Wartawan Amplop dan Bodong

Posted by Jammes 5/02/2008 0 comments
Jika Napoleon lebih takut kepada wartawan daripada 100 divisi tentara, saya lebih takut 10 orang tentara daripada 100 wartawan, karena 100 wartawan bisa dihadapi dengan 100 amplop”.


Sindiran yang dilontarkan Jaksa Agung Ali Said pada tiga puluh tahun silam tersebut masih relevan dengan kondisi pers saat ini. Sebab, saat ini masyarakat masih diliputi keresahan dan ketakutan terhadap wartawan amplop dan wartawan bodong alias wartawan gadungan. Masyarakat resah karena wartawan amplop sering meminta uang transpor, meminta sumber berita untuk memasang iklan dan mengancam memberitakan aib (korupsi atau skandal seks) si sumber berita jika mereka tidak memberikan uang.
Sejak reformasi, koran tumbuh luar biasa mencapai 2000 pener-bitan. Namun, tahun 2005 tinggal 800 saja. Hanya 30 persen yang sehat secara bisnis. Kematian pers lebih banyak karena hara-kiri lantaran kurang modal dan tak mampu mengelola SDM.
Momentum reformasi, juga berimbas ke Kepulauan Riau. Pada tahun 1998, terbit Sijori Pos sebagai koran lokal pertama di Kepri yang kemudian berganti nama menjadi Batam Pos. Setelah itu, berturut-turut terbit Posmetro Batam, Harian Lantang, Sijori Mandiri, Batam News, Tribun Batam dan Media Kepri yang belakangan juga berhenti terbit.
Juga hadir belasan stasiun radio, tabloid, majalah dan koran mingguan serta tiga stasiun televisi seperti Batam TV, Semenanjung TV dan Urban TV. Peranan media dari luar Kepri, secara perlahan tersisih dengan kehadiran pers lokal.
Dengan gambaran seperti itu, pertanyaannya, apakah wartawan di Kepulauan Riau sudah bekerja secara profesional? Kondisi pers di Kepri salah satu daerah yang termasuk crowded di Indonesia. Sebab, dari jumlah media yang pernah tercatat di Pemko Batam saja—baik cetak mau pun elektronik—mencapai 87 media.
Jumlah wartawan pun diperkirakan mencapai 500 orang. Ini belum termasuk di Tanjungpinang, Karimun, Natuna dan Lingga serta pu-lau-pulau lainnya. Sedangkan jumlah anggota PWI Cabang Kepri yang baru berdiri sejak 2004 hanya 137 orang wartawan. Selain war-tawan media luar Batam, media yang pernah terbit lalu mati, masih tetap mengaku sebagai wartawan yang dikenal sebagai wartawan ’’bodong.’’
Dari berbagai kasus yang melibatkan wartawan dan dilaporkan ke PWI Kepri, sebagian besar karena pelanggaran etika jurnalistik se-perti penulisan yang tidak berimbang, mencampuradukkan fakta dan opini, tidak akurat dan melanggar norma kesusilaan masyarakat serta mengandung prasangka suku, antar golongan, ras dan agama seperti yang kita saksikan di persidangan antar pejabat belakangan ini di Tanjungpinang.
Sementara, kasus-kasus pidana yang menyangkut pidana yang dilakukan oknum wartawan seperti pemerasan, pencemaran nama baik, pelecehan seksual hingga pemerkosaan. Akibat ulah oknum-ok-num tersebut, merusak imej dan mengganggu kenyamanan war-tawan yang berusaha menjalankan tugasnya secara profesional.
Selain itu, beberapa oknum wartawan yang berasal dari luar Kepri, setelah melakukan perbuatan tak terpuji, lalu pindah ke pulau lain yang dijuluki ’’wartawan antar pulau’’ yang juga merugikan nama baik wartawan di daerah ini. Mereka terkenal dengan istilah ’’kapal pecah, hiu yang kenyang.’’ Maksudnya, setelah sebuah kasus diberitakan, maka mereka beramai-ramai memeras narasumber tersebut.
Masalah lain yang dihadapi pers di Kepri adalah persoalan mana-jemen. Ketika pers berkembang menjadi industri, selain modal, tek-nologi canggih untuk kecepatan informasi, perusahaan pers juga dituntut mempercanggih sistem manajemennya secara profesional. Yang terjadi, dari sekian banyak media lokal tersebut, lebih banyak yang mati daripada yang bertahan hidup.
Selain kesulitan modal—berkantor di rumah, dengan beberapa komputer, mencetak di perusahaan lain, terbit tidak teratur, meng-andalkan biaya operasional dari sumbangan atau dimodali pejabat dan pengusaha tertentu—proses rekrutmen dan kualitas sumber daya manusia yang kurang memadai. Malah, beberapa perusahaan media yang tampak bersinar pun, menghadapi masalah kesejah-teraan karyawan seperti tidak naik gaji atau terlambat gajian.
Namun, di sisi lain, Batam dan Kepulauan Riau selama ini dikenal sebagai ’’daerah basah’’ dimana penegakan hukum lemah dan ba-nyak orang bersikap aji mumpung. Artinya, semakin banyak penjabat dan pengusaha yang menyeleweng, maka makin banyak juga oknum wartawan yang memanfaatkan kondisi ini untuk kepentingan dirinya sendiri.
Kasus-kasus korupsi, penyeludupan, pembuangan limbah, pem-balakan hutan, pengerukan dan penjualan pasir, perdagangan wanita dan anak-anak (trafficking) perjudian dan pelacuran, kejahatan tran-snasional, cybercrime, black market dan sebagainya menyebabkan orang gampang tergoda dan silau dengan materi. Termasuk war-tawan. Jadi, perlu syaraf baja dan mental yang kuat agar tidak terlibat konspirasi dengan pelaku kejahatan ini.
Dibandingkan sebelumnya, sebenarnya jumlah wartawan bodong atau orang yang mengaku-ngaku wartawan, sudah jauh berkurang. Terutama sejak lesunya perekonomian Batam dan puncaknya ditutupnya perjudian. Namun, secara diam-diam, beberapa oknum wartawan bodong, masih mencari-cari celah untuk menjalankan modus operandinya, meskipun medianya telah lama tutup dan berhenti terbit.
Tindakan wartawan bodong memang keterlaluan karena mereka juga berani memburu narasumber atau pejabat yang akan diperasnya. Malah, beberapa di antaranya berani beroperasi secara terbuka. Terutama di tempat-tempat yang dianggap ‘’basah’’ seperti Bea Cukai, kantor Samsat, Pelabuhan, dan bahkan sampai ke kantor pemerintah.
Meskipun jumlahnya banyak, sejak dulu dan sekarang, cara beroperasi wartawan bodong tak banyak mengalami perubahan. Mereka biasanya beroperasi secara berkelompok, setidaknya lebih dari satu orang dan tak lupa mereka selalu memakai atribut “pers” di tubuhnya. Ada kesan wartawan gadungan ini tidak cukup pede untuk menjalankan operasinya secara sendirian.
Ada ciri-ciri yang membedakan antara wartawan amplop dan wartawan bodong. Tapi keduanya juga punya persamaan. Wartawan amplop adalah wartawan yang sebagian besar penghasilannya berasal dari amplop sumber berita, baik amplop itu diperoleh dengan cara meminta atau sekedar hasil pemberian dari sumber berita. Wartawan amplop bisa dilakukan oleh WTS (wartawan tanpa surat kabar) atau wartawan yang bekerja di perusahaan pers skala kecil yang tidak peduli dengan kesejahteraan para wartawannya. Di luar kategori ini, wartawan amplop juga dilakukan oleh wartawan yang bekerja di perusahaan pers yang sudah mapan, tetapi wartawan dan perusahaan pers tersebut kurang memedulikan penegakan etika jurnalitik, terutama soal larangan menerima uang/suap dari sumber berita.
Sedangkan wartawan bodong adalah orang yang pekerjaaanya memeras tetapi berkedok sebagai wartawan. Mereka ini mirip dengan intel gadungan atau polisi gadungan yang pekerjaaanya hanya menakut-nakuti masyarakat, tapi ujung-ujungnya adalah meminta uang.
Pelaku wartawan bodong bisa saja para WTS, tetapi juga dilakukan “wartawan” yang bekerja di media tertentu. Hanya saja media yang dikelola para wartawan bodong ini biasanya jadwal terbitnya tidak jelas dan isi medianya (iklan dan berita) adalah hasil negoisasi dengan sumber berita/korban, termasuk negoisasi pemerasan.
Wartawan amplop dan wartawan bodong adalah wujud anomali masyarakat. Dua duanya adalah penyimpangan profesi wartawan. Keberadaan wartawan amplop dan wartawan bodong jelas merugikan masyarakat. Pemberian uang kepada wartawan akan membuat independensi wartawan tergadai.
Sedangkan keberadaan wartawan bodong, selain mencemarkan profesi wartawan, mereka juga menutup akses informasi yang berguna bagi masyarakat. Sebab berita-berita tentang korupsi yang diketahui wartawan bodong hanya dijadikan komoditas bisnis oleh wartawan bodong
Wartawan bodong berani beroperasi karena ada tiga hal. Pertama, karena sumber berita masih menyediakan amplop untuk wartawan, dengan demikian wartawan bodong punya alasan utuk menuntut “hak” yang sama. Kedua, wartawan bodong berani beroperasi karena ada sumber berita yang bisa diperas, yaitu para pejabat atau perusahaan yang bermasalah.
Ketiga, lemahnya kontrol dari masyarakat. Sejak diberlakukannya UU 40/l999, secara otomatis negara tak punya kontrol terhadap media. Sebab pendirian usaha pers tidak lagi memerlukan SIUPP dari pemerintah. Dengan liberalisasi media, siapa saja bisa mendirikan usaha pers, termasuk mereka yang bermodal dengkul.
Kemudahan pendirian usaha pers inilah yang dimanfaatkan para petualang. Mereka ini mendirikan “perusahaan pers” untuk kepentingannya sendiri dan tidak peduli dengan amanat UU 40/l999 seperti memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan demokrasi dan memperjuangkan keadilan (pasal 6).
Akibat adanya liberalisasi bidang pers ini, maka secara otomatis pengawasan kepada media – termasuk bagi yang menyalahgunakan fungsi media, berada di tangan masyarakat. Pengawasan bisa dilakukan dengan berbacai cara, seperti menghentikan anggaran pemberian amplop bagi wartawan hingga melaporkan wartawan bodong ke aparat hukum atau organisasi wartawan dan meneruskannya ke Dewan Pers.
Karena itu upaya untuk melawan wartawan amplop dan wartawan bodong harus didukung. Tetapi perlawanan ini tidak mempunyai daya dorong jika tidak disertai upaya hidup bersih dari korupsi. Selain mendorong masyakat hidup bersih dari korupsi, insan pers juga harus memperbaiki citranya dengan cara hidup bersih dari amplop.
Sikap anti amplop ini tidak cukup dengan hanya membuat larangan menerima amplop, tetapi perusahaan pers juga harus memberi upah yang layak dan pengawasan yang ketat bagi wartawannya.
Pengawasan kepada pers mutlak diperlukan karena pers masih dianggap sebagai pilar penegakan demokrasi. Kontrol ini diperlukan agar pers tetap berada pada cita-citanya. Jika masyarakat lalai mengawasi pers, maka jangan salahkan jika pers Indonesia akan dipenuhi wartawan sensasi, wartawan amplop dan wartawan bodong.

0 comments:

Post a Comment