Wali Kota dan Rumus 5=2+2+1

Posted by Jammes 4/23/2008 0 comments
Tidak mudah jadi wali kota di era reformasi dan Pilkada langsung ini. Selain modal uang dan tampang, juga harus punya perahu partai politik. Saat seseorang maju jadi calon, ia sudah didekati dan mendekati berbagai elemen masyarakat. Sehingga, kini dikenal rumus: 5 = 2 + 2 + 1. Dan saya tidak mau jadi wali kota seperti pola itu.

Artinya, lima tahun berkuasa, dua tahun balas budi, dua tahun cari uang agar balik modal dan setahun siap-siap untuk maju lagi. Pertanyaannya, apakah sang wali kota masih memikirkan dan berbuat untuk rakyat yang memilihnya?

SAAT seseorang maju jadi calon wali kota, ada dua arus yang akan mengapungkannya, dan bisa jadi akan menenggelamkannya. Yang pertama, investor politik. Mulai dari partai politik, tim sukses, tim kampanye, sampai ke tokoh-tokoh masyarakat seperti RT dan RW yang akan menjadi mesin pendulang suara.
Kedua, investor ekonomi. Mulai dari pengusaha, simpatisan, broker dan calo politik, hingga keluarga yang punya dana. Nah, pada saat ia menjadi wali kota, kedua arus besar tadi akan menagih janji, meminta imbalan proyek, serta berbagai keuntungan finansial berlipat ganda.
Jadi, jangan heran. Ketika wali kota baru dilantik, antrian panjang kedua arus ini segera mendaftar. Alasan klasik, menghadap pak wali kota. Lihatlah daftar tamu di kantor wali kota. Wacana calon independen, setidaknya bisa meminimalisir keharusan berhadapan dengan kedua arus besar itu tadi.
Saat menjelang pemilihan wali kota tiba, kasak-kusuk tim sukses dan kelompok-kelompok kepentingan, segera meruap. Beberapa calon yang tadinya berminat maju ke bursa pemilihan, banyak yang kandas di tengah jalan dengan berbagai alasan. Yang paling sering menjadi sandungan adalah keterbatasan uang dan tidak punya perahu partai politik yang mengusungnya.
Saat-saat terakhir, calon potensial itu tadi harus menyingkir lantaran tak punya cukup uang menyetor untuk mengisi pundi-pundi pentolan partai. Atau karena tidak menemukan pasangan yang tepat karena kartu truf di tangan partai. Apalagi, energinya sudah terkuras menjelang babak penentuan siapa calon yang akan diusung.
Beberapa hari ini, saya berdiskusi dan berdebat dengan beberapa teman di Graha Pena, soal keinginan saya mencalonkan diri sebagai wali kota. Seperti Senin (21/4) sore, saya berdebat dengan Ngaliman, calon anggota KPUD Batam, Taman Tamba aktivis Angkatan Muda Partai Golkar, dan Jamil yang pernah menjadi rekdaktur opini dan menyusun buku soal pencalonan wali kota.
''Saya dukung Anda sekarang, tapi nanti belum tentu,'' kata Tamba. Secara politis, ia ingin menegaskan, begitulah politik. Ia menyarankan agar saya mendekati partai tertentu. Itulah masalahnya. Saya tak pernah aktif di partai. Tamba termasuk yang sangat percaya kekuatan partai sebagai mesin politik.
Ngaliman lain lagi. Ia menganjurkan agar saya membangun akses yang luas dan nanti akan menjadi kendaraan saya mendulang dukungan. Ia menekankan, perlunya nilai jual seseorang agar dilirik partai. Sedangkan Jamin, lebih memposisikan diri sebagai penhamat dan melihat kemana arah pembicaraan mengalir.
Mungkin saya terlalu percaya diri. Belum apa-apa sudah mencalonkan diri. Tapi, itu lebih baik agar orang lain tahu, apa yang ada dalam pikiran saya. Jika orang lain memilih menahan diri agar tidak menjadi sasaran tembak, sebaliknya, penolakan terhadap keinginan saya menjadi wali kota, akan menjadi latihan jangka panjang. Sekecil apapun penolakan itu.
Yang meragukan kemampuan saya, sudah terbaca dari usulan agar saya cukup jadi wakil saja. Saya tidak mau. Saya mau jadi wali kota, satu periode saja. Waktu lima tahun cukuplah untuk berbuat sesuatu untuk masyarakat Batam. Hasan Aspahani membesarkan hati saya. ''Dulu, kita tahulah siapa orang-orang yang maju ke bursa pemilihan itu. Tapi, ternyata mereka bisa. Malah, George Bush punya blog sehingga orang bisa membaca pikiran dan gagasannya,'' katanya.
Politik memang pas dilambangkan dengan Dewa Janus, dewa bermuka dua yang menghadap ke kiri dan ke kanan. Artinya, politik memang ibarat dua sisi mata uang dan sama dengan sifat manusia. Ada benci, ada cinta. Ada konflik, ada kerjasama. Ada rindu dan ada dendam.
Mereka yang benci politik, sering mengatakan bahwa politik itu kotor. Tapi, mereka yang lain mengatakan, dengan politik mengatur negara dan mencapai tujuan bersama. Politik memang paradoksal.
Partai bisa digunakan untuk mesin untuk mencari dan menjalankan kekuasaan, bisa pula dipakai untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. Tidak heran, ada yang memilih berada di luar partai, ada pula yang masuk ke dalamnya. Jabatan wali kota adalah jabatan politis. Sehingga, untuk menggapainya, diperlukan langkah-langkah politik. Misalnya, mencari dukungan sebanyak mungkin, menggunakan kekuatan partai, membentuk tim sukses dan sebagainya.
Saya, sejauh ini tidak melakukan apa-apa. Keinginan menjadin wali kota, baru sebatas melontarkan gagasan kepada Anda di blog ini.
Secara akademis, saya paham politik. Sebab, saya memilih mendalami sosiologi politik. Secara teori dan analisis, saya menggunakan pendekatan para pakar dan kepekaan terhadap data dan fakta di lapangan. Sampai saat ini, saya belum tertarik masuk ke partai politik.
Artinya, keinginan saya menjadi wali kota, hanya keinginan berbuat sesuatu untuk kemajuan dan kemaslahatan masyarakat di Batam. Yang jelas, saya sudah menyatakan keinginan saya. Setuju atau tidak, mendukung atau tidak mendukung, bahkan abstain sekalipun, terserah Anda....***

0 comments:

Post a Comment