebut tidak layak diteruskan.
Kesannya memang sia-sia. Mungkin biaya besar dan waktu lama juga sudah dikeluarkan. Selain itu, seringkali pekerjaan investigasi ini memancing mereka yang diru-gikan untuk mengajukan tuntutan hukum. Alasannya pen-cemaran nama baik. Hipotesis Bondan, misalnya, bisa saja salah kalau suatu saat ia mene-mukan bukti baru bahwa mayat itu ternyata benar mayat de Guzman. Bon-dan tentu tidak bisa dibenarkan bila salahnya hipotesis itu tidak diungkapkan namun fakta-fakta yang menye-satkan yang justru dipakai. Padahal ia sudah bekerja keras dan mengeluarkan uang cukup banyak untuk mela-kukan investigasi itu. Ironisnya, dalam kasus buku “Se-bungkah Emas di Kaki Langit” ini Bondan justru tidak mendapat gugatan hukum dari keluarga de Guzman. Ia justru mendapat gugatan pencemaran nama baik dari keluarga Ida Bagus Sudjana. Bondan masih beruntung! Dalam banyak kasus, taruhannya bahkan nyawa.

Penulisan dalam Sistem Memo
Investigasi yang baik perlu didukung oleh sistem pela-poran yang baik pula. Apalah artinya investigasi yang mahal dan makan waktu bila hasil akhirnya disajikan dengan buruk? Penulisan perlu dibuat menarik. Untuk itu metode penulisan dari pekerjaan besar ini harus didukung oleh sebuah sistem memo.
Sistem ini pada dasarnya adalah sebuah alat bantu buat wartawan untuk meng-atur pekerjaan mereka seca-ra lebih sistematis. Sistem ini membantu reporter be-kerja lebih mudah dan lebih cepat untuk mencari data dan menyusun arsip. Sistem memo terutama sangat berguna untuk membantu sebuah tim (bahkan seorang wartawan) untuk bekerja sama secara rapi dalam mengerjakan proyek mereka.
Seorang koordinator tim juga bisa memetik keuntungan dari sistem ini. Ia bisa mengetahui setiap perkembangan dari proyek yang sedang dipimpinnya. Ia misalnya dengan teratur bisa membaca laporan-laporan dari anggota-anggota timnya dan dengan cepat bisa memutuskan materi apa yang harus dikembangkan.
Sistem memo ini juga mempermudah penulisan draft final. Alasannya sederhana saja. Dengan secara teratur dan disiplin membuat memo, proses penulisan jadi sebu-ah proses yang dinamis. Penulisan laporan final, entah dalam bentuk buku atau artikel, menjadi sebuah proses kerja yang lebih sederhana karena semua bahan sudah tersedia dan secara teratur diperbarui terus-menerus. Pekerjaan final hanya tinggal dilakukan dengan menyu-sun blok demi blok sesuai dengan outline laporan yang hendak dibuat.
Sistem memo lagi-lagi diperkenalkan oleh Bob Greene dari Newsday. Ia pada mulanya membuat sistem ini untuk keperluan investigasi di mana pengecekan data-data dibuat dengan sangat hati-hati dan menyeluruh. Sistem memo yang diperkenalkannya sekarang diadopsi oleh banyak organisasi berita di seluruh dunia termasuk International Consortium of Investigative Journalists.
Pertama-tama, ada dua tip yang diperkenalkan oleh Greene. Nama orang senantiasa diketik dengan huruf besar. Hal ini akan mempermudah editor, koordinator tim atau reporter dalam membaca memo-memo yang berdatangan setiap hari. Seperti tertera dalam artikel ini, penyebutan nama pertama kalinya senantiasa ditam-bah dengan date of birth (dob). Ini penting karena sebuah sumber boleh jadi baru berumur 68 tahun ketika diwawancarai. Namun ketika naskah diterbitkan umurnya sudah 69 tahun.
Memo ini pada dasarnya adalah produk kerja seorang wartawan; ia merupakan kompilasi dari apa yang dilihat sang wartawan, didengarnya, dibacanya, dibauinya, dira-sakannya dan dicicipinya. Seorang wartawan harian atau wire service tidak memakai memo. Laporan harian itu sendiri sudah merupakan kumpulan memo. Mereka yang pernah bekerja di Reuters atau Associated Press tentu mengetahui bagaimana rasanya membuat berita yang diturunkan hampir setiap hari kalau tidak setiap jam.
Memo hanya dipakai untuk mereka yang bekerja dalam periode waktu yang panjang. Bisa mingguan dan yang penting yang terlibat dalam penulisan buku atau investigasi skala besar. Cara tradisional untuk meng-gunakan jolt note sebelum seorang wartawan menulis laporannya jelas tidak efisien. Ini cara yang kuno. Berapa dari kita yang masih bisa membaca tulisan tangan kita sendiri setelah seminggu? Dan berapa banyak orang yang bisa mengerti tulisan tangan kita? Apabila seorang koordinator membutuhkan jolt note anggotanya, seberapa besar kemungkian bagi si koordinator untuk memahami semua coretan tangan reporternya?
Kalau anggota tim hanya dua orang, dengan mudah keduanya bisa duduk berdua dan membandingkan jolt note. Namun kalau anggota lebih dari empat dan tinggal di tempat-tempat yang berbeda?
Sekedar contoh. Investigasi huru-hara Kebumen. Ada cukup banyak reporter yang bekerja dari Kebumen. Na-mun mereka merasa tidak cukup. Perlu ada pekerjaan yang dilakukan di Jakarta, Yogyakarta, Semarang dan Ambarawa. Bahkan mereka membutuhkan bantuan tenaga luar untuk terjun di Kebumen. Berapa dana yang harus dikeluarkan bila setiap kali semua anggota tim harus rapat dan diskusi bersama? Greene membagi memo dalam dua macam: “copy ready” dan “procedural.”
Memo copy ready meliputi semua fakta yang sudah diverifikasi dan bisa diatribusikan dengan jelas (beda-kan antara ‘off the record’ atau ‘background’ dengan ‘at-tribution’ and ‘not to be quoted’ dan beri kotak dalam jolt note). Memo jenis ini disusun dalam blok-blok yang kelak bisa dipakai dengan mudah dalam sebuah laporan.
Memo ini jelas bukan cerita. Ia bukan cerita jadi karena blok-blok tersebut masih harus diatur dalam komposisi yang siap untuk publikasi. Ia belum memiliki jembatan, lead atau detail lain. Namun memo juga tidak perlu me-ngikuti aturan ‘awal, tengah dan akhir.’ Memo ini secara sederhana hanya sekumpulan blok-blok yang dibuat berdasarkan perkembangan harian atau dua harian untuk dipakai dalam konstruksi laporan lebih lanjut.
Memo prosedural meliputi semua fakta yang belum diverifikasi. Teori, spekulasi dan tip termasuk dalam ka-tegori ini. Sebuah sumber bisa menghasilkan dua ma-cam memo. Dalam kasus Kebumen misalnya. Seorang perwira militer mengatakan bahwa Prabowo Subianto ada di Kebumen pada saat yang hampir bersamaan de-ngan terjadinya huru-hara untuk menengok kuburan ka-keknya. Ini fakta yang sudah diverifikasi. Namun ketika perwira ini berspekulasi bahwa Prabowo terlibat keru-suhan, kita harus memasukkannya dalam memo pro-sedural.
Semua memo ini disentralisasikan pada suatu lokasi yang disepakati bersama. Karena ini sudah jaman internet, memo sebaiknya dikirimkan lewat internet ke-pada koordinator tim bersangkutan. Ia akan menge-ditnya menjadi memo ‘copy ready’ yang lebih baik dan nantinya akan menyimpannya di database.
Pengiriman memo harus memenuhi jadwal yang telah ditentukan bersama. Bersama dengan datangnya me-mo-memo ini, koordinator tim bisa melakukan diskusi dengan anggota-anggota timnya. Kalau perlu ada perba-ikan atau pengejaran hal tertentu bisa segera diputuskan. Syukur bila database memo ini bisa diletakkan dalam web server yang dilengkapi dengan password. Server ini sebaiknya dilengkapi dengan search engine sehingga bisa diakses oleh semua anggota tim tanpa harus mene-rima email setiap hari.
Bila semua bahan sudah lengkap dan penulisan final sudah siap dilakukan, wartawan yang bertugas menulis dengan mudah bisa memanfaatkan memo-memo ter-sebut. Kalau ia harus menulis laporan sepanjang 10,000 kata, katakanlah, ia harus membaca memo-memo se-panjang 100,000 kata. Sistem ini juga dengan mudah bisa mengatasi proyek yang terbengkalai gara-gara reporternya mengundurkan diri. Database ini sebaiknya disimpan. Database ini jangan dibuang setelah proyek berakhir. Greene memiliki database sejak tahun 1972. Dan dalam banyak hal, blok-blok yang semula tidak kita pakai, lima atau sepuluh tahun lagi, ternyata menjadi sangat berguna.
Investigasi memang akhirnya menjadi sebuah pekerjaan yang bukan saja makan waktu, sulit, penuh disiplin tapi juga berbahaya. Namun resiko besar ini yang tam-paknya justru membuat investigasi makin diminati oleh wartawan yang suka tantangan, maupun masyarakat pembaca suratkabar, pendengar radio maupun pemirsa televisi. Kompetisi media yang makin ketat membuat ke-mungkinan untuk membuat investigasi makin meningkat. Namun kompetisi ini bisa jadi lunak apabila pola kepemilikan media justru didominasi kelompok-ke-lompok bisnis yang lebih cenderung mengejar hardnews daripada analisa dan kedalaman suatu berita. Apapun yang terjadi, investigative reporting adalah salah satu pengembangan jurnalisme yang paling memikat, paling menantang, paling mahal dan paling tinggi resikonya. Singkat kata, selamat berpetualang dan bersenang-senang dengan investigasi!

0 comments:

Post a Comment