Kita Belajar dari Pers Bebas

Posted by Jammes 5/30/2008 0 comments
Kebebasan pers sejak reformasi, kini terancam. Tulisan Atmakusumah Astraatmadja yang dimuat di Harian Kompas ini, menarik dicermati, terutama oleh kalangan pers. Kini, banyak bermunculan kritik dan otokritik terhadap pers. Paling tidak, tulisan pengajar Lembaga Pers Dr Soetomo ini, bisa jadi bahan diskusi.

Kebebasan pers dan berekspresi muncul kembali di Indonesia dari
perjalanan panjang setelah menghilang selama 40 tahun—atau lebih
kurang dua generasi—antara 1950-an dan 1990-an. Dalam satu dasawarsa
terakhir kita berupaya membangun kembali kebebasan ini—yang pada suatu
masa, setengah abad yang lampau, pernah berkembang di negeri ini dalam
pemerintahan Presiden Soekarno pada awal 1950-an.

Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui Undang-Undang Pers yang baru pada
13 September 1999 dan Presiden BJ Habibie mengesahkannya sepuluh hari
kemudian.

UU ini menjamin kebebasan atau kemerdekaan pers, menghapus sistem
lisensi berupa perizinan untuk membatasi kebebasan pers, dan
meniadakan kekuasaan pemerintah untuk melarang terbitan pers. Tindakan
penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran terhadap media pers
cetak dan media siaran dikenai sanksi pidana penjara atau denda.
Wartawan memiliki hak tolak selain kebebasan untuk mencari,
memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan serta informasi.

UU ini juga menghapus pembatasan tentang siapa yang dapat bekerja
sebagai wartawan dan mereka bebas memilih organisasi wartawan untuk
menjadi anggotanya.

Prof Janet E Steele, pengamat pers dan associate professor George
Washington University di Washington DC, menganggap UU Pers Tahun 1999
signifikan karena untuk pertama kali membalikkan kedudukan pers
Indonesia dari posisinya yang berbeda pada masa sebelumnya. Dalam satu
tulisannya, ia mengatakan bahwa UU ini memberikan sanksi pidana denda
atau penjara bagi yang berupaya membatasi kebebasan pers, bukan
sebaliknya mengancam pers. UU ini juga memungkinkan pers mengatur
dirinya sendiri dengan mendirikan Dewan Pers yang independen.

Walaupun demikian, pada masa Reformasi, setelah kejatuhan pemerintahan
Presiden Soeharto 21 Mei 1998, kita masih harus belajar keras tentang
cara menyampaikan pandangan dan sikap secara damai melalui dialog.

Tekanan publik

Berakhirnya rezim otoriter di Indonesia tidak harus berarti berakhir
pula tekanan dan ancaman terhadap pers. Selama masa reformasi, ancaman
terhadap media dan kebebasan pers dapat timbul dari publik, termasuk
para pejabat pemerintah di daerah, selain dari peraturan hukum dan
perundang-undangan, terutama dari hukum pidana.

Hanya dua bulan yang lalu harian Kompas, 9 dan 12 Maret, memberitakan
bahwa para pegawai Dinas Kebersihan dan Pemakaman Kota Jayapura
membuang sampah dari lima truk di depan kantor harian Papua Pos.
Tindakan ini merupakan protes terhadap pemuatan wawancara dengan ketua
DPRD Kota Jayapura yang mengkritik banyaknya sampah yang tak
tertanggulangi di kota itu. Rupanya kritik ini menyebabkan mereka
tersinggung. Wali Kota Jayapura kemudian meminta dinas itu mengambil
kembali sampah tersebut, yang baunya menyengat. Namun, ia membantah
telah meminta maaf kepada Papua Pos.

Memang ada kalangan yang lebih menyukai tindakan seperti dilakukan
Dinas Kebersihan Jayapura terhadap pers daripada menggunakan hak jawab
walaupun cara ini lebih dibenarkan secara universal. Kekerasan dan
tekanan terhadap pers dianggap sebagai reaksi yang lebih efektif,
meskipun keliru, daripada menggunakan argumentasi intelektual untuk
menyelesaikan konflik akibat pemberitaan.

Ada hikmahnya

Akan tetapi, kontroversi terbuka selalu ada hikmahnya. Baik pengelola
media pers maupun masyarakat luas saling belajar bahwa lebih mungkin
menciptakan saling pengertian tentang masalah-masalah penting dalam
atmosfer terbuka—yang merupakan ciri kebebasan pers dan demokrasi.

Sekarang kita mempunyai sekira 900 media pers cetak, tetapi kebanyakan
hanya memiliki tiras berjumlah kecil. Lagi pula, khalayak yang gemar
membaca surat kabar, majalah, dan tabloid itu kebanyakan tinggal di
kota-kota besar, seperti Jakarta dan ibu kota provinsi.

Kita juga mempunyai banyak stasiun radio dan televisi, milik negara
dan swasta, yang masing-masing mungkin berjumlah lebih dari 50 dan
lebih dari 3.000. Suatu pertumbuhan yang amat pesat dibandingkan
dengan pada masa Orde Baru, yang hanya memiliki masing-masing 6 dan
800 stasiun. Namun, para pengelolanya sangat hati-hati ketika harus
melaporkan dan membahas masalah sosial dan, terutama, masalah agama.
Mereka biasanya sangat peka terhadap kemungkinan mendapat reaksi keras
dari khalayak penonton dan pendengar.

Akan tetapi, dengan melakukan praktik swasensor (self censorship) yang
demikian ketat, media massa dan publik hanya dapat belajar secara
sangat terbatas dari pengalaman kita yang berharga dan bersejarah.

Benteng terakhir demokrasi

Indonesia, sejauh ini, baru 10 tahun hidup dalam atmosfer
demokrasi—sejak masa akhir Orde Baru yang membatasi perbincangan
terbuka dan terus terang tentang masalah-masalah sensitif, seperti
yang berkaitan dengan keamanan negara, ras, suku, dan agama. Kita
masih memerlukan waktu lebih lama untuk membangun masyarakat yang
berpikiran terbuka.

Kebebasan pers adalah harapan kita untuk melanjutkan idealisme pers
bebas yang memiliki tujuan pendidikan.

Wakil Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International
Studies (CSIS) di Jakarta Rizal Sukma mengingatkan bahwa Indonesia
masih dipandang sebagai satu-satunya negara bebas di Asia Tenggara.
Pengakuan itu hanya mungkin karena media massa di Indonesia masih
terus menikmati dan mempertahankan kebebasan pers yang merupakan
benteng terakhir demokrasi.

Sayangnya, UU Pers Tahun 1999 justru digerogoti oleh UU Nomor 10 Tahun
2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang mengancam
kebebasan pers. Media yang dinilai tidak berlaku adil dan berimbang
kepada seluruh peserta pemilu dapat dikenai sanksi berupa pencabutan
izin penyelenggaraan siaran atau pencabutan izin penerbitan media
massa cetak. Ini jelas langkah surut bagi kebebasan pers di Indonesia.

0 comments:

Post a Comment