Reportase Omong Doang

Posted by Jammes 6/05/2008 0 comments

Kenapa berita di koran-koran dan televisi cenderung sama? Bukankah ini era reformasi dan kebebasan pers? Kemana wartawan-wartawan militan pergi? Di tengah kecenderungan besar jurnalisme omong-doang (statement-journalism), kita perlu mengingat kembali kewajiban wartawan yang paling dasar: meng-gali dan memverifikasi fakta dari lapangan, sesederhana apapun. Itu bisa dilakukan dengan kesediaan untuk keluar dari balik meja atau dari ruang konferensi pers: mengalami sendiri, merekam hidup orang kebanyakan dan menyua-rakan suara orang-orang yang kurang punya suara di media (voiceless).

Salah satu tuntutan sikap seorang wartawan adalah skeptisisme (kecurigaan/ketidakpercayaan terhadap yang apa yang kita dengar atau bahkan yang kita lihat sendiri secara permukaan). Skeptisisme menjadi motor penggerak keingintahuan, modal utama seorang wartawan.
Salah satu cara untuk memuaskan keingintahuan adalah menga-lami sendiri. Seringkali bahkan untuk hal-hal sederhana. Beberapa tahun lalu, ketika menjadi re-daktur rubrik ilmiah populer di Majalah Editor, saya ingin menulis cerita tentang “roller coaster”. Kenapa “roller-coaster” yang modern berbentuk elips, bukannya ling-karan sempurna?
Disamping menggali bahan dari literatur, saya juga menyempatkan diri pergi ke Taman Impian Jaya Ancol, membeli tiket naik roller-coaster Halilintar dan mencobanya.
Hasilnya adalah tulisan yang tidak hanya menjelaskan tentang konsep roller-coaster modern, yang lebih aman dari segi fisika dinamika karena berbentuk elips, tapi juga tulisan yang lebih berjiwa serta punya kedalaman karena penulisnya menghayati obyek tulisan-nya.
Dalam hal yang lebih dramatik, keingintahuan lah yang mendorong Alfian Hamzah meliput bencana tsunami di Aceh di kawasan “yang tak terjamah”. Atau yang mendorong saya meliput Perang Bosnia pada 1993. Keingintahuan dan sedikit kemarahan. Alfian marah pada dirinya sendiri karena tidak tahu apa yang terjadi dengan Calang, kota kecil di pantai Barat Aceh yang pernah dia kunjungi dua tahun sebelumnya, sementara banyak wartawan hanya berkerumun di Banda Aceh. Saya ke Sarajevo karena marah pada diri sendiri hanya bisa mengutip berita Reuters dan AFP.
Dalam beberapa tahun terakhir, saya banyak menulis tema sosial dan ekonomi (tentang subsidi, kemiskinan, utang luar negeri dan strategi pembangunan). Di sam-ping melakukan riset dan terus belajar tentang konsep ekonomi pembangunan mutakhir, saya juga mengim-banginya dengan mengenali realitas lapangan secara lebih baik. Salah satunya dengan menghayati secara langsung. Tidur di kolong jembatan, menyusuri Jakarta dengan sepeda motor, naik KRL yang padat (kadang di atapnya, untuk memahami kenapa orang menjudikan nyawa dengan risiko jatuh atau kena sengatan listrik).
Ada banyak hal yang semestinya kita lakukan sebagai wartawan (tidak selalu hal yang “heroik” seperti meliput perang) ketimbang hanya sekadar menampung kata-kata pejabat dan akademisi di ruang seminar serta konferensi pers.
Keingintahuan dan kemarahan. Membantu kita menggali fakta lebih jauh (dari sekadar statement) dan menuliskannya secara lebih meyakinkan dan berjiwa.

0 comments:

Post a Comment