CITIZEN JURNALISM

Posted by Jammes 6/12/2008 0 comments

Ketika orang biasa menjadi wartawan, inilah era citizen jurnalism. Wartawan tak bisa lagi mengklaim sebagai pewarta. Sebab, kemajuan teknologi bisa menjadikan orang biasa seperti wartawan. Apalagi, tak selalu wartawan lebih cepat, hadir pada setiap peristiwa. Wartawan bakal dapat saingan? Bisa jadi. Kehadiran backpaper jurnalis, wartawan yang meliput untuk koran, televisi dan multimedia pun belum tentu 'mengalahkan' orang biasa yang menjadi wartawan ini.

Bom yang mengguncang London, Inggris, 7 Juli 2005, tidak hanya mengguncang dunia karena persoalan ke-manusiaan dengan tewasnya lebih dari 50 warga. Akan tetapi, bagi pengamat media massa, bom London juga dianggap “tonggak” sejarah lahirnya pers baru, yakni jurnalisme warga atau citizen journalism. Dalam citizen journalism, bukan wartawan/reporter profesional yang membuat berita, tetapi warga biasa.
Adalah Tim Porter, seorang warga yang menuangkan unek-unek-nya di situs pribadi miliknya, First Draft. Saat bom meledak, istrinya berada di dekat lokasi kejadian. Porter baru mengetahui serangan te-roris itu saat dite-lepon mertuanya. Setelah menjemput istrinya, Porter lalu berselancar di dunia maya (internet) mencari informasi lebih lanjut.
Mengapa tidak mencari informasi di radio atau televisi? Menghe-rankan, kedua jenis media massa elektronik itu masih sunyi, bungkam seribu bahasa, seakan-akan ti-dak ada kejadian dahsyat. Situs dot.com, yang biasa menyuplai berita flash, juga sama saja. Apalagi mencari informasi di tumpukan koran yang terbit hari itu, sama juga bohong.
Porter dengan cepat menemukan informasi paling gres dan mutakhir tentang ledakan bom London dari se-buah situs pribadi. Jeff Jarvis dan Steve Yelvington, dua warga yang berada paling dekat dengan pusat ledakan, yang mempostingkan rekaman video kepanikan orang di dalam stasiun kereta api bawah tanah ke sebuah situs pribadi. Gambar diambil Adam Stacey, penumpang lain-nya, dengan menggunakan telepon genggam yang di-lengkapi dengan kamera video miliknya.
Beberapa menit kemudian, gambar yang sangat “ber-bicara banyak” itu sudah dapat diklik dan diambil (down load) saluran televisi BBC untuk segera disiarkan. Dalam First Draft, Porter menulis: “Terorisme membuat Stacey menjadi korban, teknologi membuatnya menjadi repor-ter! “
Dari kejadian itu, Jarvis yang memposting-kan gambar karya Stacey menyadari saat peristiwa penting terjadi, saksi mata yang berbekal alat komunikasi sekaligus pe-rekam gambar bisa langsung menyiarkan peristiwa itu dalam beberapa menit setelah kejadian. “Berita yang
dibuat wartawan tidaklah seperti itu. Tetapi kini, cara itu (warga menyiarkan berita) sudah menjadi kenyataan,” katanya.
Lalu, di mana peran wartawan dot.com, radio, televisi, atau wartawan harian yang katanya profesional itu? Cu-kup menampar wajah para jurnalis sebab kecepatan me-nyiarkan peristiwa tidak lagi mo-nopoli wartawan pro-fesional, tetapi diambil alih warga biasa. Warga yang menjadi wartawan!
Peristiwa bom London bukanlah yang pertama di ma-na warga biasa atau saksi mata menjadi mata kamera pertama sebelum sebuah peristiwa diliput wartawan sungguhan.
Tahun 1991, saat George Holliday, warga perumahan Lake View Terrace tengah mencoba handycam barunya, matanya tertumbuk pada satu adegan. Empat polisi kulit putih Los Angeles tertangkap ka-mera menyiksa seorang pengendara sepeda motor kulit hitam. Polisi meng-anggap korban, yang kemudian diketahui bernama Rodney G King itu, memacu kendaraannya di luar keten-tuan.
Bukannya diproses atau diingatkan, polantas itu ma-lah menyiksa King sampai babak belur dan pingsan. Hol-liday merekam peristiwa berdurasi 81 detik itu dengan geram. Tidak sampai hitungan jam, Holliday mengirim “gambar hangat” itu ke sejumlah saluran televisi nasional. Televisi menyiarkannya berulang-ulang dan warga Ame-rika pun murka.
Majalah Time menulis peristiwa itu dengan judul Ame-rica’s Ugliest Home Video, pelesetan dari America’s Funniest Home Video, salah satu program televisi yang merekam kejadian-kejadian lucu yang saat itu sedang digemari. Kerusuhan berbau SARA pun pecah, me-renggut korban puluhan nyawa, justru ketika pengadilan membebaskan keempat polisi yang menganiaya King tadi.
Di Indonesia, terjangan tsunami Aceh direkam oleh seorang penduduk menggunakan kamera genggam. Stasiun televisi swasta, Met-ro TV, “menjual” peristiwa aktual dan penting itu dengan mena-yangkannya ber-ulang-ulang. Saat pesawat Lion Air tergelincir di Bandara Juanda, Surabaya, 4 Maret 2006, Kompas memuat foto utama yang dibuat seorang penumpangnya, Sidik Nurbudi. Ia memotret penumpang lainnya yang berham-buran panik ke luar pesawat. Bandara yang dijaga ketat aparat keamanan mustahil dapat diakses warga sipil, termasuk wartawan.
Sejauh mana kiprah warga yang kebetulan menjadi saksi mata mengancam eksistensi wartawan dengan foto atau gambar bergerak yang disiarkan lewat situs-situs pribadi? Akankah fenomena ini mengganggu kre-dibilitas wartawan profesional? Bagaimana media ma-ssa mengantisipasi serbuan para blogger yang kenya-taannya lebih dahulu menyiarkan berita dibandingkan dengan media massa konvensional?
Itulah pertanyaan yang tidak hanya menjadi pemikiran para pakar komunikasi, tetapi juga orang-orang media massa. Dan Gillmor yang menulis buku We the Media: Grassroots Journalism by the People for the People (2006) juga mengingatkan para pemilik media massa akan kehadiran teknologi internet yang memungkinkan orang membuat situs pribadi atau mailing list untuk menyiarkan berita cepat.
Abad 21 ini, katanya, akan menjadi tantangan berat bagi media massa konvensional atas lahirnya jurnalisme baru yang sangat berbeda dengan jurnalisme terdahulu. Dalam citizen journalism, siapa pun dapat membuat, me-nyebarkan, bahkan menjadi narasumber, seka-ligus me-ngonsumsi berita dalam format tulisan, foto, suara, mau-pun gambar bergerak.

Syarat demokrasi
Gillmor, mantan kolumnis teknologi di San Jose Mer-cury News, mempromosikan jurnalisme warga ini dalam blog pribadinya, Bayosphere, sampai dia menulis bu-kunya itu. Shayne Bowman dan Chris Willis dalam lapo-rannya We Media: How Audiences are Shaping the Fu-ture of News and Information mengatakan, partisipasi warga dalam menulis dan menyiarkan informasi in-dependen, akurat, tersebar luas, dan relevan adalah syarat-syarat bagi demokrasi. Citizen journalism adalah media untuk memberdayakan kelompok kecil warga yang terpinggirkan dari kelompok masyarakat lainnya.
Warga yang sekaligus reporter, misalnya, akan efektif menyiarkan berita yang tidak tergarap media massa konvensional, seperti ra-dio/televisi lokal, tentang isu yang “tidak seksi”, seperti rendahnya pendapatan wanita pekerja, kelompok minoritas, bahkan kelompok anak mu-da. Karena tidak memiliki akses terhadap media inilah, warga lebih bersandar pada informasi yang diperlukan kelompoknya.
Namun, pakar komunikasi Universitas Indonesia, Dedy Nur Hidayat,menyebutkan, blog atau mailing list hanya efektif di lingkungan terbatas. Masalah kredibilitas dari para blogger juga patut dipertanyakan sehingga untuk informasi penting yang dapat dipertanggungjawabkan orang tetap mengandalkan media massa konvensional. Namun, jangan lupa, tanpa pelatihan jurnalistik pun o-rang yang berdiri di pinggir jalan dengan handycam, tele-pon berkamera, atau kamera digital di tangan dapat me-rekam dan menyiarkan peristiwa yang dialami atau di-lihatnya lewat blog. Dalam kasus bom London, terbukti reporter media massa profesional kalah cepat diban-dingkan dengan warga biasa.

0 comments:

Post a Comment