Redaktur dan Editing

Posted by Jammes 5/28/2008 0 comments
Masyarakat dan sumber berita akhir – akhri ini me-ngeluh bahwa koran-koran, masih terlalu sering salah. Sayangnya, mungkin karena rutinitas kerja segenap pe-kerja Koran yang koras apalagi yang terbit harian, ke-luhan itu sering berlalu dan dilupakan begitu saja.

Yang memperhatinkan sekali pun tingkat kesalahan itu cukup fatal, kadang kita lupa (atau tidak menyadari ber-buat kesalahan) untuk meralatnya. Begitu membaca ada yang “salah” dari berita kita, pembaca yang perduli bia-sanya telepon ke sekretaris redaksi pada pagi atau si-ang hari ketika para redaktur dan wartawan belum dating, sehingga dilayani seadanya saja dan sering juga tidak terkomunikasikan ke penanggung jawab halaman. Aki-batnya kritik dan “pesan” itu mubazir begitu saja.
Kritik yang relatif efektif adalah lewat surat, khususnya yang dialamatkan lewat rubric pembaca menuis. Sa-yangnya, rentang waktu kiriman pos yang agak lama me-ngakibatkan aktualitas dari pesan itu menjadi berkurang. Memang ada yang kirim lewat faks tapi jumlahnya masih sedikit.
Kalau Koran sering keliru maka akan mengganggu kre-dibilitasnya. Karena pada dasaranya Koran adalah bisnis kepercayaan. Kesalahan – kesalahan itu kalau beraku-mulasi akan menyebabkan media ditinggalkan pemba-canya (terutama yang kritis).
Kesalahan – kesalahan umum yang sering dikeluhkan pembaca, sumber berita atau pihak – pihak yang terkena dampak itu, misalnya salah tulis, salah kutip pernyataan, salah judul, salah menangkap maksud sumber berita, salah penyebutan waktu, berita dobel (pada edisi yang sama), berita terulang (dengan edisi sebelumnya), berita yang berat sebelah (mengabaikan prinsip coverage both side), dan lain –lain.
Pembaca terutama jenis pelanggan (yang bisa digo-longkan sebagai kelas menengah) kini makin perduli, misalnya soal akurasi. Mereka juga menuntut berita yang objektif, jujur, tak memihak dan santun. Mereka tidak ingin ketinggalan isu – isu yang aktual. Oleh mereka, Koran dipakai sebagai alat membantu menganalisis kejadian yang terjadi disekitarnya.
Mereka sebetulnya tidak menginginkan koran menjadi terlalu berani (karena mereka sudah pernah “kehilangan” dengan dibreidelnya Tempo, dan lain – lain). Tetapi me-reka juga tidak ingin koran menjadi mandul, sehingga tak berani memberitakan persoalan – persoalan yang riil yang jadi pertanyaan di benak pembaca (meski soal itu menyerempet “bahaya”). Jadi, persoalannya adalah bagaimana cara mengemas dan menyajikannya. Sehingga permunculan berita tetap “aman” alias tidak membuat marah siapa pun tanpa kehilangan objektivitasnya.

Akurasi
Editing adalah bagian penting dari proses kerja di ko-ran. Sebab, banyak kesalahan yang muncul dikoran yang di keluhkan pembaca sebenarnya bisa dikurangi jika proses ditingkat editing sudah dilakukan dengan benar. Di Jawa Pos, berita yang ditulis wartawan mengalami dua kali proses editing. Pertama oleh redaktur halaman dan kemudian oleh copy-editor. Yang terakhir terutama mencermati dari sisi kebahasaannya.
Berita tidak saja harus punya bobot (news value) tepi juga disajikan menarik. Karena itu redaktur harus pandai memilih judul yang menarik, mencermati apakah angel, teras berita (lead)-nya sudha bagus, pilihan kata – kata dan penulisannya sudah benar. Seorang redaktur juga haruslah kritis mencermati “kebenaran material” berita yang diperoleh reporter dari lapangan.
Jadi redaktur jangan sekedar jadi “tukang temple”. Se-bab, kerap terjadi, setelah membaca berita wartawan secara sekilas (tanpa mempertanyakan materi berita-nya), redaktur kemudian membubuinya judul dan menyer-ahkannya ke kopi-editor. Akibatnya, beban kopi-editor (yang sebenarnya hanya mengoreksi dari kebahasa-annya) jadi bertambah berat, karena dengan tingkat keawaman kopi-editor pun tahu ada banyak “kebenaran” yang dipertanyakan.
Jadi sebaiknya, saat berita itu lolos dari redaktur, maka tingkat akurasi mulai dari nama – nama, tempat kejadian, waktu, sitilah – istilah (termasuk yang dalam bahasa Ing-gris) dalam beirta itu sudah terjaga. Kopi-editor tinggal membenahi struktur kalimatnya saja atau kesalahan – kesalahan ketik.
Karena kebenaran material itu sangat penting, maka redaktur haruslah punya wawasan yang cukup tentang pokok masalah dari berita yang ditulis reporter. Dengan begitu,ada upaya “pengayaan” isi sehingga berita itu tidk kering. Karena itu, sebaiknya untuk berita – berita yang menyangkut aspek – aspek khusus, seperti berita eko-nomi, hukum, kesehatan, perlu diedit lebih dulu oleh re-daktur yang menguasai soal itu. Bahkan, di Jawa Pos pernah ada redaktur “ahli ABRI”, “ahli musik dangdut”, “ahli Iptek” dan lain-lain.
Tapi tak jarang terjadi, ,reporter lebih menguasai suatu persoalan, karena dia terus mengikuti perkembangan berita, banyak membaca dan berdiskusi dengan sumber berita. Dalam kasus seperti ini redaktur tak perlu malu bertanya ke reporter jika adal hal yang tidak diketahuinya.

Etika
Penilaian terhadap Koran bukan hanya pada apakah media itu layak dipercaya, seperti tingkat akurasi, objek-tivitas fakta yang disajikan, tapi juga bagaimana cara media itu “menggarap berita”, memperlakukan sumber berita dan mengantisipasi dampak sebuah berita bagi orang perorangan atau kelompok “jiwa” yang ditampilkan media itu.
Kita sudah sepakat untuk menghindari berita – beirta yang mengandung unsur SARA. Tapi, untuk hal – hal serupa tapi lebih “ringan” kita masih kerap kebobolan. Misalnya pernyataan (atau guyonan) dari Gus Dur soal salat terawih baru – baru ini yang mengundang banyak protes (terutama dari warga muhammadiyyah).
Kini ada sebagian masyarakat kita yang takut bertemu wartawan. Mungkin karena ada kecenderungan koran untuk “memvonis”. Membuat berita yang sepihak. Jangan hanya menampilkan sisi – sisi yang buruk saja dari tersangka alias orang – orang yang “kebetulan” dipe-riksa polisi atau kejaksaan.
Redaktur harus menolak berita yang ditulis dengan mengabaikan prinsip keseimbangan itu. Sebab, ada je-nis reporter yang memang malas untuk mengejar sumber berita untuk memberikan “hak jawab” atas dampak negative dari berita itu.
Selain itu, ada juga reporter yang memang sengaja memihak. Kalaupun redaktur terpaksa menurunkan berita yang sepihak karena kesulitan teknis maka dia harus menugasi reporter untuk memberi kesempatan pertama pada pihak – pihak yang dirugikan itu.
Meski bukan akibat pembuatan langsung media, ka-dang kita melakukan kesalahan yang cukup fatal. Misal-nya kasus perampokan uang didepan kantor gubernur tak lama berselang. Pihak penyidik pada mulanya malah mencurigai pelapor (seorang ibu yang pegawai negeri) sebagai tersangka. Berita ini lalu dilansir media, se-hingga yang bersangkutan dan keluarganya stress. Tapi, dikemudian hari polisi akhirnya membekuk beberapa tersangka sebenarnya dan bahkan menembak mati. Anehnya, media tak pernah merehabilitasi “nama ibu lugu” yang sudah terlanjur lugu itu. Jadi kesimpulannya, editing bukan hanya dimasudkan agar berita itu jadi enak dibaca tapi juga untuk membebaskan berita itu dari ane-ka macam distorsi, pemihakan, atau “menyakiti” orang lain.
Mengingat begitu pentingnya proses editing itu, maka seorang yang menjalankan proses editing seharusnya bukanlah tipe orang dibelakang meja. Dia harus punya pergaulan luas, berpengetahuan dan banyak membaca.
Memperbanyak kursus – kursus pelatihan pada pekerja pers, khususnya redaktur. Misalnya seorang redaktur ekonomi ikut kursus pasar modal, perbankan, dan lain – lain.
Redaktur perlu mengembangkan proses komunikasi dan penularan yang intensif denga reporternya, khu-susnya dalam perencanaan dan penulisan berita. De-ngan begitu proses “editing” bukan hanya ketika berita itu sudah dibuat, tapi sudah inheren sejak ketika reporter mencari berita di lapangan.

0 comments:

Post a Comment