Menulis Berita Ekonomi Bisnis

Posted by Jammes 5/13/2008 0 comments
Berita ekonomi dan bisnis, bagi negara seperti Indonesia, terus menempatkan diri pada posisi yang semakin penting. Dan pers bertambah sadar bahwa berita ekonomi dan bisnis bukanlah subjek yang sebaiknya ditempatkan di halaman tersembunyi. Berita ekonomi dan bisnis mempengaruhi siapa pun, dari bankir hingga mereka yang membeli roti atau beras di pasar. Simak apa kata sebuah koran terkemuka tentang berita ekonomi dan bisni

Sejak Program penyesuaian struktur ditetapkan sebagai langkah besar pertama dalam usaha pemerintah untuk mengubah keadaan ekonomi, istilah-istilah seperti Pasar Valuta Asing Lapis Kedua, pem-bayaran utang, penjadwalan kembali utang, pasar otonom, dll. Men-jadi rutin terbaca oleh warga biasa Nigeria.
Namun ada dua masalah dasar menyangkut berita-berita ekonomi dan bisnis. Yang kerap muncul adalah: Satu, rumit; dan Dua, men-jemukan. Penulis pada koran terkemuka tersebut benar tentang ma-kin sadarnya warganya pada isu-isu ekonomi. Namun bisa dipastikan kebanyakan warga sudah je-mu pada program dan lembaga yang disebutkannya– setidaknya dibandingkan dengan skandal-skandal politik yang tengah terjadi. Yang terutama menjadi penyebab adalah rumitnya berbagai program dan lembaga itu.
Istilah seperti Pasar Valuta Asing Lapis Kedua mungkin sudah men-jadi buah mulut warga kebanyakan, tapi mudah disangsikan banyak dari mereka – bahkan profesional terdidik sekalipun – yang mema-hami artinya. Seperti halnya orang di mana pun, kebanyakan warga tak belajar menjadi ekonom.
Jadi, apa tujuan seorang wartawan ekonomi dan bisnis? Jelas, yang terutama ingin dicapainya adalah melaporkan berita sea-kurat mungkin – sebuah misi luar biasa penting pada subjek yang memungkinkan seseorang kehilangan keberuntungan hanya karena salah meletakan titik atau koma pada deretan angka. Namun jika berita ekonomi dan bisnis pada hakikatnya kerap rumit dan mem-bosankan, ada tujuan lain yang tak kalah utamanya – menjadikan berita ekonomi dan bisnis: Satu, bisa dipahami; dan Dua, menarik. Kedua tujuan itu sama pen- tingnya baik di Lagos, di Lahore, di London, maupun Los Angeles. Bagaimana kita bisa membuat berita ekonomi dan bisnis mudah dipahami? Ada seorang redaktur yang, suatu ketika, mengatakan wartawan ekonomi dan bisnis yang baik harus mengikuti tiga aturan. “Yang pertama, “katanya, “adalah men-jelaskan. Yang kedua….. menjelaskan. Yang ketiga…..” – kita pasti bisa menebaknya.
Tapi sebelum wartawan bisa menjelaskan kepada orang lain, mere-ka sendiri harus memahami apa yang harus dijelaskannya. Dan un-tuk memahami, kerap mereka harus mengakui bahwa mereka memang tak tahu. Ini tak mudah.
Wartawan tergolong yang gengsian. Kalau kita benar wartawan, kita pasti tahu ini. Tak seorang pun mau mengakui kebodohan mereka, terutama bila seorang pejabat pemerintah atau seorang penting la-innya memanfaatkan peluang itu untuk menyepelekan. Tapi war-tawan, bagaimanapun, adalah komunikator, bukan ahli yang tahu segala hal; dan wartawan berkewajiban menyampaikan (berita) ke-pada pembacanya. Jika wartawan tak paham, pembaca pun tak akan bisa mencerna apa yang disampaikan. Jangan biarkan gengsi mem-buat lidah kita erat mengatakan, “Maaf, saya tak paham. Bisakah Anda menjelaskannya pada saya?”
Benar, seorang wartawan perlu memperhitungkan pembacanya ke-tika menulis berita, dan tak ingin menyepelekan. Namun lebih banyak penjelasan biasanya lebih baik ketimbang hanya sedikit. Pembaca yang cangih sekalipun perlu disegarkan ingatannya tentang konsep-konsep ekonomi. The Wall Street Journal bisa menjadi salah satu Koran terlaris di AS, tanpa kehilangan prestisenya, sedikit pun, ka-rena menyajikan berita ekonomi dan bisnis dengan penjelasan-pen-jelasan bagi pembaca yang bukan ekonom dan ahli bisnis. Tujuan Journal ekonomi dan bisnis – bukan mengecualikan mereka, seolah-olah bisnis adalah semacam kelab terbatas.
Setelah membuat berita ekonomi dan bisnis bisa dipahami, bagai-mana kita menjadikannya menarik? Jawaban pendeknya adalah: Pu-satkan sedikit saja pada statistik dan lebih banyak pada orang. Yang menjadi alas an orang di mana pun untuk lebih memilih berita tentang skandal politik mutahir ketimbang berita tentang pasar “Pasar Valuta Asing Lapis Kedua” adalah karena berita tentang skandal jelas me-libatkan banyak orang.
Ini bukan berarti kita sebaiknya hanya mengejar-ngejar skandal bis-nis. Ekonomi dan bisnis pada dasarnya menyangkut orang. Peru-bahan ekonomi mempe-ngaruhi sehari-hari orang. Bisnis penuh de-ngan drama kemanusiaan yang mencakup sukses, kegagalan, dan pergulatan antarpesaing untuk saling menyingkirkan. Tip-tip yang akan disarankan di sini ber-kaitan dengan cara mencapai dua tujuan ini: menjadikan berita dan bisnis mudah dipahami dan manarik. Sejumlah saran yang ada agak tak lazim; tapi akan baik jika dijadikan sebagai bahan diskusi.
Untuk memberikan ilustrasi disertakan kutipan dari sejumlah koran di Afrika Barat, India, dan di tempat-tempat lain di negara yang sedang berkembang. Beberapa kutipan sengaja diringkas karena keter-batasan ruang atau untuk menghindari dikenalinya koran atau peru-sahaan yang bersangkutan. Prinsip dasar jurnalistik bersifat univer-sal. Karenanya, tip-tip yang disarankan kebanyakan bisa diterapkan di mana pun profesi wartawan dijalankan. Kepentingan pembaca, bagaimana mereka bias memahami dan tertarik pada apa yang kita sajikan, betapa pun tujuan utama kita, kan?
1. Jangan Berkawan dengan Jargon
Simak kalimat dari laporan sebuah radio ini: Pejabat menyeru produsen barang-barang industri, konsumsi, dan produk-produk lain di dalam negeri agar terlibat dalam kampanye pengunaan bahan-ba-han dasar dari dalam negeri.
Gaya sangat akrab. Tapi apa maksudnya? Dalam bahasa seder-hana, pejabat itu semata mendesak agar industriwan dalam negeri mengunakan bahan-bahan mentah dari dalam negeri. Jadi, mengapa si wartawan tak mengatakaan begitu? Sayang, banyak wartawan terlalu kerap tergelincir ikut memamerkan jargon-jargon yang memusingkan dari ekonom, bankir, dan pejabat pemerintah ketimbang mengunakan bahasa yang digunakan banyak orang dalam percakapan sehari-hari. Bagi ekonom, jargon-jargon itu bukan masalah; mereka saling memahaminya – atau setidaknya ber-pura-pura begitu. Sebaiknya, bagi pembaca kebanyakan, jargon ekonomi membingungkan dan membosankan.
Istilah-istilah sulit serupa itu bisa tercetak karena begitu mudahnya mengulang kata-kata birokrat, ekonom, bankir, atau siaran pers ketimbang menerjemahkan ke dalam bahasa sehari-hari. Wartawan pun kadang-kaang senang pamer kepada pembaca, dan mereka percaya jargon akan dilihat sebagai tanda kemajuan pendidikan dan kecerdasan mereka.
Namun sering wartawan sendiri tak paham apa yang dimaksud dengan jargon tertentu dan karenanya merasa aman untuk menulis-kannya tanpa perubahan sedikit pun. Meski sulit mernerjemahkan jargon ke dalam bahasa biasa, wartawan harus berusaha mela-kukannya. Tujuannya: pengguna bahasa sederhana untuk soal-soal yang ruwet. Idealnya, gunakan kalimat pendek, sedikit kata.
Bila berlebihan, penyederhanaan memang berbahaya. Namun bias-nya penyerdehanaan bisa dilakukan dengan selalu berhenti dan ber-tanya apa yang sesungguhnya dimaksud sesuatu jargon. Jika mung-kin, teknik terbaik adalah menanyakannya kepada penceramah yang mengatakannya agar meringkaskaan apa yang dimaksudnya ke dalam bahasa sehari-hari.
Birokrat sering mengunakan jargon karena mengatakan sesuatu secara sederhana akan terlalu blak-blakan. Simak laporan dari sebuah surat kabar Cina ini:
Cina harus berusaha mati-matian menyesuaikan struktur industrinya
untuk memastikan penggunaan dan pengerahan sum-ber-sumber ekonomi secara rasional, kata seorang eko-nom di Beijing akhir pekan lalu. Kepada peserta se-buah simposium internasional ia mengemukakan kon-tra-diksi struktural masih berlangsung di dalam industri Cina.
Paragraf tersebut penuh eufemisme. Bila seorang eko-nom berbicara tentang “pengunaan rasional” dari “sum-ber-sumber ekonomi”, biasanya mereka bermaksud mengatakan perlunya pengurangan jumlah pekerja - atau, lebih terus terang, memberhentikan pekerja. Jika ini memang yang dimaksud, katakan saja demikian. Dan apa yang dimaksud pembicara itu ketika mengatakan “kontradiksi struktural” masih berlangsung di dalam industri Cina? Jika mungkin tanyakan.
Hindarkan pula pengunaan akronim yang mem-bingungkan bila menyebut nama organisasi atau sesuatu program. Bahkan pada penyebutan kedua, kerap lebih jelas dengan menuliskan nama lengkapnya atau sebagian saja—misalnya Barito ketika menyebut untuk kedua kalinya nama Barito Pasific Timber, ketimbang menyingkatnya menjadi BPT. Wartawan sering ngotot beralasan sesuatu jargon sudah lazim di sesuatu tempat—misalnya “integrasi ke belakang” di Nigeria - sehingga “ setiap orang tahu apa artinya”. Namun bila diminta menjelaskannya, sering terbukti bahwa setiap orang memang tahu kecuali sang wartawan. Itulah tanda bahwa wartawan telah menjadi korban bahaya jargon ekonomi, terlalu sering mendengarkannya sehingga seperti lazim. Reporter harus terbiasa terus menerus bertanya: Bisakah ini dikatakan secara lebih jelas?

2. Definisikan Istilah Ekonomi
Bila tak bisa menghindarkan jargon ekonomi, definisikan. Beberapa istilah ekonomi memang punya arti khusus yang jika ditanggalkan bakal membingungkan. Namun ingat, bagi banyak orang, istilah-istilah itu masih me-rupakan kode kata-kata yang misterius; Wartawan harus memecahkannya. Ini ringkasan dari sebuah artikel di halaman depan Daily Times, sebuah koran Nigeria:
Suku bunga antarbank, yang relatif stabil dalam tiga bulan terakhir, melonjak tiga persen pekan lalu….
Di bagian tengah berita yang sama, sang reporter me-nulis: Suku bunga antarbank adalah suku bunga pinja-man yang diberlakukan oleh bank kepada bank lain dan biasanya menjadi faktor dasar yang dipertimbangkan oleh bank dalam menetapkan suku bunga pinjaman
nasabahnya…..
Bravo! Tanpa definisi yang sangat membantu itu, tulisan tersebut jelas akan menjadi tak berarti bagi banyak pem-baca yang buta suku bunga antarbank. Definisi seperti itu sangat jarang ada dalam berita-berita bisnis.
Beberapa wartawan mengatakan bahwa definisi boleh-boleh saja untuk berita halaman depan sebuah koran umum, tapi pembaca halaman bisnis atau publikasi bisnis sudah sangat kenal dengan isti-lah-istilah ekonomi.
Mungkin. Tapi The Street Journal, yang pembacanya adalah kelompok yang cukup canggih, mendefinisikan bahkan istilah-istilah ekonomi yang sudah sangat biasa. Misalnya ketika istilah Produk Nasional Bruto (PNB) pertama kali muncul dalam sebuah berita, ini akan diikuti oleh penjelasan bahwa PNB adalah “nilai total barang dan jasa yang dihasilkan oleh sebuah negara”.
Sebelumnya telah dikatakan bahwa seorang wartawan harus berusaha mengunakan sedikit saja kata. Mendefinisikan, istilah, jelas, membutuhkan kata-kata ekstrak, Namun kejelasan lebih penting ketimbang keringkasan. Dan sebuah definisi yang berkepanjangan tak selalu perlu bila contoh ringkas bisa memperjelas makna sebuah istilah. Contohnya sebuah berita mungkin menyebutkan sebuah perusahan memberikan “fasilitas dan tunjagan, seperti cuti tahunan dan asuransi kesehatan”.
Tapi sering definisi panjang dibutuhkan. Sebuah koran Nigeria memuat artikel tentang pro kontra terhadap “konversi utang” - tanpa sekalipun mendefinisikannya! Sebuah penjelasan sederhana mungkin menyatakan: “Konversi utang adalah skema pembebasan Nigeria dari utangnya cara menukar utang dengan saham peru-sahaan-perusahaan Nigeria.”
Definisi objektif itu kelihatan mudah, tapi sesunguhnya sulit dituliskan. Itulah sebabnya reporter atau media masa tempat mereka bekerja harus membuat definisi yang bi-sa dengan mudah dikutip dan disisipkan ke dalam se-buah berita bila suatu istilah dipakai. Daftar serupa ini, tentu saja, tak mungkin diciptakan dalam semalam; ini akan berkembang seiring dengan berjalannya waktu.
Beberapa istilah yang biasa dipakai pijakan: neraca pembayaran, suku bunga utama, Dana Moneter Internasional, devaluasi, swasta-nisasi, Perjanjian Umum tentang Perdagangan dan Tarif atau GATT,

3. Gunakan Statistik secara Seletif
Berita bisnis biasanya mengandung terlalu banyak ang-ka. Meski angka yang penting bisa menjadikan berita lebih berwibawa dan akurat, wartawan harus me-ninggalkan angka-angka yang tak penting benar. Ini tam-paknya saran yang ganjil bagi wartawan bisnis, yang ba-han mentahnya kerap semata berupa angka dan stasitik. Namun memang banyak pembaca yang memandang angka terlalu kering dan sulit dicerna. Coba Tanya seseorang yang telah berusaha keras membolak-balik beberapa halaman tabel stasistik. Akibatnya, sebuah berita dengan begitu banyak angka menjadi—tebak sen-diri—membosankan dan sulit dipahami.Jika perlu, tam-bahan informasi yang bersifat statistik bisa dimasukan menjelang bagian akhir berita, khusus untuk pembaca yang tertarik pada detail. Dengan mengangkat begitu banyak angka di bagian atas berita, sang wartawan telah memaksa banyak pembaca enggan menyimak isi berita selebihnya.
Mengapa wartawan begitu kerap membebani berita dengan banyak statisitik? Hanya ada satu jawaban: me-reka menunjukan kepada pembaca (atau redaktur) bah-wa mereka menempuh segala kesulitan untuk menda-patkannya. Karena telah mencatat statistiknya, sang war-tawan ingin menumpahkan seluruhnya ke dalam berita. Namun karena membekukan benak pembaca, statistik sebaiknya digunakan secara selektif. Pembaca umum tak membutuhkan seluruh data—dan pembaca ahli—biasanya sudah punya sendiri.
Jika reporter dan redaktur mengira bahwa kepada pembaca perlu disajikan seluruh data yang ada, pemanfaatan bagan dan tabel akan lebih tepat -lebih mencuri perhatian dan mudah di pahami. Terkadang
wartawan seperti nyaris terobesisi oleh angka, misalnya ketikan mereka melaporkan nomor polisi kendaraaan atau nomor cek suatu bank. Di negara yang peme-rintahnya kerap mempertanyakan akurasi pers, mungkin ini perlu. Tapi biasanya informasi semacam ini tak me-nambah banyak peran pada berita kecuali menunjukan - sedikit berlebihan - bahwa sang wartawan benar-benar melakukan telah tugas.
Bila memang dipakai, angka terkadang bisa dibuat se-sederhana mungkin dengan cara membulatkannya atau memakai pendekatannya. Jelas, dalam beberapa segi pelaporan kegiatan bisnis, kete-patan sangat diperlukan; untuk harga saham dan komoditas, misalnya, fluktuasi sedikit saja sangat berarti. Tapi pada banyak keadaan seorang reporter cukup mengatakan “kira-kira separo” ke-timbang “49 persen” atau “hampir lipat tiga” ketim-bang “naik 295 persen”.

4. Bandingkanlah setiap Statistik
Bila kita memang mengutip statistik dalam sebuah berita, akan baik bila kita menempatkannya dalam kon-teks dengan cara membandingkannya dengan hal lain. Sebuah angka tak akan berarti apa-apa bila berdiri sendiri; maknanya yang sebenarnya muncul dari nilai relatifnya. Sebagai acuan, selalu ajukan pertanyaan ini pada diri sendiri, terutama bila hendak membubuhkan angka pada berita yang tengah ditulis: Dibandingkan dengan apa? Ini kebiasaan baik.
Banyak statistik bisa dibandingkan dengan statistik yang sama dari periode lain-umpamanya tahun lalu. Angka-angka itu pun bisa dibandingkan dengan statistik yang sama dari tempat lain-misalnya negara tetangga atau perusahaan pesaing. Jika angka yang dimaksud mewakili hanya sebagian dari suatu keseluruhan-misalnya laba satu divisi sebuah perusahaan-nilai relatifnya bisa ditunjukkan dengan menyodorkan presentasenya dari angka keseluruhan.

5. Ceritakanlah Statistik
Tapi bahkan membandingkan statisitik pun biasanya tak cukup. Seorang wartawan perlu melakukan hal lain ketimbang sekedar melaporkan angka. Ia harus menje-laskan nilai pentingnya dan mengatakan maknanya. Dan ini kerap tak sangat jelas. Bagaimana kita menjadikan sajian statistik yang bermanfaat itu sebagai sebuah berita yang bermakna? Perbandingan antar-tahun tak cukup untuk mengungkapkan seluruh cerita di balik stastistik. Wartawan harus berhenti sejenak, mencermati seluruh angka di hadapannya, dan bertanya pada dirinya sendiri: Apa yang sesungguhnya terjadi di sini?
Dengan bertanya—dan menjawabnya—sang reporter bisa menjelajah dimensi lain selain sekedar melaporkan angka, dan karenanya menjadikan stasistik yang ada sebagai sebuah berita yang ber-makna. Dan arti itulah yang harus ditempatkan di beberpa paragraf pertama, bukan angkanya. Dihadapkan pada stastistik kasar, seo-rang wartawan harus bertanya: Apa ini artinya? Jawa-bannya atas pertanyaan ini lebih penting bagi pembaca ketimbang angka-angka yang memunsingkan

6. Cari Sisi lain
Tak ada prinsip utama yang dasar dalam jurnalistik ketimbang meliput dari dua sisi. Tapi betapa seringnya ini dilupakan - atau diabaikan - dalam berita-berita bisnis. Sering seorang reporter menerima pemberitaan rutin sebuah perusahaan, menuliskan beritanya - dan, ya, itu saja. Atau reporter itu mendapatkan informasi rahasia tentang rencana sebuah perusahaan dan segara menuliskannya.
Namun biasanya ada segi lain pada berita-berita seperti itu, dan tak jarang banyak segi. Meski seluruh informasi yang dibutuhkan seorang reporter tampaknya sudah di tangan, bila hanya satu saja sumber informasi, jarang diperoleh gambaran yang lengkap pada sesuatu hal. Reporter harus selalu bertanya-tanya. Dengan me-milih apa yang menarik dalam suatu berita - atau bahkan berita apa yang akan ditulis - seorang reporter sudah memihak. Itulah sebabnya kita harus berusaha mati-matian untuk bersikap adil kepada semua pihak.

Kadang-kadang ‘keberpihakan’ serupa itu bukan timbul akibat kecerobohan atau kemalasan reporter tapi karena adanya “tekanan” dari luar - dari sebuah perusahaan, atau pemasang iklan. (Ada pula, terkadang, “tekanan” dari dalam, dari pemilik koran yang tak ingin
kepentingan bisnisnya - atau teman-temannya - dieksploitasi.)
Sayangnya, keadaan keuangan banyak koran memberi peluang pemasang iklan untuk mendiktekan topik liputan, melemahkan kebebasan editorial. Wartawan profesional hanya bisa berharap agar penerbitan bisa menahan
“godaan-godaan” untuk menukarkan liputan yang positif demi iklan.
Kalau bukan itu yang terjadi, berita yang hanya menampilkan satu sisi saja cenderung menimbulkan kecurigaan pembaca bahwa tulisan yang ada sudah “dibeli” oleh pemasang iklan. Contoh, sebuah majalah bisnis di sebuah negara pengahsil minyak menurunkan laporan lengkap tentang usaha perusahaan minyak setempat untuk melindungi lingkungan.

7. Memanusiakan Berita Bisnis
Berita bisnis memang berhubungan dengan angka. Na-mun lebih dari itu, ia sekaligus juga menyangkut manusia. Bukan sekedar pejabat pemerintah dan eksukutif bisnis dan bankir dan ekonom, tapi manusia
nyata—lelaki dan perempuan yang menjadi konsumen dan pembayar pajak. Ini begitu sering dilupakan oleh wartawan bisinis.
Orang senang membaca drama keberhasilan dan ke-gagalan dan persaingan. Mereka senang mendegar su-ara rata-rata orang dalam kalimat-kalimat sederhana dan bersifat sehari-hari. (kontras dengan kutipan-kutipan
menjemukan dari para eksutif perusahaan, seperti termuat dalam siaran-siaran pers.) Mereka suka deskripsi rinci tentang orang dan peristiwa yang memungkinkan mereka menangkap apa yang sesunguhnya terjadi, seperti menyaksikan film.
Tapi bahkan dalam berita bisnis yang paling dasar pun
wartawan harus mencari sisi-sisi kemanusiannya. Ini biasanya menjadi petunjuk bagaimana wartawan mengaitkan sisi berita dari sebuah cerita. Pembaca biasanya harus bisa menjawab pertanyaan: Bagaiamana berita ini mempengaruhi saya?

8. Tunjukkan Makna Berita Bisnis
Bagi seorang wartawan bisnis, ada kewajiban untuk tak hanya melaporkan apa yang terjadi atau apa yang dikatakan seseorang, tapi juga menjelaskan maknanya. Berita harus lulus “uji lalu apa”
Sebuah tulisan berita harus menjelaskan kepada pembaca apa akibat sebuah peristiwa, mengapa pe-ristiwa itu penting - bagi perusahaan, bagi angkatan ker-ja, bagi,industri, bagi negara. Mengapa pula ia penting bagi pembaca.
Itulah cara terpenting yang memungkinkan wartawan menjadikan sebuah berita bisnis yang rumit menjadi mudah dipahami. Jelas, pertanya-pertanyaan itu tak bisa dijawab dalam satu tulisan saja. Tapi beberapa di antaranya harus. Dan jawabnya harus berada di awal tulisan, bukan tengelam dalam bagian-bagaian yang semakin tak penting. Sebuah laporan berita yang baik haruslah melaporkan fakta-fakta penting di bagian awal, lalu diikuti oleh penjelasan sederhana mengenai maknanya. wartawan bisa - dan harus - menarik simpulan logis dari peristiwa tanpa masuk ke dalam opini yang bisa diperdebatkan atau spekulasi yang tak bisa di-pertanggungjawabkan.
Salah satu cara untuk mengetahui apakah repoter su-dah menerobos wilayah opini yang berlebihan adalah: Bisakah pembaca mengatakan di mana letak simpati reporter, dipihak mana ia berada? Seorang pembaca harus tak bisa menjawab pertanyaan ini.
Beberapa penerbitan dan kantor berita cenderung men-jauhkan diri bahkan dari analisis dasar. Atau wartawan berhadapan dengan kendala politis. Jika demkian halnya, mereka bisa saja mencari sesorang,
analisis luar atau pejabat terkait, yang bisa memberikan analisis. Jika pada sebuah konferensi pers reporter ha-nya berkesempatan mengajukan satu pertanyaan, tak keliru jika bertanya: Mengapa berita ini penting? Biarkan sang pembicara menganalisinya sendiri. Tak jarang
hal ini menjadi lead sebuah tulisan. Tanpa analisis tulisan tak memberikan pemaham yang dibutuhkan pembaca.

9. Jangan Terpaku pada Siaran Pers
Sebuah siaran pers perusahaan atau pemerintah hanyalah sebuah titik beranjak bagi suatu berita bisnis. Liputan lanjutan biasanya diperlukan untuk menghidup-kannya. Kita perlu juga mewawancari perusahaan-peru-sahan pesaing, pengamat luar, konsultan, akademisi,
atau sumber-sumber lain untuk mendapatkan sisi dari berita. Dan sisi siara pers juga hampir selalu menim-bulkan pertanyaan yang mendorong kita untuk melengok langsung perusahaan yang mengeluarkannya. Mungkin pertanyaan penting adalah -silakan tebak - “lalu apa?”

10. Kail Gagasan-gagasan Baru
Mungkin cara terbaik untuk membuat berita bisnis menarik perhatian pembaca adalah menuliskan sesuatu yang tak biasa, hal menarik yang tak dilaporkan penerbitan lain. Dengan mencari sisi baru perkem-bangan bisnis. Dengan sudut pandang bisnis pada be-rita-berita umum. Dengan melihat sudut pandang ke-manusiaan pada berita bisnis. Dengan mempelajari ke-cenderungan-kecederungan yang menimbulkan dari - dan punya arti lebih penting - ketimbang peristiwa-pe-ristiwa tertentu. Itu jelas menurut penulisan berita feature yang melebar dari sekedar berita-berita sehari-hari yang bersifat siaran pers atau pengumungan pendapatan perusahaan. Tujuannya: Untuk mengajak pembaca lebih menyimaknya ketimbang berita lain pada halaman yang sama - atau justru berpindah halaman. Setiap media ma-ssa harus mendorong rapat-rapat seperti ini. Inilah be-berapa cara untuk mengali gagasan:
Cari sudut pandang bisnis pada berita-berita umum. Banyak hal yang kini tak bisa lepas dari bisnis, dan men-cari sudut pandang bisnis pada sebuah berita besar ber-peluang menarik minat pembaca.
Perhatikan kecenderungan tertentu. Sebuah peristiwa bisa jadi memang penting, tapi akan lebih penting bila itu jadi tanda bagi sejumlah kecenderungan yang lebih besar. Perhatikan hutannya, jangan sekedar pohonnya.
Cari sudut pandang kemanusiaan. Membaca tentang orang yang sukses berbisnis adalah hal yang menarik.
Hidup kerap sedramatis fiksi. Peliputan mendalam ke-rap bisa membangun sebuah narasi bisnis yang penuh perjuangan, harapan, kekecewaan dan akhirnya, keber-hasilan atau (kegagalan).
Wartawan juga harus mempertimbangkan perluasan definisi tradisional tentang berita bisnis. The Wall Street Journal telah menambah bagian yang berisi peliputan-peliputan sisi bisnis kesehatan, ilmu pengetahuan, hukum, olah raga, hiburan, dan subjek-subjek lain. Perhatikan pula bahwa bisnis tak selalu mengenai perusahaan besar. Bisnis skala kecil pun tak kalah penting nya bagai ekonomi suatu negara dan biasanya melibatkan lebih banyak orang. Berita tentang isu
yang mempengaruhi bisnis skala kecil umumnya banyak dibaca.
Wilayah bisnis lain yang kini berkembang adalah keu-angan orang seorang, yang menjanjikan kepada pem-baca saran ahli tentang bagaimana mengelola uang. Berita-berita demikian ini meliputi subjek-subjek,seperti jenis investasi baru, praktik penipuan yang merugikan investor atau perbandingan mengenai insentif yang ditawarkan bank kepada nasabah.

0 comments:

Post a Comment