Wajah Koran: Era Visual dan Estetika

Posted by Jammes 5/30/2008 0 comments

Inspirasi terpenting dari munculnya beberapa media cetak baru (Jawa Pos, Media Indonesia, Republika, Detik Almarhum, Detektif Romantika, Gatra, dan laian–lain ) beberapa tahun terakhir adalah: sebuah kesadaran bahwa koran yang diterbitkan dengan wajah dan gaya “pas – pasan” harus buru – buru “sadar sendiri” kita, para pengelola harus segera sadar betapa sekarang adalah zaman dimana koran telah berada pada tatanan estetika sangat maju masyarakat pembacanya.

Sudah saatnya koran ditampilkan lebih “berilmu” berdisiplin, lebih cantik dan lebih profesional. Semangat romantisme para pekerja surat kabar harus betul – betul digeser menjadi semangat profesi. Dan kehadiran beberapa media cetak baru itu seperti hendak mecibir betapa “iba” melihat koran–koran yang dicetak karena “hanya” halaman–halaman sudah penuh dengan kum-pulan foto dan berita.
Bahwa koran selalu dipenuhi oleh orang–orang ber-bakat, tentu adalah benar. Penerbit surat kabar sebagai sebuah institusi adalah tempat para pekerja yang penuh semangat, juga tidak terlalu salah. Tapi celakanya, se-mangat perjuangan dan modal bakatlah yang sering muncul dominan. Sedangkan semangat yang lain yang sangat menonjol adalah semangat artistik, hanya diterje-mahkan secara “serampangan dan sambil lalu”.
Maka wajar ketika pencapaian di bidang estetika da-lam masyarakat telah begitu kompetitif, justru dunia koran kita dalam bentuk penampilannya yang pontang – pan-ting. Tak sedikit koran – koran lama dan tua , lebih – le-bih yang kecil harus tersingkir dan mati. Kalaupun ada beberapa yang hidup karena dihidup – hidupkan, itu tidak lebih dari tindakan meromantisasi masa silam saja.
Pada saat iklim kompetisi estetika begitu ketat seperti sekarang, gairah menampilkan (wajah) koran harus difor-mat sebagai sebuah kesenian yang sungguh. Dan dalam industri perkoranan sekarang, kesenian haruslah diperla-kukan sebagai sebuah disiplin ilmu betulan.
Bukan kelangenan! Metode – metode dasar seni harus “terukur” dengan baik serta “sekolahan”. Dalam persa-ingan yang wajar, bakat dan semangat pun sekarang rasanya sudah tak lagi cukup. Karena kehadiran media cetak generasi baru itu agaknya begitu kaya dengan “gaya – gaya” sekolahan disamping bakat dan semangat.
Sampai seberapa jauh sebenarnya gaya dan pe-nampilan kita dibutuhkan? Sejauh kebutuhan – ke-butuhan Koran yang lain. Tawaran visual berbagai televisi akhir–akhir ini juga lagi–lagi harus menyadarkan kita, bahwa ada yang berubah pada masyarakat kita. Gam-bar tiba – tibamenjadi sesuatu yang sangat penting. Me-ngemas, menata dan mengolah gambar juga menjadi keharusan. Sekarang, seorang penyanyi misalnya, tak cukup hanya bersuara bagus semata. Ia harus sensual, seksi dan memenuhi keharusan–keharusan visual yang lain. Sedikit banyak dari keterpengaruhan media pandang dengar terhadap masyarakat pembaca koran adalah adanya kecenderungan untuk cepat mereaksi. Cepat menolak atau sebaliknya ; mengandrungi. Gene-rasi koran muda seperti disebut di atas rasanya lebih siap dalam memasuki wilayah kompetisi kreativitas vi-sual jenis ini. Minimal, sedikit banyak mereka telah me-lewati persoalan tersulit tentang estetika.
The Straits Time, Koran Singapore yang juga ber-saing dengan koran–koran Indonesia, dalam waktu de-kat akan mengubah gaya penampilannya yang lama. Da-lam release yang dimuat Asian News Paper Focus bebe-rapa waktu lalu disebut hal yang tak kalah penting dari perwajahan TST adalah karena ia ingin menjangkau (to reach) generasi MTV Singapore, segmen yang semen-tara ini menjadi rebutan stasiun televisi. Maka itu kesan lama yang cenderung berat dan kaku selama ini harus buru– buru diganti dengan kesan ringan, cerah, berwarna dan enak dibaca.
Lantas bagaimana dengan beberapa penerbitan kita yang karena keterpaksaan tertentu tak mampu cetak penuh warna? Orang sering lupa bahwa hitam adalah bagian yang amat dominan dari penbendaharaan warna. Kita misalnya lebih biasa menyebut televisi hitam putih (grey scale) sebagai : bukan TV berwarna. Bahwa Mer-cusuar atau Suara Maluku tak mampu tampil warna – warni adalah iya. Tapi tampil dengan warna grey scale juga mestinya tak perlu terlalu dijadikan persoalan. Se-bab hitam putih pun sebenarnya telah banyak memberi alternatif pilihan.
Yang penting, sejauh mana kita bisa mengoptimalkan seratus gradasi dari hitam (black) 100% hingga 1%. Kompas Detik Almarhum misalnya, lebih memilih variasi grey scale, ketimbang Magenta, Cyan, dan Yellow. Tapi orang jarang berfikir bahwa Kompas tak mampu tampil full color. Maka itu, dalam berhadapan dengan keterbatasan seperti ini, anggaplah penampilan Grey Scale sebagai sebuah pilihan. Bukan keterpaksaan! Minimal sampai saatnya kemampuan untuk cetak penuh warna itu tiba.

0 comments:

Post a Comment