Mitos dan Realitas Wartawan

Posted by Jammes 5/03/2008 0 comments
SEJAK reformasi, media massa tumbuh bak jamur di musim hujan. Koran tumbuh luar biasa mencapai 2000 pener-bitan. Namun, tahun 2005 tinggal 800 saja. Hanya 30 persen yang sehat secara bisnis. Kematian pers lebih banyak karena hara-kiri lantaran kurang modal dan tak mampu mengelola Sumber Daya manusia. artawan. So, bagi yang masih ‘awam’ sama dunia kewartawanan, simak deh mitos tentang wartawan dan realitasnya di bawah ini.

Wartawan sosok yang menakutkan
Biasanya orang yang takut pada wartawan adalah ‘public figure’ atau lembaga perusahaan yang memiliki kasus jelek, sehingga mereka khawatir jika kasusnya ‘terendus’ wartawan bisa mencemarkan dan menjatuhkan nama baiknya. Memang nggak bisa dipungkiri kalau selama ini ada beberapa oknum yang membuat wartawan ditakuti oleh nara sumber. Misalnya oknum tersebut selalu meminta ‘imbalan’ untuk memuat berita-berita yang bagus dan mengancam akan menulis berita bernada negatif jika tidak diberi imbalan. Padahal pada kenyataannya, banyak wartawan yang menjunjung kode etik jurnalistik. Wartawan-wartawan masa kini sudah lebih santun dalam menghadapi sumber dan menuangkan berita. Bahkan tidak sedikit wartawan yang terus menjalin hubungan baik dengan narasumbernya.

Wartawan bisa menulis apa saja
Salah satu hal yang menyebabkan wartawan menjadi sosok yang menakutkan adalah karena wartawan dianggap bisa menulis apa saja yang didengar dan dilihatnya. Pada kenyataannya, dengan mengacu pada kaidah dan kode etik jurnalistik wartawan tidak bisa seenaknya menuliskan berita. Untuk menurunkan sebuah berita, terutama yang menyangkut informasi suatu kasus, wartawan harus mengkonfirmasikan kebenaran informasi tersebut pada sumber yang dapat dipercaya. Jika berita yang ditulisnya melenceng dari fakta yang sebenarnya, bisa menjatuhkan kredibilitas wartawan dan media yang bersangkutan.

Wartawan selalu minta amplop
Anggapan seperti ini adalah mitos yang paling populer di masyarakat. Wartawan dianggap selalu meminta sejumlah uang pada setiap sumber yang diwawancarainya. Wartawan juga selalu mengharapkan amplop dari panitia liputan acara. Memang ada sebagian wartawan yang bermental demikian, tapi tentu saja tidak bisa ‘dipukul rata’. Di masa sekarang, dengan semakin meningkatnya tingkat kemapanan media massa, praktek meminta ‘amplop’ pada sumber berita sudah bukan jamannya lagi.

Wartawan selalu urakan
Selama ini wartawan memang identik dengan pakaian kumal, mengenakan jaket atau rompi, menenteng kamera, dan rambut acak-acakan. Memang sih, tak sedikit wartawan yang berpenampilan demikian, terutama wartawan yang bekerja di lapangan. Karena wartawan yang ingin meliput peristiwa kebanjiran atau kebakaran nggak sreg juga kan kalau harus berdasi dan bersepatu mengkilat? Tapi memang ada juga wartawan yang selalu berpenampilan ‘urakan’ walau harus meliput dan menghadiri acara resmi. Tapi agaknya penampilan wartawan masa kini sudah mengalami pergeseran ke arah yang lebih baik. Wartawan masa kini yang rata-rata berpendidikan tinggi, terlebih bekerja di media yang cukup mapan, sudah bisa membedakan mana penampilan yang cocok untuk di lapangan dan mana penampilan untuk acara-acara resmi. Penampilan mereka belakangan inipun terlihat lebih rapih dan intelek.

Wartawan manusia sakti
Wartawan disebut manusia sakti karena selama ini wartawan terkesan mudah dalam menembus rumitnya birokrasi. Wartawan sering terlihat jalan melenggang masuk ke stadion sepak bola tanpa harus membeli karcis, sementara yang lain berdesak-desakan berebut karcis masuk. Begitu juga ketika menghadiri pertunjukkan musik, hiburan, bahkan menonton film terbaru di bioskop. Padahal sebetulnya, wartawan itu tidaklah sakti. Mereka bisa melenggang masuk ke tempat-tempat yang semestinya ‘bayar’, karena para wartawan sudah mengurus ID card atau tanda masuk untuk menjalankan tugas. Tanpa ID card, wartawan pun tidak diijinkan masuk, sama halnya dengan orang yang tidak membeli karcis.

Wartawan bekerja 24 jam
Selama ini wartawan dianggap tidak memiliki jam kerja yang jelas. Wartawan harus siap ditugaskan kapan saja. Karena itu banyak yang menganggap wartawan bekerja selama 24 jam penuh. Padahal wartawan juga manusia biasa yang butuh istirahat. Jika urusannya sudah selesai wartawan bisa pulang ke rumah dan istirahat dengan tenang. Tetapi memang, jika mendekati ‘deadline’ wartawan harus siap memenuhi deadline meskipun harus bekerja sampai larut malam.
Banyaknya mitos tentang profesi wartawan menunjukkan bahwa wartawan adalah profesi yang unik. Dan justru karena keunikannya tersebut, profesi wartawan belakangan ini makin diminati oleh kalangan muda yang dinamis dan kritis.
Agaknya anda yang menaruh minat besar dan kualified di bidang jurnalistik, tidaklah sulit untuk mengembangkan karir di dunia kewartawanan. Toh maraknya dunia pers dewasa ini membuka peluang kompetisi yang luas dan sehat bagi anda yang serius di dunia ini. Apalagi belakangan ini media elektronik dan media online terus bertambah. Dan anda yang menganggap bahwa profesi wartawan nggak bisa diandalkan buat masa depan agaknya harus mulai meralat anggapan tersebut.

0 comments:

Post a Comment