Keliling Batam dengan Boat Pancung

Posted by Jammes 4/07/2008 2 comments

Keliling Batam melalui jalan darat naik mobil, atau menyaksikan pulau ini dari pesawat terbang, mungkin sudah biasa. Tapi, mengelilingi dan menjelajah Batam naik boat pancung? Ini mungkin tidak biasa. Itulah yang dilakukan fotografer Batam Pos dan anggota klub fotografi Batam Photo Club. Bagaimana kisahnya?

Seperti apa melihat Batam dari laut dan mengelilingi pulau ini, bagaimana kondisi pantai, hutan bakau dan sebagainya? Pertanyaan itu sudah menggoda saya sejak beberapa tahun lalu. Bak gayung bersambut, ketika Hasan yang biasa membawa koran Batam Pos ke Karimun setiap dinihari,
siap berkeliling Batam dengan boat pancung. Keliling Batam itu dilakukan Sabtu, (5/4) pekan lalu dengan pancung berukuran 7x2 meter.
Beberapa fotografer ikut. Yang lain terpaksa harus jaga gawang di Batam. Ide keliling Batam ini, segera disambut anggota BPC. Tapi, kapasitas boat pancung terbatas. Dari Batam Pos ada Imanuel, Socrates, Yusuf dan Iman Wahyudi. Dari BPC ada Ida Bagus G Mardawa, Ivan Siregar, Norman, Didit, Kim Sun, Melani, Dewi dan Eva serta Khairul dari Kediri. Dua lagi, Hasan pemilik boat dan ABK-nya Ibrahim. Total, 15 orang.
Pukul 07.45 pancung mulai membelah lautan dari pelabuhan Sekupang. Penasaran bercampur rasa ingin tahu, campur aduk. Tak seorangpun tahu, berapa lama perjalanan itu. Kamera disiapkan. Sesekali, pancung bergoyang diterpa gelombang. Kadang memercik dan membasahi penumpang.
Beberapa pengemudi pancung tampak heran menyaksikan rombongan ini. Barangkali dikira turis atau kelompok ekspedisi dari luar negeri. Maklum, semua menenteng kamera dan mengenakan topi lebar. Pancung dengan dua mesin masing-masing 40 PK itu, melewati Tanjungpinggir, Pulau Dongas dan Bakur. Di sebelah kiri, gedung-gedung di Singapura tampak berjejer. Pemandangan alam dan resort, tertata apik di atas bukit di antara rimbunan pepohonan dan hutan bakau.
Satu jam kemudian, pancung berhenti di restoran kosong di Batumerah karena ada tangga dari laut. Peta pun dibuka. Ternyata, tidak satu pun dari kami yang pernah mengelilingi Batam naik boat pancung. Termasuk Hasan dan Ibrahim, meski sudah belasan tahun mengemudi pancung.
Pantas saja, sebelum berangkat, Hasan yang berasal dari Pulau Terong itu minta agar bawa peta. Ia juga menganjurkan bawa jeruk agar tak mabuk laut. Kami juga tidak tahu, berapa lama waktu tempuh mengelilingi Batam.
Dari peta berskala 1:72.000 itu, diperkirakan baru sore hari pulau ini bisa dikelilingi. Garis karvak dibentuk, lalu dikalikan dengan waktu yang sudah dilalui. ''Wah, tampaknya tak cukup satu hari keliling Batam,'' kata seorang fotografer.
Sebuah kapal kecil sandar dekat lampu suar kapal tampak sedang mengevakuasi kapal. ''Di tengah kita ini lokasi kapal tenggelam. Ukurannya cukup besar. Lihat saja luas garis tambang yang melintang memagari lokasi,'' ujar Hasan, pengemudi pancung. Di perairan Tanjungsengkuang, tampak kerusakan pesisir pantai. Pohon bakau tumbuh enggan di antara pemukiman nelayan. Air laut keruh dan berlumpur. Dua alat berat berada di ujung timbunan tanah yang menjorok ke laut.
Terik matahari mulai terasa menyengat. Tiba-tiba, sebuah perahu beratap dikayuh seorang wanita, melintas. ''Suku Laut,'' cetus seorang fotografer. Pancung kami minta berputar, agar bisa memotret. Suaminya keluar dari balik atap dan tampak kurang senang. ''Hei, mana boleh sembarangan?''katanya. Pancung pun segera pergi.
Namun, tak lama kemudian, di sebuah pulau karang, kami melihat ada beberapa perahu suku Laut yang sedang berlabuh. Dari balik pohon, beberapa fotografer membidikkan kamera. Mereka sekeluarga dan berasal dari Pulau Karas.
Pakaian dijemur di atap perahu. Anak-anak mereka bermain dalam perahu, sementara kepala keluarga, pergi ke pulau terdekat mengambil air bersih. Di lambung perahu, tempuling atau tombak ikan terikat kuat. Perahu ini biasanya diikat berantai dengan perahu lainnya. Menandakan suatu kelompok atau keluarga. Beberapa perahu ada juga yang dilengkapi motor tempel.
Motor ini digunakan dalam situasi tertentu, cuaca buruk atau menarik ikan berukuran besar. Konon, suku laut ini paling mahir berburu ikan hiu dan penyu raksasa. ''Kami cuma mau foto-foto,'' kata Hasan kepada kepala keluarga Suku Laut yang datang membawa air. ''Begini pak, kalau mau foto harus bayar asuransi dulu,''katanya. Kami tercengang. Ternyata, asuransi yang dimaksudnya adalah, harus bayar sejumlah uang dulu, baru boleh memotret mereka.
Saat ditanya mereka memasak dan tidur dimana, salah seorang menjawab,''Tidur di perahu,kan tidak mungkin kami tidur di atas air,''katanya. Kami tergelak. Puas memotret, kami pun bergerak.
Menelusuri sepanjang pantai Nongsa, selain sejumlah resort, airnya jernih dan dasar laut tampak jelas. Kawasan ini memang cocok untuk snorkling dan scuba diving. Dua jetski berputar-putar di tengah laut.
Dari Teluk Mata Ikan, pancung terus melewati Batu Besar. Pancung kami minta berlayar 500 meter dari pantai, agar memudahkan memotret kondisi Pulau Batam. Selain nyiur di sepanjang pantai, kami menemukan aktivitas reklamasi yang menjorok ke tengah laut.
Ibrahim yang berada di haluan pancung, memberi tanda dengan lambaian tangan kepada Hasan sebagai tekong, agar mesin pancung tidak menyentuh batu di perairan dangkal. Kami menyaksikan aktivitas PT Citra Tubindo dari laut, melewati Kabil dan masuk ke pelabuhan Telagapunggur.
Rombongan berhenti makan siang di restoran Riverside, Telagapunggur. Ternyata, restoran seafood itu ada dalam peta. Tak terasa, kami sudah mengelilingi separuh Pulau Batam. Semangat yang sempat kendor bangkit lagi. Sudah empat jam kami di laut.
Meski kulit mulai memerah, pancung terus menuju Bagan dan terus ke Tanjungpiayu. Melewati perkampungan nelayan. ''Inilah wajah Batam sesungguhnya,'' kata Ivan Siregar. Air laut yang tenang, kadang-kadang berputar dekat batu karang sehingga pengemudi pancung harus waspada.
Hampir satu jam kemudian, dari kejauhan tampak Jembatan Barelang berdiri kokoh. Beberapa fotografer berdiri sehingga pancung agak oleng. Kalau selama ini memotret jembatan kebanggaan warga Batam itu dari atas, kini kami bisa merekamnya dengan kamera dari bawah.
Kami terus melewati Pulau Akar, Tanjung Gundap dan Dapur Duabelas. Mendekati wilayah Sagulung, pemandangan terasa berbeda lantaran bisa melihat pembuatan kapal tongkang dan perusahaan shipyar. ''Oh, ternyata begini perusahaan perkapalan dilihat dari laut. Selama ini, saya tidak tahu seperti apa di dalamnya,'' kata Dewi, yang bekerja di kawasan industri Tanjunguncang.
Beberapa pekerja perkapalan, melambaikan tangan. Dari Tanjunguncang, pancung terus melaju dengan kekuatan dua mesin menuju Tanjungriau. Kami memang tidak mengitari rangkaian pulau-pulau di Pulau Janda Berhias. Tak terasa, pancung tiba kembali di pelabuhan Sekupang. Enam jam lamanya kami di laut dan merapat pukul 02.00 siang.
Akhirnya, kami berhasil mengelilingi Pulau Batam yang berbentuk kalajengking itu. Ada enam tanjung dan empat teluk yang sudah dilewati. ''Kita berhasil keliling Batam,''cetus Mardawa, senang. Selain mendapatkan berbagai obyek foto, ada kepuasan tersendiri kembali ke titik pemberangkatan dengan selamat.
Rasa senang dan bangga membuncah dalam dada. Bagi sebagian orang mungkin perjalanan ini tampak mudah dan sederhana. Tapi bagi pekerja kantoran yang hobi memotret dan wartawan yang ingin tahu, perjalanan ini sungguh berkesan. Jangan-jangan, kami yang pertama keliling Batam naik boat pancung.
Ada yang mengusulkan, perjalanan berikutnya, selain mengelilingi pulau, juga kemping dan bermalam di sana. Petualangan keliling pulau ini, bisa saja dijadikan obyek wisata seperti Batam explorer atau Batam adventure. Selain memberdayakan obyek wisata pulau, melihat perkampungan nelayan, restoran dan kelong di pinggir laut, Batam akan mendapat pengunjung baru dari wisatawan yang tertarik dengan petualangan tersebut. ***

2 comments:

Bangsari said...

usul. itu tulisan "Baca tak baca terserah......" mungkin lebih baik diganti "sambungannya panjang lho..." hehehe

Jammes said...

Terimakasih usulnya bangsari.
Hanya ingin tampil beda aja, dan lebih menggelitik. Artinya, tidak ada paksaan membaca, sebab orang kini lebih senang nonton, he..he

Post a Comment