Dia Tak Mau Menyusahkan Orang

Posted by Jammes 6/06/2008 0 comments

Kolom Kamisan yang ditulis Hasan Aspahani, Pimred Batam Pos tanggal 6 Juni lalu punya kesan tersendiri buat saya. Sebab, orang yang dipanggilnya Mama itu, adalah mamaku Emmywarsih yang melahirkan aku 41 tahun yang lalu. Ini hanya sekelumit kisah ketegaran dan kemandiriannya. Tulisan Hasan membuat aku bangga punya ibu seperti dia yang telah memberiku nama Socrates. Terima kasih yang tulus buat Hasan. Semoga tulisan itu tidak karena aku bosnya.


BULAN Agustus nanti umurnya sudah 65. Saya memanggilnya Mama, sebagaimana sebutan dia ketika meng-aku-kan diri kepada orang-orang muda seperti saya. Selasa kemarin, saya bertemu dia. Itulah pertama kalinya saya singgah di rumah yang ia bangun sendiri di Batubesar. Ya, ia bangun sendiri. Ia beli sendiri tanahnya. Ia rancang sendiri bangunannya. Bangunan yang amat sederhana, tapi tampak sekali ia sangat bangga dengan rumah itu. Di depan dan di belakang rumah itu ia tanami berbagai jenis tanaman obat. Ia beberapa kali menyebut kumis kucing.
"Saya sudah pelajari, obat-obat hasil pabrik farmasi itu kebanyakan bahan bakunya kumis kucing," katanya.
Ingatannya masih sangat baik untuk seorang seumur dia. Dia masih sangat sehat. Kemarin ketika saya telepon lagi, dia bercerita baru saja mencari buku untuk hadiah ulang tahun menantu perempuannya. Kepada anak-anaknya pun dia selalu memberi hadiah ulang tahun buku. Dia memang suka membaca. Amat suka. Mungkin karena itu ingatannya tak menumpul.
Ia bahkan mengingat jam ia dilahirkan. "Jam 12, hari Minggu. Di Batusangkar. Sekarang tinggal di Batubesar," dia lantas tertawa. Kalau bertemu dengannya saya tak pernah tidak menjumpainya sebagai seorang yang periang. Kelihatannya dia tak pernah bersedih, ah lebih tepat dia tampak selalu ingin membuat orang lain bersemangat. Ia ingin menularkan semangat hidupnya.
Saya mengagumi dia sebagai orang yang luar biasa. Dulu dia bekerja sebagai perawat. Ah, bahkan sampai sekarang pun di depan pintu rumahnya yang amat sederhana itu ia pasang papan nama dan kata "bidan" di depannya. Saya bertanya dengan hati-hati, takut membuat dia tersinggung,"Kenapa mama masih juga praktek bidan?" Dia tertawa dan ah syukurlah tawa itu bukan keluar dari hati seseorang yang tersinggung.
"Hasan, Mama tak mau membebani anak-anak. Kalau ada orang yang minta tolong mama bantu," katanya. Saya lalu meminta dia memeriksa tekanan darah saya. "Wah, rendah sekali, Hasan. Kamu harus banyak minum jus wortel dan tomat. Suruh Yana menyiapkannya," ia menyebut nama istri saya, yang juga dia kenal baik.
Kalau dia mau, dia bisa memilih tinggal di salah satu dari empat anaknya yang pasti tak akan merasa direpotkan oleh kehadirannya. "Mama tak mau merepotkan orang lain. Tak mau merepotkan anak-anak. Mama masih bisa berguna bagi Tuhan, diri sendiri dan orang lain."
Saya bilang bukankah anak-anaknya juga harus diberi kesempatan untuk membalas jasanya? Dia tidak mengharapkan itu. "Kalau Mama serumah dengan anak-anak, nanti suatu saat ada kalanya mama marah, atau bosan atau anak-anak yang bosan. Pasti akan jadi masalah. Lebih baik terpisah tapi kan juga tidak jauh, jadi sayangnya dobel. Sayang karena tidak serumah, dan sayang karena Mama memang harus disayangi," ujarnya, lagi-lagi dia tertawa.
Ia lantas mengambil sekeping obat dari lemari kaca di depan mejanya. Ada buku panjang, buku catatan keuangan yang baginya digunakan untuk mencatat apapun. Beberapa nomor telepon, dan tulisan berikut ini yang paling menarik:
Bicara 10 Persen
Mendengar 45 Persen
Membaca 25 Persen
Menulis 20 Persen.
Saya bertanya apa maksud tulisannya itu. Lagi-lagi dia tertawa. "Itu pola hidup Mama," dan ia bilang begitulah kalau ingin mencapai keberhasilan. Orang harus mendengarkan orang lain lebih banyak daripada bicara tentang diri sendiri. Dan tentu saja saya amat tertarik dengan persentase membaca dan menulis itu.
"Sejak tahun 1971 sampai sekarang, Mama langganan Intisari. Banyak ilmu pengetahuan bisa didapat dari majalah itu," katanya. 1971? Ah, itu tahun kelahiran saya. Dan dia sudah membaca majalah itu? "Sekarang mama juga langganan majalah lain, dan beli buku. Sekarang lagi baca buku ESQ," katanya.
Tapi, rasanya dia melanggar persentase pola hidupnya tadi. "Mama membaca Quran sehari satu juz, katanya. Lalu dia menyebut beberapa surat kabar, majalah, dan beberapa judul buku. Jangan-jangan persentase membaca dia lebih dari 25 persen!
Saya suka tulisan tangannya, khas tulisan orang-orang yang berpendidikan di sekolah lama. Saya ingat begitulah tulisan Ayah saya. Tersambung rapi dari huruf ke huruf, dengan derajat kemiringan konsisten dan selalu terasa ditarik dengan kecepatan tetap. Hmm, pernah lihat tanda tangan Soekarno? Nah, kira-kira seperti itulah. Dia sekolah perawat dulu di RSU Ahmad Muhtar, Bukittinggi.
Hal lain yang sangat saya teladani dari dia adalah semangat belajarnya. Beberapa waktu lalu dia kursus Bahasa Jepang! Ya, Bahasa Jepang. Saya tanya alasannya. "Anak angkat Mama kan menikah dengan orang Jepang. Kalau bertemu dengan keluarga Jepang itu, Mama bisa bicara dan belajar banyak, termasuk tentang ilmu pengobatannya," katanya.
Dia mengagumi Hembing, si pakar pengobatan herbal itu. Dia menyebut sudah tamat belajar pada Profesor itu tentang berbagai khasiat obat dari berbagai tanaman. Di mana belajarnya? "Saya ikuti dari televisi," katanya. Lihatlah, betapa dia tak memandang media belajar. Dia bisa belajar di televisi, dari siapa saja, dari buku, dari majalah.
Berapa saya membayar untuk konsultasi dan sekeping obat penambah tekanan darah? Gratis. Kami sepakat membarter jasa itu dengan sebuah handgrip - alat melatih otot tangan milik saya yang kebetulan saat itu saya kantongi.
"Tiap pagi Mama kesemutan, ini bagus buat mama, kamu beli saja lagi. Iklhas, Hasan?"
"Ikhlas," kata saya.
Sepulang dari pertemuan dengannya, saya lalu terpapar pada sejumlah pertanyaan: seberapa merepotkan saya bagi orang lain? Seberapa tergantung saya pada orang lain? Apakah saya sudah menularkan semangat hidup pada orang lain, atau sebaliknya merepotkan dan membuat orang lain tidak bersemangat? Seberapa merepotkan saya bagi kantor tempat saya bekerja yang tiap bulan menggaji saya? Seberapa merepotkan saya bagi negara saya? Apakah saya terlalu menuntut? Seberapa manjakah saya?
Setiap pertanyaan itu akhirnya hanya memingatkan saya pada Mama: Dia yang tak mau menyusahkan orang lain, bahkan orang yang akan sangat ikhlas ketika harus ia repotkan. Saya ingin bertemu lagi dengan dia, dan seperti setiap kali saya bertemu dia, saya akan menyalaminya dan mencium tangannya.***

* Komentari tulisan ini di www.hasanaspahani.blogspot.com



0 comments:

Post a Comment