Investigasi di Indonesia

Posted by Jammes 6/11/2008 2 comments

Orang sering menyebut jurnalisme investigatif sebagai: “Journalism with an impact” “Reporting on public interest issues” Jurnalisme seperti itu kita perlukan sekarang ini, lebih dibanding pada era Soeharto. Namun, mengapa jurnalisme investigasi kurang berkembang di negeri ini?

Lihatlah pertanyaan-pertanya an seperti ini:Apa yang sebenarnya terjadi dengan Skandal Lippo? Siapakah sebenarnya Ali Imron cs, para tersangka Bom Bali? Apa kaitan Bom Bali dengan undang-undang anti-terorisme dan militerisme gaya baru? Itu hanya dua dari banyak pertanyaan penting yang bisa—dan berani—kita ajukan sekarang. Namun, meski era kebebasan pers telah kita nikmati, banyak media tidak bisa menjawab pertanyaan “investigative” seperti itu secara relatif jelas.
Tenggelam dalam timbunan berita dan peristiwa, banyak media bahkan tidak mampu merumuskan pertanyaan-pertanyaan itu sendiri—langkah awal membuat investigasi. Padahal, membedah kasus Lippo (ekonomi-bisnis) dan Bom Bali (politik) memberi publik peluang untuk memahami hal-hal fundamental yang mempengaruhi kehidupan mereka secara luas dan mendalam.
Tapi, ada beberapa masalah yang dihadapi untuk mengembangkan tradisi jurnalisme ini. Sebagian masalah kita warisi dari era pra-reformasi, namun era paska-reformasi juga tidak memberikan iklim lebih baik bagi tumbuhnya tadisi investigatif— setidaknya sejauh ini.

Potensi dan Kendala
Jurnalisme investigatif masuk kategori “advanced” dalam dunia kewartawanan:
Jurnalisme Dasar
Jurnalisme Interpretatif (indepth reporting)
Jurnalisme Investigatif (muckraking)
Jurnalisme investigatif menuntut tidak hanya dana, sarana (tools, ketrampilan) dan resources, tapi juga keberanian media dan wartawan mengambil risiko. Karena kesannya yang “sulit”, “berisiko”, “eksklusif” serta “canggih” seperti itu, jurnalisme investigatif cenderung dihindari. “Barrier to entry” jurnalisme investigatif relatif tinggi, baik bagi media maupun wartawan.
Pada era Soeharto, tradisi investigatif hampir sama sekali mati, meski ada sejumlah upaya untuk menumbuhkannya. Kediktatoran dan ketertutupan politik membuat semua risiko investigasi menjadi maksimal: SIUPP me-mungkinkan pemerintah mengontrol: mengendalikan arus informasi (monopoli atau oligopoli informasi) dan mencegah pluralisme kepemilikan media maupun isinya. Media yang melenceng bisa dibreidel, membuat pemilik kehilangan bisnis dan karyawan menganggur. Suasana seperti itu menumbuhkan “sensor diri sistematis”—wartawan yang berani bahkan akan dianggap pengkhianat karena mengancam eksistensi koran/majalah tempatnya bekerja. Wartawan yang berani bisa kehilangan kebebasan (dipenjara), bahkan nyawa.

Potensi
Kebebasan pers setelah jatuhnya Soeharto menawarkan iklim lebih baik untuk tumbuhnya tradisi investigatif: Tanpa SIUPP, banyak media bermunculan. Monopoli dan oligopoli informasi mengalami perlawanan hebat dari le-dakan pluaralisme media dan opini. Kebebasan pers juga mempromosikan keberanian wartawan untuk meng-ungkap hampir apa saja. Jika dulu keberanian menjadi “liabilities” bagi wartawan, kini cenderung menjadi “asset”. Persaingan bisnis media membuat masing-masing berpikir keras membuat keunggulan dan meningkatkan kualitas editorial. Jurnalisme investigatif adalah salah satu cara media untuk bersaing dengan media lain.

Kendala
Namun, tidak semua faktor di era reformasi mendukung tumbuhnya tradisi investigasi. Ledakan media memicu persaingan ketat. Pemasaran media menyempit ke dalam segmen-segmen yang kian kecil. Aspek bisnis menjadi menonjol dengan efisiensi menjadi kata kuncinya:
Media mungkin tidak dibreidel pemerintah, tapi mati akibat bangkrut karena tidak efisien. Media kini bisa me-ngabaikan pejabat/politisi, tapi mereka menjadi kian pe-ka terhadap bisnis (terutama bisnis besar) karena iklan menjadi nyawa media. (Sensor diri tetap bertahan di ka-langan manajemen media)
Struktur biaya didominasi oleh biaya percetakan dan kertas (sekitar 30-40% dari cover price), kemudian oleh biaya agen dan distribusi (30%), biaya administrasi (20%) dan pajak (10%). Ketika media melakukan efisi-ensi, biaya editorial (peliputan dan penulisan) adalah yang paling rawan dikorbankan. Mutu jurnalistik tidak membaik. Beberapa media memilih isu yang bisa di-produksi secara murah, namun menghasilkan oplah atau iklan besar (sejumlah tabloid seks, adalah salah satu ka-susnya). Kebebasan pers juga disertai keberanian publik untuk menuntut media/wartawan dari aspek hukum. Tuntutan akurasi liputan dan penulisan jadi lebih tinggi.
Walhasil, risiko jurnalisme investigatif yang dihadapi media atau wartawan di masa reformasi tetap sama besarnya. Sementara itu iklim politik-sosial belum pulih benar dari krisis yang kita warisi: Risiko tinggi dalam jurnalisme investigasi di era Soeharto telah membuat kita kekurangan sumber daya manusia (wartawan investigatif adalah mahluk langka) dan kelemahan ketrampilannya. Pendidikan jurnalisme cenderung menghasilkan pejabat humas, bukan wartawan. Pendidikan internal media tidak memberikan “insentif” memadai untuk peningkatan ketrampilan dalam investigasi.
Ketertutupan politik di era lama membuat kita, para wartawan, terjebak dalam “teori konspirasi” yang berbau tahyul dan diilhami kemalasan. Kita tidak terbiasa menggali bahan dan menemukan data/informasi empiris dari lapangan. Tapi, bahkan wartawan yang berhasrat dan berani mengambil risiko melakukan investigasi tidak mudah melakukannya. Jurnalisme investigasi menuntut tidak hanya keberanian, tapi juga ketrampilan, sarana dan resources:
News Cycle. Ledakan pers telah membuat dunia informasi kita seperti “rimba berita”. Disibukkan oleh breaking-news dan news-cycle yang cepat dan bertubi-tubi, wartawan dituntut memiliki pengetahuan dan ketrampilan lebih baik untuk bisa melakukan investigasi.
Public information. Pada era sekarang akses warta-wan ke lembaga negara maupun lembaga swadaya ma-syarakat sudah lebih bagus tapi kendalanya: data yang mereka miliki belum tentu ada (available), dan jika ada belum tentu bisa dipercaya (reliable)
Bagaimana Mengatasinya?
Meski iklim telah membaik, bagi banyak media dan war-tawan “barrier to entry” ke dunia jurnalisme investigatif tetap tinggi. Jika kita ingin mempromosikan tradisi ini, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan:

Perubahan Sudut Pandang
Jurnalisme investigasi perlu dipopulerkan dengan sedikit mengurangi mitosnya sebagai jenis jurnalisme yang “sulit” dan “canggih”. Jurnalisme investigasi tidak hanya monopoli majalah serius, misalnya, seperti yang selama ini dipercaya. Jurnalisme seperti itu bahkan cocok untuk koran dan tabloid.

Asosiasi
Perlu ada asosiasi wartawan yang gigih mempromosikan tradisi ini dan melakukan advokasi: Mempromosikan pentingnya jurnalisme investigasi baik ke publik maupun ke media. Membangun jaringan dengan asosiasi serupa (lokal, nasional maupun internasional) Memberi insentif kepada wartawan/media yang mengusahakan jurnalisme investigasi: memberi penghargaan (“award”), mencarikan dana untuk liputan investigatif. Memberikan pendidikan/workshop untuk jurnalisme investigatif Membela wartawan investigatif dari tekanan manajemen media maupun publik.

Database dan Jaringan
Perlu dikembangkan database (apa saja) dan membangun jaringan dengan akademisi/lembaga riset yang bisa membantu wartawan melakukan investigasi secara mudah. Orang seperti Lin Che Wei dan lembaga sema-cam Transparancy International, misalnya, bisa membantu dalam Kasus Lippo.

2 comments:

Unknown said...

Dunia politik di Indonesia sekarang memang lebih baik daripada zaman orde baru akan tetapi pemerintahan sekarang tanpaknya juga tunduk pada kepentingan asing (barat) di Indonesia.
http://politik.infogue.com/investigasi_di_indonesia

Jammes said...

Ya, relatif lebih baik, tapi ekonomi makin buruk. Soal tunduk, dari dulu karena mental bangsa ini masih seperti orang terjajah

Post a Comment